Bab 17

3K 327 15
                                    


Ali menghembuskan nafasnya berkali-kali ketika Rama tak kunjung mengendurkan tatapannya. Ali merasa dirinya saat ini layaknya pencuri yang tertangkap basah sedang menggondol celana dalam janda muda.

Ya Tuhan Ali kenapa janda dibawa-bawa sih?

"Sudah cukup lo diam dan narik nafas berkali-kali sekarang saatnya lo bercerita semuanya. Ingat semuanya!"Rama menekankan kata 'semuanya' agar Ali terbuka dan tidak menutupi apapun darinya.

Ali menghela nafas lalu mulai bercerita, dia mengungkapkan semuanya termasuk tujuannya dulu ketika memaksa Rama untuk mencari tahu tentang Prilly.

Rama mendengarkan dengan seksama meskipun mulutnya sudah gatal ingin bertanya namun urung dia tidak ingin Ali berubah pikiran dan berhenti bercerita.

Ayoklah! Jika Ali sudah berkeinginan tidak ada yang bisa menghentikannya kecuali Tuhan.

"Jadi maksud lo, sekarang lo ingin manfaatin Prilly buat ngerebut kembali setengah saham Suryo Group yang akan menjadi hak Prilly?"Tanya Rama memastikan.

Ali menganggukkan kepalanya, "Tentu saja. Gue nggak bisa biarin hak gue menjadi milik orang lain. Enak saja."Dengus Ali, entah kenapa dia berubah kesal ketika membayangkan warisannya menjadi milik orang lain termasuk Prilly.

"Lo benar-benar tamak jadi orang Li!"Rama mengabaikan pelototan mata Ali. "Lo nggak berfikir kalau seandainya Prilly bisa memilih gue yakin dia bakal milih bokapnya hidup kembali daripada saham Suryo Group yang nggak seberapa jika dibandingkan penderitaan mereka."Rama benar-benar tidak habis fikir dengan jalan pikiran Ali.

"Ya tetap aja walaupun bokap sama bokap gue salah tapi nggak seharusnya mereka menyerahkan warisan gue secara cuma-cuma begini. Kalau mau nebus kesalahan ya lunasin aja hutang almarhum kan selesai."Jawab Ali enteng.

Rama menatap sahabatnya dengan pandangan tak percaya. "Benar ya kata orang kekayaan bisa mengubah tingkat kepedulian sesama manusia. Lo bisa berfikir sepicik ini hanya karena saham yang bahkan jika saham itu beneran jatuh ke tangan Prilly gue yakin hidup lo sampai tujuh turunan lo nggak akan kekurangan apapun. Ayoklah Li! Jangan jadi manusia licik lo seharusnya bersyukur bukan serakah begini."Rama terus mencerca Ali tanpa memperdulikan wajah Ali yang sudah memerah karena marah.

"Lo nggak perlu ajarin gue! Gue tahu apa yang gue lakuin."Peringat Ali dengan telunjuk mengacung kearah Rama yang duduk santai di hadapannya.

Rama mengerakkan tubuhnya sedikit condong kedepan lalu menepis kasar jari telunjuk Ali. "Seorang sahabat sudah seharusnya mengingat sahabatnya jika sang sahabat sudah mulai salah langkah."sahut Rama begitu tenang.

"Brengsek!"maki Ali.

"Lo yang brengsek! Bahkan lo lebih brengsek daripada orang-orang brengsek yang pernah gue kenal. Ingat karma Li! Tuhan nggak pernah tidur hari ini lo mainin hati orang nggak menutup kemungkinan besok atau lusa malah hati lo yang dijadikan mainan oleh orang lain. Lo pasti belum lupa sakitnya dijadikan mainan bukan?"Rama sengaja menyinggung halus perihal Rola dan Denis sahabat yang mengkhianati Ali dulu.

Tubuh Ali sontak menegang tatapan matanya semakin tajam menyorot Rama yang sama sekali tidak terlihat gentar. "Jangan ungkit-ungkit masa lalu dihadapan gue!"Peringat Ali dengan nada mengancam.

"Gue nggak mengungkit gue cuma ingetin lo kalau dijadikan mainan itu nggak enak Li! Lo sendiri pasti lebih tahu bagaimana rasa sakit yang gue maksud."Rama beranjak dari duduknya tanpa repot-repot berpamitan pada Ali ia langsung berjalan menuju pintu ruangan Ali.

"Lo nggak bakal tahu gimana rasanya jadi gue."Desis Ali penuh amarah.

Rama menghentikan langkahnya mengurungkan niatnya membuka pintu ruangan Ali tanpa membalikkan badannya dia berdecih. "Jangan berkata seolah-olah lo paling menderita disini Li! Masalah lo hanya penyakit hati lo yang tamak padahal lo memiliki banyak hal lainnya yang patut lo banggakan daripada mengurusi saham yang nggak ada apa-apanya jika dibandingkan penderitaan Prilly."Rama memberi jeda. "Walaupun gue belum kenal Prilly tapi gue yakin Prilly gadis baik-baik dan sebagai sahabat gue cuma mau ingetin lo Li."Rama membalikkan badannya menatap Ali dengan tatapak serius tidak ada Rama homo yang menye-menye saat ini.

Rama terlihat layaknya laki-laki kekar pada umumnya. Rahangnya mengeras menatap Ali penuh keseriusan. "Jangan bermain-main dengan hati Li kalau lo nggak mau menyesal dikemudian hari. Orang yang begitu lo benci hari ini bisa saja menjadi orang yang paling lo cinta keesokan harinya. Ingat itu!"Tanpa mendengarkan pembelaan Ali selanjutnya Rama segera berbalik dan keluar dari ruangan Ali dengan membanting pintu hingga berdentum menggema seantero ruangan Ali.

Blaaamm!!

Ali mengusap wajahnya dengan kasar dia benar-benar marah sekaligus bingung saat ini.

Dia tidak ingin mendengarkan apa yang dikatakan Rama tapi disisi lain hatinya entah kenapa malah membenarkan apa yang dikatakan oleh Rama.

"Enggak! Gue nggak butuh nasihat dari bencong sialan itu!"Ali benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya dengan baik.

Dengan cepat dia melangkah berjalan menuju kursi kebesarannya. Dia harus bekerja ada hal lain yang penting dia urus daripada memikirkan perkataan Rama yang belum tentu kebenarannya.

Ali mengambil pulpennya lalu mulai mencoret-coret kertas dihadapannya namun tiba-tiba gerakan tangannya terhenti ketika tanpa sengaja matanya malah melihat bayangan Prilly yang tengah tersenyum di kertas perjanjiannya.

Ali mengucek matanya beberapa kali lalu menghela nafas ketika bayangan Prilly di kertasnya sudah tidak ada. Melonggarkan dasinya Ali menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya.

Ali kembali mengingat kegilaan yang telah dia lakukan. Dengan gilanya dia malah memborong semua bunga yang ada di toko Prilly seharusnya dia kesana untuk memarahi gadis itu bila perlu dia harus mengancam Prilly agar tidak menerima warisan dari Papanya tapi kenapa tiba disana malah hal lain yang terputar diotaknya.

Ali menghembuskan nafas berkali-kali kenapa disaat rencananya mulai terealisasikan dia malah bimbang begini?

Mengacak-acak rambutnya Ali berdiri meninggalkan ruangannya namun disaat bersamaan ponsel dalam sakunya bergetar tanda panggilan masuk.

Ali mengernyit ketika melihat nama Ibunya terpampang disana tanpa melanjutkan langkahnya dia segera menerima panggilan dari sang Ibu.

"Halo Ma.."Sapanya setelah ponselnya tertempel sempurna di telinga kanannya.

"APA?! PAPA KENAPA?"Ali nyaris menjatuhkan ponselnya ketika mendapat kabar kalau sang Papa sudah dilarikan ke rumah sakit.

"Oke. Mama tenang Mas segera kesana."

Dengan tergesa-gesa Ali berlari keluar dari ruangannya dia sudah tidak memikirkan apapun lagi yang menjadi fokusnya sekarang adalah sang Papa.

"Ya Tuhan selamatkan Papa. Aku mohon.."

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang