Bab 12

3.2K 356 9
                                    


Prilly baru saja selesai menelfon dengan Siska, dia mengabarkan kepada karyawannya kalau hari ini dia tidak bisa ke toko dan menyerahkan semua kegiatan disana pada Siska dan Fatli.

Siska juga menitip salam untuk Maryam dan berdoa semoga wanita itu cepat pulih dan bisa beraktivitas seperti biasanya.

Prilly menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celananya dan berniat menghampiri Aji dan Winda yang masih setia menemani dirinya disini. Maryam sudah dipindahkan keruang rawat setelah Dokter mengatakan kondisinya tidak apa-apa hanya sedikit tertekan hingga Maryam kehilangan kesadarannya.

Prilly sangat bersyukur sampai dia memeluk Aji dan Winda bersamaan layaknya orang tua dan anak. Aji tentu tidak keberatan dengan apa yang di lakukan Prilly begitu pula dengan Winda.

Mereka sama-sama bersyukur karena Maryam baik-baik saja.

Prilly membuka pintu kamar inap Ibunya secara perlahan dia menatap kearah ranjang dimana Ibunya berbaring dan masih belum membuka matanya, menurut Dokter Maryam belum sadar namun kondisinya sudah baik-baik saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Setelah memastikan keadaan Ibunya Prilly kembali menutup pintu kamar inap Ibunya lalu berbalik dia akan menyusul Aji dan Winda yang menunggu dikantin.

Aji dan Winda memilih pergi ke kantin setelah Maryam dipindahkan dan Prilly harus menghubungi Siska terlebih dahulu sebelum menyusul Aji dan Maryam.

Sejujurnya dia sedikit penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Aji dan Winda, karena tadi mereka sempat mengatakan ingin membicarakan sesuatu yang serius dengannya.

Tak terlalu ambil pusing Prilly melangkahkan kakinya menuju lift dia harus kelantai bawah dimana kantin berada. Setelah pintu lift terbuka Prilly segera masuk dan menekan tombol lift yang akan membawanya ke lantai dasar rumah sakit.

Selama berada didalam lift Prilly terlihat termenung, dia masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dibicarakan oleh Om Aji dan Tante Winda mengenai masa lalu mereka yang berkaitan dengan orang tuanya.

Jujur saja Prilly sedikit merasa cemas entah kenapa hatinya mengatakan kalau di masa lalu pernah terjadi hal buruk di antara Om Aji dan Tante Winda dengan kedua orang tuanya.

Prilly bingung sekaligus berdebar meskipun sekuat tenaga dia berusaha untuk tetap santai tapi tetap saja jantungnya berdetak lebih cepat dari pada biasanya.

"Ya Tuhan semoga semuanya baik-baik saja. Amiin."

**

Aji dan Winda terlihat mengobrol ringan sambil menunggu kedatangan Prilly. Mereka sudah bertekad akan mengatakan semuanya pada Prilly dan jika Prilly berakhir dengan membenci mereka keduanya sudah ikhlas. Toh sudah sewajarnya Prilly membenci mereka bukan?

"Pelipis Papa masih sakit?"Tanya Winda sambil menyentuh perban di pelipis suaminya.

Aji menggeleng pelan, "Enggak Ma. Cuma luka kecil."jawabnya sebelum menyesap kopi miliknya.

Winda menganggukkan kepalanya, "Mama sedikit tegang Pah."Adunya sambil menghela nafasnya yang entah sudah berapa kali hari ini dia lakukan.

Aji mengusap pelan bahu istrinya, "Wajar kalau kamu tegang dan merasa cemas tapi kita harus melakukan ini Sayang. Kita sama-sama sudah tidak mampu hidup dalam penyesalan bukan?"Winda menganggukkan kepalanya dia setuju dengan apa yang dikatakan suaminya.

"Sejujurnya Papa juga cemas."Aji tersenyum masam."Biarpun kali ini adalah kali  pertama kita melihat dan mengenal putri almarhum Usman entah kenapa Papa sudah merasa sayang padanya."Aji tidak tahu kenapa dia bisa menyayangi Prilly seperti ini entah perasaan ini murni dari hati atau luapan dari rasa bersalahnya pada Usman dia sama sekali belum mengetahuinya karena yang pasti dia memang merasa sayang pada putri dari almarhum sahabatnya itu.

Melihat senyum teduh diwajah suaminya tanpa suaminya sadari membuat sudut hati Winda kembali berdenyut nyeri, rasa cemburu kembali merajai hatinya. Winda seperti tidak rela Aji menyayangi orang lain selain dirinya dan putra mereka.

"Setiap melihat senyuman Prilly rasa bersalah dan penyesalan semakin menyusup dan membuat aku benar-benar tidak nyaman. Aku benar-benar jahat dan aku sangat menyesal."Aji memejamkan matanya meresapi rasa sakit di ulu hatinya.

Winda tidak menanggapi dia hanya menatap dalam suaminya yang terlihat begitu tersiksa. "Semua akan baik-baik saja Mas. Aku yakin."Winda mengusap pelan bahu suaminya.

Semua akan baik-baik saja? Entahlah Winda sendiri juga tidak yakin dengan kata itu.

"Om kenapa Tante?"

Baik Winda maupun Aji sama-sama tersentak ketika mendengar suara Prilly yang ternyata sudah berdiri di depan meja mereka. Kapan Prilly tiba?

"Eh Pril! Kamu disini Nak."Winda terlebih dahulu menguasai diri dan menyapa Prilly yang masih terlihat kebingungan.

"Iya Tante. Om Aji kenapa Tante?"Prilly kembali mengulang pertanyaannya ketika melihat Aji semakin menundukkan kepalanya.

Aji masih belum bisa menguasai dirinya, perasaannya masih belum terkontrol.

Winda menatap Aji sekilas sebelum menatap Prilly yang terlihat kebingungan dan khawatir dengan kondisi Aji. "Om Aji hanya merasa bersalah karena sudah membuat Ibu kamu berakhir dirumah sakit Nak."Kata Winda sambil tersenyum.

Aji tiba-tiba beranjak tanpa mengatakan apapun dan sikap Aji itu semakin membuat Prilly kebingungan sedangkan Winda hanya mampu menghela nafasnya. "Duduklah Nak. Om Aji memang seperti itu nanti jika perasaannya sudah tenang dia akan kembali seperti biasanya."Jelas Winda sambil menarik kursi untuk Prilly.

Prilly masih terlihat bingung namun urung bertanya dan lebih memilih mendudukkan dirinya dikursi yang di tarik Winda. "Mau minum apa Prilly? Atau mau makan juga boleh?"

Prilly menoleh menatap Winda ternyata disisi Winda sudah ada penjaga kantin yang bertanya ingin memesan apa. "Teh hangat saja Tante."jawabnya kalem.

"Nggak mau makan?"

Prilly menggelengkan kepalanya, "Masih kenyang Tante."

Winda mengangguk paham setelah mendengar pesanan Prilly penjaga kantin berlalu dan meninggalkan Winda bersama Prilly yang sama-sama terdiam. Keduanya terlihat sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Lama terdiam, akhirnya Winda berdehem pelan sebelum menarik nafas dan memfokuskan dirinya pada Prilly yang sepertinya juga baru sadar dari lamunannya.

"Tante sebenarnya apa yang ingin Tante dan Om bicarakan padaku?"Prilly bertanya tanpa melepaskan tatapannya pada Winda.

Menghela nafas lagi, Winda berusaha tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Prilly dan sepertinya dia harus mengurai masa lalu sendirian tanpa Aji, suaminya.

Prilly memperhatikan setiap perubahan di wajah Winda yang entah kenapa terlihat begitu tertekan, serumit apa sebenarnya perihal yang akan di bicarakan dengannya?

"Sebenarnya.."

"Mama."

Prilly dan Winda serentak menoleh kearah suara yang tiba-tiba terdengar menginterupsi mereka. Prilly membulatkan matanya ketika melihat pria sialan yang sudah merampas ciuman pertamanya.

"Lo?"hardik Prilly tanpa sadar sudah beranjak berdiri tentu saja suara kursi yang terseret kasar mengejutkan semua yang ada disana tak terkecuali Ali.

Ali mengerjapkan matanya beberapa kali. Sialan! Dia benar-benar tidak menyadari keberadaan gadis itu didekat Ibunya.

Dan ouch! Shit!

Ali tak henti-hentinya mengumpat ketika matanya yang dengan kurang ajarnya malah memperhatikan bibir tipis yang rasanya benar-benar manis.

Tanpa sadar Ali malah memegang bibirnya dan tindakan Ali itu berhasil membuat Prilly terdiam tanpa bisa dicegah kepalanya ikut memutar kembali kejadian 'kecelakaan' yang membuat mereka saling menubruk bibir dulu.

Ya Tuhan kenapa mereka malah membayangkan ciuman itu?

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang