Bab 30

3.7K 364 14
                                    


Ali berlarian di loby rumah sakit begitu turun dari mobilnya dia langsung bergerak menuju ruangan Papanya. Menurut Ibunya Aji sang Papa sudah dibawa keruang ICU untuk mendapatkan penanganan khusus dari Dokter.

Dengan langkah tergesa Ali berlari menuju menuju ruang ICU. Nafasnya tersengal-sengal saat hampir mencapai ruang ICU dia bisa melihat Ibunya yang mondar-mandir didepan ruang sambil menangis terisak-isak.

"Mama."

Winda menoleh dan segera menubruk tubuh putranya ketika Ali sudah berdiri tak jauh darinya. "Papa Mas. Papa. Hiks.."Winda mengadu pada putranya.

Ali mengeratkan pelukannya pada sang Ibu dengan nafas masih tersengal. "Tenang Mah. Tenang."Ali berusaha menenangkan Ibunya meskipun jantungnya sendiri tengah berdegup kencang.

Ali ketakutan dia nyaris tercekik oleh rasa cemas yang mendera. Apa benar-benar tidak ada harapan lagi untuk Papanya hidup? Apa benar-benar harapannya untuk membahagiakan sang Papa juga pupus seiring dengan menyerahnya sang Papa untuk kembali membuka mata?

'Jangan menyerah Pah! Jangan Mas mohon jangan! Mas masih belum bisa mendapatkan maaf dari Prilly. Maafin Mas karena harus membuat Papa menunggu lebih lama lagi'

Ali tahu Papanya pasti tersiksa dengan penyesalan dan juga kesengsaraan karena belum mendapatkan maaf dari Prilly dan Ibunya.

Ali dan Winda masih berpelukan saat tiba-tiba pintu ICU terbuka. Baik Winda maupun Ali segera menyongsong Dokter dan mulai bertanya tentang keadaan Aji terutama Winda yang terus memberondong Dokter dengan berbagai pertanyaan.

"Mama tenang dulu. Berikan Dokter Irwan kesempatan untuk berbicara."Ali menyela sambil memeluk bahu Ibunya.

Winda menghela nafas lalu mengangguk pelan, "Bagaimana keadaan suami saya Dokter? Mas Aji baik-baik saja kan?"Winda berharap Dokter tidak memberikan kabar buruk namun sepertinya Tuhan enggan mengabulkan harapan Winda.

"Maaf Nyonya dengan terpaksa saya harus mengatakan kabar buruk ini."Dokter Irwan terlihat menghela nafas sedangkan Winda sudah merasa seperti tidak menginjak tanah lagi tubuhnya limbung untung Ali dengan sigap menopang tubuh Ibunya.

Ali terlihat lebih tegar dari pada Winda yang hampir kehilangan kesadarannya. "Ada apa Dokter? Katakan saja sebenarnya bagaimana kondisi Papa saya?"Ali sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk menghadapi kabar buruk yang sewaktu-waktu bisa datang hanya saja dia tidak menyangka kalau waktu itu akan tiba dalam waktu sedekat ini.

Dokter Irwan kembali menghela nafas lalu menatap Ali dengan sendu. "Sepertinya harapan Pak Aji untuk sembuh semakin tipis selain sel kanker yang sudah menyebar ke organ penting tubuhnya sepertinya Pak Aji memang ingin menyerah pada hidupnya."

Winda sudah menangis terisak-isak di dalam pelukan Ali sedangkan Ali hanya bisa mematung. "Cepat atau lambat menurut perkiraan jaringan otak Pak Aji akan mati seiring berjalannya waktu karena selain kanker paru-paru kami juga menemukan penyakit lain yang diderita Pak Aji."

"Penyakit lain Dokter? Penyakit apa? Sebenarnya berapa banyak penyakit-penyakit mematikan itu bersarang di dalam tubuh suami saya, hah?! Katakan Dokter! Katakan!!"Winda mulai histeris merengsek maju lalu memukul-mukul pelan dada Dokter muda itu.

Dokter Irwan terdiam membiarkan Winda melampiaskan rasa frustasi yang tengah melanda dirinya. Dokter Irwan sudah sering menerima perlakuan seperti ini dan dia sama sekali tidak menyalahkan mereka-mereka yang bertindak bar-bar seperti ini karena dia tahu tindakan ini hanya bentuk dari luapan kesedihan dan juga ketakutan dari mereka yang tidak ingin kehilangan orang-orang yang mereka cintai.

"Mama tenanglah! Mama jangan seperti ini Mah! Mama!"Ali segera menarik Ibunya ke dalam rengkuhannya dan membiarkan Ibunya menangis meraung di dalam pelukannya.

Dokter Irwan mengundurkan diri sebelum benar-benar beranjak dia sempat mengatakan kalau Ali ingin tahu lebih detail tentang penyakit Papanya bisa langsung menemui Dokter Irwan didalam ruangannya.

Ali tentu menganggukkan kepalanya dia memang ingin tahu tentang kondisi sang Papa tapi tidak untuk saat ini karena Ali sudah kembali dilanda kecemasan saat tiba-tiba tubuh Winda melemah didalam pelukannya.

"Mama! Ya Allah Mah! Bangun! MAMA BANGUN!!"

Dokter Irwan yang belum terlalu jauh beranjak segera berbalik saat mendengar teriakan Ali dan dengan cepat dia memanggil suster untuk membawakan brangkar untuk Winda.

"Mama Bangun Mah! Ya Allah Mamah!"

**

Ali menghempaskan tubuhnya yang terasa begitu lemah dia kehilangan tenaga setelah Dokter menjelaskan rangkaian penyakit yang diderita Papanya.

"Kami menemukan benjolan yang ukurannya lumayan dikepala Pak Aji."

Ali memejamkan matanya, dia nyaris menyerah jika tidak mengingat bagaimana tersiksanya sang Papa saat ini. Langkah Papanya seperti tertahan karena belum mendapatkan maaf dari Prilly dan Maryam.

Mengusap sudut matanya yang berair Ali beranjak, kali ini dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf dari Prilly dan Ibunya.

Kalau perlu dia akan berlutut didepan rumah Prilly sampai Prilly dan Ibunya memaafkan kesalahan Papanya.

Sebelum beranjak dia mengeluarkan ponselnya lalu menekan nomor Rama. Dia tidak bisa meninggalkan Ibunya yang masih dirawat sendirian. Winda terserang demam setelah sadar dari pingsannya dan mau tidak mau Winda harus dirawat.

"Halo Ram!"

"Iyee ape?"

Menghela nafas Ali kembali bersuara, "Berkas pemindahan saham udah lo siapin kan?"

"Udah dong! Lo harus bersyukur punya kaki tangan macam gue! Dalam sekali jentikan jari semua tugas yang lo kasih selesai. Lo nya aja yang kagak pernah bersyukur karena memiliki gue."

Ali kembali menghela nafas kondisinya tentang tidak tepat untuk mendengar cerocosan Rama yang tidak baik untuk kesehatan telinga dan jantungnya. Sialan! Jantungnya berdebar kencang ingin membunuh Rama.

"Gue mau lo kerumah sakit sekarang! Sekalian bawa semua berkas itu ke rumah sakit gue tunggu lo disini."Ali menyebutkan nama Rumah sakit tempat Papanya di rawat.

"Yah Tuhan! Ngapai lo kerumah sakit hah? Lo sakit? Sakit apa? Sakit jiwa? Perasaan yang bermasalah sama kejiwaan itu gue deh bukan elo."teriakan heboh Rama diseberang sana membuat Ali tidak tahan untuk tidak mengumpat.

"Lo lakuin aja apa yang gue suruh nanti lo bakal liat sendiri ngapain gue dirumah sakit ini!"Dengan kesal Ali memutuskan sambungan telfon tanpa membiarkan Rama kembali mengeluarkan suara manjanya.

Iuh! Ali jadi geli sendiri.

Ali mengantongi kembali ponselnya. Begitu Rama tiba dia akan segera mengambil berkas itu dan kembali berjuang untuk mendapatkan maaf dari Prilly dan Ibunya untuk kesembuhan sang Ayah.

Ali yakin Ayahnya akan sembuh dan kalaupun Tuhan berkehendak lain paling tidak Ali tidak akan menyesali kepergian sang Ayah untuk seumur hidupnya.

Dia berusaha mengabulkan apa yang diinginkan Papanya dan dia tahu selain menginginkan kebahagiaannya sang Ayah juga sangat mengharapkan pengampunan dan maaf dari keluarga Prilly.

"Ya Allah mudahkan jalanku kali ini. Amiin.."

*****

Warisan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang