Bab 26

3.2K 364 10
                                    


Setelah kepergian Prilly Ali kembali menuju ruangan Papanya. Dia seakan baru tersadar kalau dia sudah meninggalkan Papanya sendirian dengan kondisi yang tidak bisa di katakan baik-baik saja.

Dan benar saja saat hampir mencapai ruangan Papanya dia sudah melihat sang Ibu yang menangis sendirian disana. "Mama."Ali segera berlari ketika melihat Winda mendongak dan menatapnya dengan simbahan air mata.

"Papa kamu Nak. Papa."Isak tangis Winda semakin nyaring ketika Ali sudah membawa Ibunya ke dalam dekapannya.

Ali mengeratkan pelukannya pada bahu sang Ibu yang bergetar seiring isak tangisnya yang begitu menyayat hati Ali. "Mama sabar. Mas yakin Papa akan baik-baik saja. Papa kuat dan Papa sangat mencintai Mama nggak mungkin Papa ninggalin Mama."Ali terus berusaha menenangkan Winda meskipun dirinya tengah dilanda kecemasan dia benar-benar takut kalau Papanya pergi.

Ali menggelengkan kepalanya, dia yakin Papanya akan bertahan! Demi Ibunya dan demi dirinya.

'Pah Mas mohon Papa harus kuat! Papa harus bertahan jangan sakiti Mama lagi dengan kepergian Papa. Mas mohon Pah! Mas mohon'

"Prilly mana Nak?"Winda melepaskan pelukannya ketika dia teringat Prilly.

Ali menghela nafasnya lalu mengusap wajahnya dengan kasar dia kembali teringat pertengkarannya dengan Prilly tadi. "Pulang Mah."jawabnya singkat.

Winda mengernyit bingung, "Kok pulang? Pulang sama siapa? Kamu kok biarin dia pulang sendirian sih Mas? Kenapa nggak kamu anterin sih Nak?"Winda seperti melupakan kesedihannya dengan mengomeli putra kesayangannya itu.

"Ya dia sendiri nggak mau Mas anterin mau gimana lagi?"sahut Ali cuek padahal didalam hatinya dia sangat mengkhawatirkan Prilly.

"Kamu bertengkar dengan Prilly?"Winda menyipitkan matanya menatap putranya penuh selidik.

Ali memutar matanya lalu memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, "Nggak bertengkar Mam. Cuma ya begitu mungkin setelah ini Prilly akan membenci kita semua."Entah kenapa Ali merasa ada sesuatu di dalam dadanya yang tidak terima dengan kebencian Prilly terhadap mereka.

Ali mengusap wajahnya kembali niatnya menyakiti Prilly tapi kenapa disaat Prilly tersakiti seperti ini dia malah tidak terima? Bukannya bagus kalau Prilly membenci keluarganya dengan begitu Prilly pasti tidak akan menerima saham yang akan diwariskan oleh Papanya bukan? Jadi semua warisan yang akan menjadi miliknya kembali utuh.

Tapi kenapa disaat seperti ini hatinya malah berulah seperti ini? Sungguh sialan!

"Sebenarnya ada apa Mas? Kamu menyembunyikan sesuatu dari Mama iya?"Winda sudah cukup memerhatikan ekspresi wajah putranya yang terlihat begitu tertekan dan dia bisa menyimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu pada putranya.

Ali kembali mengusap wajahnya menatap Ibunya sendu lalu berkata. "Papa sudah mengakui semuanya pada Prilly Mah termasuk percobaan pemerkosaan yang dilakukan Papa pada Ibu Prilly."

**

Menjelang subuh Ali di kejutkan dengan sentuhan seorang Suster yang membangunkan dirinya. Ali benar-benar tidak tahu kapan dia tertidur dengan posisi duduk sambil memeluk Ibunya.

Ali mengerjapkan matanya beberapa kali mengurangi rasa pusing yang mendera kepalanya. "Terima kasih Suster."Winda mengucapkan terima kasih pada Suster yang berbaik hati membangunkan mereka.

"Mas ke mushola dulu ya Mah."Pamit Ali sebelum beranjak meninggalkan Ibunya yang masih berusaha mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.

Winda mengangguk pelan. Setelah kepergian Ali Winda kembali memejamkan matanya dengan menyenderkan kepalanya pada dinding rumah sakit. Dini hari tadi dia dan Ali ketiduran setelah Ali menceritakan semuanya termasuk kemarahan Prilly pada keluarga mereka.

Winda mengerti dan dia sama sekali tidak menyalahkan Prilly atas semua ini karena sudah seharusnya Aji menerima kebencian itu terlepas dari penipuan yang mereka lakukan luka atas perbuatan bejat Aji-lah yang menjadi penyebab kebencian Prilly.

Winda mengusap wajahnya pelan matanya terbuka menatap nanar pintu ruangan suaminya. Dokter sudah mengatakan pada mereka kemungkinan Aji untuk bertahan semakin tipis terlebih setelah pria itu dinyatakan koma.

Benar Aji koma. Dan Winda sudah pasrah atas kehendak Tuhan namun jauh di dalam lubuk hatinya dia terus merafalkan doa untuk keselamatan Aji. Dia belum ingin berpisah dengan suaminya.

Winda merogoh tasnya yang terletak di sisi tubuhnya dia berniat menghubungi Prilly dan semoga saja gadis itu masih mau menjawab telfon darinya.

Di mushola rumah sakit terlihat Ali yang sudah segar setelah membasuh wajahnya dia juga sudah berwudhu untuk menunaikan shalat subuhnya dengan berjamaah bersama staf rumah sakit dan beberapa orang lainnya.

Ali kembali mengenakan sepatunya setelah keluar dari mushola. Dia berniat menelfon Rama atau sekretarisnya untuk membawakan pakaian ganti untuknya dan Winda. Ali mulai risih karena pakaiannya masih pakaian kemarin.

Sebelum beranjak dari tangga mushola Ali mengusap wajahnya perlahan dia benar-benar kalut perasaannya kembali gelisah ketika mengingat kondisi sang Papa belum lagi kemarahan Prilly yang benar-benar menganggu kinerja otaknya.

"Assalamualaikum Nak."

Ali sontak menoleh dan sedikit salah tingkah saat ustad yang menjadi Imam tadi menghampirinya. "Waalaikum salam Pak Ustad."Ali beranjak dari duduknya lalu mengambil tangan pak Ustad dengan sopan dia mencium punggung tangan pria paruh baya itu.

"Siapa yang sakit? Kenapa wajah kamu terlihat begitu tertekan Nak."Pak Ustad kembali membuka suara setelah menilai raut wajah Ali beberapa saat.

Ali kembali terkesiap namun tetap menjawab pertanyaan Pak Ustad itu. "Papa saya Pak Ustad beliau koma sekarang."Kepedihan jelas terlihat dimata Ali.

Pak ustad itu tersenyum teduh sambil menepuk pelan pundak Ali. "Kuncinya hanya satu Nak."

Ali menoleh menatap pak Ustad penuh tanda tanya. "Sabar dan dekatkan diri pada Allah."

Ali kembali di buat terkesiap. Dia merasa takut dalam seketika apakah ini balasan atas kelalaiannya selama ini? Dia sadar dia bukan muslim yang taat dia masih sering mengabaikan perintah agamanya. Seketika tubuh Ali menggigil kedinginan, dia mulai diserang kepanikan sampai usapan lembut pada bahunya kembali membuatnya jiwanya sedikit tenang.

"Allah memberi ujian karena Allah sayang hambanya. Allah ingin kita dekat dengannya. Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambanya Nak. Percayalah Allah lebih tahu segalanya."Suara lembut dan teduh Pak Ustad membuat jiwa Ali berangsur tenang.

"Gelisah, takut itu wajar Nak kita sebagai manusia biasa sangat wajar mengalami hal itu tapi jangan biarkan kegelisahan dan ketakutan itu membuat kita hilang arah dan menyalahkan Tuhan. Ingatlah Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk hambanya."sambung Pak Ustad lagi.

Ali menundukkan kepalanya, dia tahu mungkin Allah sedang menegurnya saat ini menyadarkan dirinya bahwa harta bukan segalanya. Lihat saja Papanya, Papanya bukan orang biasa hartanya bisa menghidupkan 7 generasi berikutnya tapi sekarang? Ketika beliau terbaring tak berdaya harta dan tahta serta jabatannya selama ini tidak berguna sama sekali.

Semuanya terasa semu dan Ali benar-benar sadar kalau selama ini dirinya memang tamak. Dia kikir tidak ingin berbagi seolah hidupnya hanya berpatok pada harta tanpa harta dia tidak akan hidup dia lupa kalau yang memberikan kehidupan bukan harta tapi Allah.

'Ya Allah maafkan aku. Ampuni dosaku ya Allah.'

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang