Bab 10

3.6K 334 10
                                    


Ali hanya bisa mengantarkan Ibunya sampai di loby rumah sakit saja ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sekretarisnya baru saja menghubungi mengingatkan Ali kembali kalau pagi ini dia harus menghadiri rapat penting untuk proyek baru perusahaan mereka.

"Tidak apa-apa Nak. Pergilah! Mama bisa cari Papa kamu sendiri nanti."Kata Winda sambil mengusap lembut kepal putranya.

Dia tahu Ali sama khawatir dengannya hanya saja dia tidak mungkin membiarkan putranya menelantarkan pekerjaannya lagian dia tidak ingin Ali kembali salah faham jika mengetahui Papanya terluka karena Maryam, istri almarhum sahabat suaminya.

Ali masih dalam mood tidak bagus dan jika mengetahui masalah ini dia yakin putranya tidak akan mampu mengendalikan emosinya jadi lebih baik Ali ke kantor nanti dia dan suaminya akan menjelaskan secara baik-baik.

"Beneran Mama nggak apa-apa? Mas disini aja ya sama Mama nemenin Mama biar meetingnya diambil alih Rama saja."Ali sudah akan merogoh saku celananya mengambil ponsel untuk menghubungi sekretarisnya kembali.

Namun Winda terlebih dahulu menahan lengannya, "Jangan Nak! Papa baik-baik aja kan ada Mama lagian ini rumah sakit kenalan kita juga jadi nggak perlu khawatir. Kamu harus bisa memisahkan tanggung jawab kamu sebagai pemimpin dengan masalah keluarga kamu Nak."Kata Winda mencoba memberi pengertian, Ali putranya ini tidak bisa dikeraskan jika ingin hatinya luluh kelembutan adalah jalan satu-satunya.

Ali menghela nafasnya sebelum mengangguk setuju. "Oke Mas ke kantor. Tapi Mama janji harus kabarin Mas kalau ada apa-apa terus ponsel Mama harus selalu aktif."

"Oke Sayang. Sekarang gih kerja! Semangat kesayangan Mama."Winda memeluk erat putranya sebelum melepaskan Ali yang segera berbalik menuju pintu keluar rumah sakit.

Winda menatap sendu punggung putranya, dia tahu Ali sedikit banyak ikut terluka dengan keputusan mereka hanya saja baik dia maupun Aji sama-sama tidak ingin lagi berkubang dalam penyesalan.

Bahkan jika seluruh harta yang mereka punya mereka ikhlaskan untuk anak dan istri Usman rasanya belum sebanding dengan luka yang mereka berikan pada keluarga Usman.

Jadi Winda sama sekali tidak keberatan dan mendukung semua tindakan dan keputusan suaminya. Bahkan jika keluarga almarhum Usman masih bersikeras menolak tawaran mereka maka dia juga akan datang menemui anak dan istri Usman kalau perlu dia akan bersujud dibawah kaki mereka untuk mendapatkan maaf dari mereka.

Winda sadar hidupnya tidak akan tenang kalau mereka -keluarga Usman- belum memaafkan kesalahannya dan Aji. Dan Winda tidak ingin menghabiskan sisa umurnya dalam kubangan penyesalan.

Dia ingin hidup tenang dan damai bersama Aji di mata tua mereka.

**

Ali memarkirkan mobilnya diparkiran khusus untuk petinggi perusahaan. Dengan langkah wajah dingin seperti biasanya dia berjalan menyusuri loby menuju lift yang akan membawanya ke ruangan khusus untuk meeting hari ini.

Ali mengabaikan sapaan demi sapaan bawahannya ketika dia melintasi loby yang sudah mulai dipenuhi oleh karyawan yang mulai berdatangan.

Ali segera melangkah memasuki lift yang memang disediakan khusus untuk Direktur utama yang artinya dulu lift ini milik Aji dan sekarang beralih menjadi hak Ali.

Ali baru akan menekan tombol lift saat tiba-tiba seseorang menyelonong masuk tanpa permisi bahkan dengan santainya dia menyuruh Ali menekan tombol lift.

"Kayaknya kacung nggak tahu diri cuma lo ya Ram."Dengus Ali setelah menekan tombol lift lalu berdiri disamping Rama.

Benar yang menerobos masuk tadi adalah Rama sahabat beda rahim Ali.

Rama berdecak layaknya perempuan sebelum menggoyangkan tubuhnya seperti perempuan yang sedang ingin dimanja. "Uch Mamas Ali ganteng banget cih pagi ini."Katanya sambil mencolek dagu Ali.

"Minggir banci! Jauh-jauh lo dari gue! Tambol juga lo lama-lama ya Ram."Ali berteriak kesal sambil mendorong tubuh Rama menjauh.

Bukannya marah Rama malah semakin menggoda Ali yang sebenarnya tahu kalau dia bukan banci dia hanya memiliki sebuah keunikan yaitu tidak menyukai makhluk yang membawa-bawa gunung di dada mana kembar lagi. Ck!

"Uluh uluh! Mamas Ali kalau lagi malah-malah demesin dech."Rama mulai mempraktekkan suara cadel yang dipelajari olehnya semalam dari anak tetangga yang berusia 4 tahun.

"Ck! Jijik Ram! Gue jijik liat lo gemulai begini! Sono jauh-jauh! Bisa ketimpa musibah besar gue dekat sama ahli neraka kayak lo!"

Jika mau melihat ekpresi lain selain datar pada wajah Ali ya lihat saja ketika pria itu sedang bersama Rama, ekpresi wajah Ali hampir setiap saat berubah-ubah dari wajah jijik sampai wajah marahnya sekalipun selalu terlihat dalam hitungan detik.

Rama mendengus pelan, "Kayak lo yakin aja bisa masuk surga."Rama bersidekap sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada Ali yang melongos di sampingnya.

Ali menoleh lalu menyipitkan matanya perasaannya tiba-tiba tidak enak di tatap seintens itu oleh Rama."Kenapa lo? Jangan bilang lo jatuh cinta sama gue?"Tanyanya dengan raut wajah ngeri.

Rama kembali mendengus namun tidak juga mengalihkan pandangannya dari Ali. "Lo belum cerita tentang tujuan lo yang tiba-tiba ingin mengetahui informasi tentang putri almarhum Sahabat bokap kita."

Ali berdehem pelan sambil membenarkan letak dasinya yang sebenarnya rapi, ketika sudah membicarakan mengenai putri almarhum sahabat orang tuanya yang terbayang di kepalanya justru bayangan ciuman mereka.

Oh sialan!

Rama memperhatikan dengan seksama setiap perubahan wajah sahabatnya. "Lo horny ya?"tebaknya yang seketika membuat mata Ali melebar.

"Apa-apaan sih lo Ram?"marah Ali sambil mendorong kepala Rama dengan kekuatan penuh hingga Rama terpental dan terjatuh dengan kepalanya menubruk dinding lift.

Bruk!

"Adaww!!"Pekik Rama kesakitan pantat dan kepalanya benar-benar sakit.

"Lo lama-lama kurang aja ya! Gue cuma nanya begok! Kenapa lo dorong gue? Sialan emang lo!"Maki Rama sambil mengusap-usap kepalanya yang berdenyut.

Ali merasa bersalah namun karena gengsi dia justru memperlihatkan wajah dinginnya. Sesekali dia melirik Rama yang masih belum beranjak dari posisinya yang duduk dilantai lift sambil mengusap kepala.

Tring! Pintu lift tiba-tiba terbuka.

"Cepat bangun! Udah sampe ini! Lama-lama pecat juga lo!"Ali merapikan jasnya sambil melirik Rama yang merengut. "Lo memang nggak ada baik-baiknya jadi manusia ya?"Dumel Rama namun tetap melaksanakan apa yang diperintah Ali.

"Gue sumpahin hidup lo penuh air mata! Teman setan lo!"Rama masih memaki Ali sedangkan Ali dengan cuek melenggang pergi meninggalkan Rama yang masih menyumpahinya.

"Cepat jalan! Kalau bukan teman udah dari lama lo gue tendang dari perusahaan gue!"Kata Ali sambil melanjutkan langkahnya menuju ruang meeting.

Rama menghentakkan kakinya, "Bodoh amat! Nggak perduli gue lo mau pecat mau lo tendang kek yang penting sebelum lo lakuin itu gue bakal lebih dulu nyantet lo! Dengar ya tuan muda songong! Gue bakal nyantet lo kalau perlu gue buat burung lo nggak bisa bangun lagi. Mampus lo!"Rama berteriak-teriak sendirian seperti orang gila.

"Apa lo liat-liat mau gue santet juga lo?"Marahnya pada karyawan yang menatap geli kearahnya.

Setelah itu Rama baru sadar kalau Ali sudah tidak ada di hadapannya. "Iihh Ali lo tega ninggalin gue! Kalau gue di culik gimana? Aaa Aliii..."

*****


Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang