Bab 19

2.8K 322 6
                                    


Sudah seharian Ali dan Ibunya menunggui Aji yang masih belum sadar. Ali dan Winda bagai terkena cambuk mati ketika Dokter memberi tahu mereka kalau Aji mengidap kanker paru-paru.

Winda nyaris pingsan jika Ali tidak memeluk menguatkan sang Ibu dengan derai air mata Winda mendekap erat putranya. Hatinya hancur ketika sang suami yang selama ini bersikap tegar ternyata menyimpan rahasia besar di belakangnya.

"Papa kamu Mas! Papa kamu jahat! Tega sekali Papah menyembunyikan hal sebesar ini dari Mama."raung Winda sambil menepuk-nepuk dada putranya.

Ali memilih diam tanpa berkomentar apapun karena sesungguhnya perasaannya saat ini sama hancurnya dengan Winda. Ali benar-benar tidak menyangka Papanya mengidap penyakit mematikan itu.

Bagaimana ini apa yang harus ia lakukan? Dia tidak ingin Papahnya kenapa-napa, dia belum benar-benar berbakti pada Papanya selama ini.

Dia masih sering menentang bahkan membangkang sang Papa. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan?

Ali mendekap erat Ibunya yang terus menangis di pelukannya. Dokter sudah berlalu pergi setelah mengabarkan berita yang mampu mengoyak hati Ali dan Ibunya.

Ali terus mendekap Ibunya sambil memapah sang Ibu untuk duduk nyaman di kursi yang di sediakan di depan ICU dimana Papanya berada. Aji sedang dalam penanganan Dokter secara intensif.

Ali tidak bisa membayangkan jika dia terlambat datang mungkin Ibunya akan pingsan karena menghadapi masalah ini sendirian. Ali masih ingat bagaimana dia mengemudikan mobilnya secara ugal-ugalan demi segera tiba di rumah sakit.

Dan sejak Ali tiba sampai saat ini Papanya belum juga sadarkan diri. Menurut cerita Mamanya tadi Aji jatuh pingsan setelah menunaikan ibadah shalat zuhur dan Winda segera membawa suaminya ke rumah sakit.

"Mama tenanglah jangan menangis Mas yakin Papa akan baik-baik aja."Ali berusaha menenangkan Ibunya yang masih terus menangis.

"Ma..ma takut Mas. Hiks.."

"Ssstt..jangan takut Mah! Ada Mas di sini Mas yakin Papa akan baik-baik aja."Ali mengeratkan pelukannya pada sang Ibu.

Winda mendekap erat putranya membenamkan wajahnya didada Ali. Saat ini hanya Ali yang menjadi tempat bersandarnya sedangkan Aji pria yang sangat dicintai olehnya sedang terbaring lemah berjuang untuk tetap hidup.

'Papa harus kuat! Papa harus bangun Mama menunggu Papa disini. Mama mohon Pah! Mama cinta Papah, Mama nggak akan bisa hidup tanpa Papah.'

Menjelang magrib Aji sudah membuka matanya, dia sudah melewati masa kritisnya meskipun begitu Aji masih perlu di rawat intensif di rumah sakit sampai kondisinya benar-benar dinyatakan sehat.

"Papa mau minum?"Winda tidak pernah menjauh dari sisi suaminya sejak Aji membuka mata.

Aji tersenyum lembut pada istrinya, "Mama cantik."pujinya lemah.

Winda tersenyum manis pada suaminya, "Iya dong kalau nggak cantik mana mungkin Papa jatuh cinta berkali-kali sama Mama ya kan?"Winda mencandai suaminya agar suasana ruang itu sedikit ceria.

Aji tersenyum sambil mengangguk pelan kondisinya masih lemah bahkan untuk mengangkat tangannya saja dia belum mampu. "Jika Papah pergi Mama harus tetap ceria dan cantik seperti ini ya. Biar Papah tenang."Ujar Aji sendu.

Winda menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengusap-usap lembut dahi Aji. Matanya sontak berkaca-kaca dia sudah berusaha menahan diri agar tidak mencerca suaminya yang tega-teganya menyembunyikan penyakitnya dari dirinya.

"Maafin Papah. Papa tidak bermaksud membohongi Mama. Papa cuma nggak mau Mama khawatir."Suara Aji terdengar begitu lemah.

Akhirnya tangis Winda pecah. Winda menangis histeris sambil menenggelamkan wajahnya pada lengan Aji. Tanpa bisa di cegah air mata Aji ikut menetes mendengar tangisan istrinya.

Bahkan Ali yang mengintip di balik pintu ikut menangis dalam diamnya. Ali menggigit kuat-kuat tangannya yang terkepal untuk menahan isakan tangisnya yang hampir meledak.

**

Prilly sudah siap dengan celana jeans dan kaos lengan pendek serta tas selempang kecil yang membelit tubuh mungilnya. Dia sedang menunggu jemputan dari Ali. Prilly sengaja tidak meminta izin pada Ibunya, dia takut jika Ibunya tahu dia ingin kerumah sakit untuk bertemu Aji bisa-bisa dia dilarang pergi oleh Ibunya.

Prilly sengaja menunggu Ali didepan pintu pagar rumahnya agar Ali tidak perlu masuk bukan apa-apa Prilly hanya minimalisir kemungkinan Ibunya bangun.

Prilly bergerak gelisah sambil menggigit-gigit jarinya matanya berkali-kali menoleh kearah samping untuk melihat mobil Ali. Entah kenapa sejak menerima telfon dari Ali tadi hatinya benar-benar gelisah.

Tinn!!

Prilly segera menoleh dengan cepat dia berjalan menuju samping mobil Ali yang sudah terparkir di hadapannya. "Kamu udah ijin sama Ibu kamu?"Tanya Ali setelah Prilly duduk di kursi penumpang sebelahnya.

Prilly menoleh menatap Ali lalu menganggukkan kepalanya. "Udah kok."jawabnya berbohong. Entah kenapa Prilly tidak ingin memberi tahu Ali kalau sebenarnya dia dilarang oleh Ibunya berhubungan dengan keluarga Suryo.

Ali menganggukkan kepalanya lalu mulai melajukan mobilnya. Selama perjalanan baik Ali maupun Prilly sama-sama larut dalam pikiran masing-masing.

Hampir dua puluh menit perjalanan mereka lalui dengan keheningan hingga akhirnya Ali berdehem lalu mulai berbicara. "Papa mengidap kanker paru-paru."

Prilly membulatkan matanya lalu menoleh menatap Ali dengan pandangan terkejut bukan main. "Ya Allah Om Aji."Mata Prilly sontak berkaca-kaca, dia benar-benar tidak menyangka Aji mengidap penyakit mematikan itu.

"Kemungkinan untuk Papa sembuh sangat kecil karena kanker itu sudah memasuki stadium 4. Kanker itu sudah menjalar ke organ lain."Ali menelan ludah susah payah jantungnya berdegup kencang hingga nyaris meledak akibat rasa sesak dan takut yang tengah dialaminya saat ini.

Prilly menatap Ali penuh prihatin, dia tahu pasti ini sangat berat untuk Ali dan Tante Winda hadapi tanpa bermaksud apapun Prilly mengulurkan tangannya lalu menggenggam erat tangan Ali yang terasa bergetar didalam genggamannya.

Ali menoleh menatap Prilly dan tangannya yang berada didalam genggaman Prilly secara bergantian. "Aku yakin Om Aji akan baik-baik saja."Ujar Prilly dengan senyum lembutnya ketika matanya dan Ali bertemu.

Ali menghentikan laju mobilnya ketika berada di lampu merah tanpa menarik tangannya dari genggaman Prilly. Setelah mobil berhenti Ali memusatkan perhatiannya pada Prilly sepenuhnya. "Benarkah?"Tanyanya yang diangguki oleh Prilly.

"Tentu saja. Om Aji orang baik Allah pasti akan menolong orang baik."Ujar Prilly yakin.

Ali tersenyum masam ketika Prilly mengatakan Papanya orang baik. Apakah ketika Prilly tahu semuanya gadis itu masih mengatakan kalau Papanya adalah orang baik?

Prilly jadi salah tingkah ketika Ali menatapnya begitu intens berkali-kali dia mengalihkan pandangannya agar Ali tidak melihat wajahnya yang bersemu merah.

Ali tersenyum tipis ketika melihat rona merah menjalar sampai ke telinga dan leher putih Prilly. Rambut Prilly yang di cepol keatas membuat mata Ali leluasa mengagumi mulusnya leher Prilly.

Tangan Ali terasa gatal ingin menyentuh dan merasakan bagaimana halusnya kulit Prilly tanpa bisa di cegah tangan Ali yang lain terangkat ingin menyentuh tekuk Prilly dan hampir saja dia merasakan kelembutan kulit Prilly ketika bunyi klakson mobil di belakangnya terdengar memekakkan telinga.

Tanpa bisa dicegah mulut Ali segera mengumpati mobil itu. "Sialan! Ganggu aja tuh mobil!"

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang