Bab 9

3.2K 339 3
                                    

Ali keluar dari kamar mandi setelah menghabiskan waktu hampir 30 menit untuk membersihkan diri setelah berolahraga setelah subuh tadi lalu bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.

Ali mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang berada di tangan kanannya. Bagian atas tubuhnya yang sedikit berotot di biarkan terbuka sedangkan bagian bawahnya tertutup handuk sebatas lutut.

Ali mengacak-acak rambutnya memastikan tidak ada air yang menetes dari sana. Setelah itu Ali berjalan menuju lemari lima pintu yang berada disisi kanan ranjangnya.

Ali membuka pintu lemari dan mulai memilih puluhan kemeja miliknya yang menggantung di dalam lemari. Dan pilihan Ali hari ini jatuh pada kemeja warna navy lalu celana kain hitam seperti biasa.

Ali juga mengambil dasi dengan warna sedikit lebih cerah dari warna bajunya. Bersenandung pelan Ali mulai melepas handuk yang melekat pada tubuhnya dengan tubuh dibiarkan telanjang Ali mengenakan pakaian dimulai dari celana dalam hingga selesai.

Ali menyisir rambut lebatnya rambutnya memang sudah lembut dan hitam sejak lahir sehingga tidak terlalu sulit untuk Ali merapikannya.

Cukup disisir maka rambutnya akan rapi hampir sama seperti dipakai gel rambut. Ali sudah terlihat tampan setelah merasa penampilannya sudah beres Ali kembali membuka lemari paling sudut untuk mengambil jas.

Setelah semuanya beres Ali mengambil tas kerjanya lalu menyampirkan jas dilengannya sebelum keluar dan menuruni tangga menuju meja makan.

Ali melirik jam tangan seharga mobil baru yang melekat di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi.

Hari ini tidak ada jadwal penting sehingga Ali bisa sedikit bersantai dan tidak perlu pagi-pagi sekali untuk tiba di kantor.

"Selamat pagi Ma."Ali mengecup lembut pelipis wanita kesayangannya itu.

"Pagi Sayang. Duduk gih! Mau sarapan apa pagi ini Nak?"Winda begitu telaten melayani putra tunggalnya.

"Eum nasi goreng Mama deh! Pasti enak."Kata Ali dengan mata berbinar seperti anak kecil saat melihat satu mangkuk nasi goreng buatan Winda.

Winda terkekeh geli sambil menggerakkan tangan mengisi piring putranya dengan nasi goreng. "Makanya cari istri biar ada yang layanin terus masakin nasi goreng tiap pagi."Gurau Winda sambil menyerahkan piring yang sudah diisi dengab nasi goreng untuk putranya.

"Kan ada Mama."Sahut Ali cuek sambil menerima piring dari Winda.

Winda mendengus lalu menarik kursi disamping putranya. "Papa mana Ma? Nggak sarapan bareng kita?"Tanya Ali ketika tidak melihat sosok Aji di meja makan pagi ini.

"Oh Papa lagi ke tempat almarhum sahabat Papa."Jawab Winda setelah menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

Ali berdecak samar, "Ngapain sih pagi-pagi udah kesana? Repotin diri sendiri aja tu Papa."Ali melahap nasi gorengnya dengan perasaan jengkel.

Winda menghela nafasnya, "Mas kita terutama Mama dan Papa mempunyai kesalahan besar pada keluarga almarhum sahabat Papa. Jadi sudah seharusnya kita seperti ini."Winda memberi penjelasan pada putranya.

"Ya tapi nggak sampai ke tahap mengemis seperti ini juga kan Ma? Yaudahlah kalau mereka nggak mau nerima bantuan kita. Ngapain di pikirin kali."dengus Ali kali ini tanpa menutupi rasa jengkelnya.

Moodnya langsung berantakan jika sudah membahas perihal ini dia masih belum bisa menerima dengan tindakan yang orang tuanya ambil, masak iya merasa bersalah sampai harus mengemis seperti ini belum lagi setengah saham yang direncanakan akan di berikan pada putri sahabat orang tuanya itu.

Benar-benar tidak masuk akal menurut Ali.

Winda baru akan membuka suaranya lagi sampai tiba-tiba ponselnya yang dia letakkan di atas meja dekat dapur berbunyi. "Bentar ya Mama ambil hp dulu kamu lanjutin makan aja."

Sepeninggalan Ibunya Ali meletakkan sendok miliknya nafsu makannya sudah hilang dan dia berniat menyelesaikan makannya. Ali meneguk air putih yang disediakan oleh Ibunya lalu berniat meninggalkan meja makan.

Namun belum sempat Ali beranjak Ibunya dengan tergopoh-gopoh berlari menghampirinya. "Kenapa Ma?"Tanya Ali bingung, pasalnya wajah cantik Ibunya sedikit pucat.

"Antarin Mama kerumah sakit sekarang Mas! Cepetan!"Winda menarik lengan putranya tanpa menjawab pertanyaan Ali.

Ali masih belum bisa membaca keadaan namun tetap mengikuti langkah Ibunya yang terus menyeret lengannya. Yang Ali tahu hanya satu tujuan mereka sekarang adalah rumah sakit.

**

Prilly tidak bisa menahan tangisannya ketika sang Ibu sudah di dorong menuju UGD. Prilly nyaris terjerembab ke lantai jika Aji tidak menahan tubuhnya.

"Om.."Isaknya begitu pilu.

Aji segera mendekap putri dari almarhum sahabatnya. Putri yang sekarang berada dalam dekapannya sudah melalui banyak penderitaan karena kecurangannya dulu.

Prilly harus menderita karena keegoisannya sedangkan Ali putranya hidup dalam kemewahan dan kenyamanan yang dia dapatkan dari hasil menipu sahabatnya sendiri.

"Ibu Om. Ibu.."Prilly menangis tersedu-sedu dia sangat ketakutan saat ini pasalnya dia tidak pernah melihat Ibunya kehilangan kendali seperti ini.

Dia benar-benar takut dia tidak ingin kehilangan Ibunya sudah cukup Ayahnya yang pergi jangan Ibunya lagi.

Prilly terus memohon pada Tuhan agar Ibunya diberi kesempatan untuk sehat kembali dia masih belum memberikan kebahagiaan pada Ibunya.

"Jangan menangis! Om yakin Ibu kamu akan baik-baik saja. Om yakin Ibu kamu wanita hebat dia pasti akan baik-baik saja."Aji mengusap lembut kepala Prilly bahkan dia mengabaikan luka di pelipisnya yang masih meneteskan darah.

Prilly merenggangkan sedikit pelukannya lalu meringis pelan saat menatap wajah Aji yang dipenuhi darah. "Om harus diobati luka Om harus segera ditangani."Paniknya tanpa menghiraukan Aji yang terus mengatakan tidak apa-apa Prilly memanggil seorang suster yang lewat.

"Suster tolong. Om saya terluka tolong obati beliau."Prilly mendorong tubuh Aji yang menolak di obati meskipun akhirnya dia mengalah ketika Prilly terus mendorong tubuhnya.

"Tunggu disini dan jangan menangis sendirian! Om nggak akan lama."Peringat Aji sebelum mengikuti langkah suster yang akan mengobati lukanya.

Prilly mengangguk setuju matanya beralih menatap punggung Aji yang menghilang bersama suster yang dia panggil tadi.

Prilly menghela nafasnya, matanya kini sudah berfokus pada pintu UGD, perasaannya berkecamuk dia ingin Ibunya segera bangun dan menceritakan semuanya padanya.

Prilly yakin ada sesuatu yang mengerikan yang pernah terjadi antara Ibu dan Om Aji di masa lalu mereka karena kalau tidak Ibunya tidak mungkin akan sehisteris itu.

Ibunya tidak akan menyakiti Om Aji kalau tidak ada hal buruk yang terjadi di antara mereka, tapi hal buruk apa yang dilakukan Om Aji pada Ibunya?

Prilly menghela nafasnya sebelum mengusap wajahnya dengan kasar, dia akan mencari tahu semuanya sendiri. Dia yakin dia bisa mengetahui semuanya jika bukan pada Ibunya maka dia akan bertanya bila perlu memaksa Om Aji untuk menceritakan semuanya.

Harus.

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang