Jika ada yang mengatakan kalau Takdir sudah 'bermain' maka hal mustahil sekalipun bisa saja terjadi.Jika Tuhan sudah berkehendak bahkan hal yang sama sekali tidak pernah terfikirkan sekalipun bisa terlaksana meski tanpa rencana.
Dulu ketika almarhum Ayahnya masih hidup Prilly pernah mendengar satu kata yang keluar dari mulut Ayahnya. "Jika Tuhan sudah berkehendak kita bisa apa?"
Dan sekarang terjadi, jika Tuhan sudah menghendaki dirinya bertemu kembali dengan pria yang berhasil membuat jantungnya merosot dia bisa apa?
Dan yang lebih 'wow' lagi adalah fakta yang didapatkan olehnya kalau pria yang bernama Ali ini adalah putra dari Om Aji dan Tante Winda.
Prilly sama sekali tidak merasakan apapun ketika dengan tenang Winda berkata. "Dulu kalian memang ingin dijodohkan oleh kami."
Reaksi yang sama juga terlihat pada Ali yang entah kenapa wajahnya yang dingin kini berubah pucat. Pria itu duduk kaku disamping Ibunya tanpa melepaskan matanya dari gadis yang terdiam seperti merenung di kursi di hadapannya.
Ali sama sekali tidak menyangka keinginannya untuk menemui sang Ibu karena khawatir dengan kondisi sang Ayah berujung pada kembali bertemunya dia dengan gadis can-- tidak dengan gadis kecil yang sama sekali tidak cantik itu.
Enak saja cantik, cantikan juga Rama kemana-mana. Eh?
Ali segera menggelengkan kepalanya saat tiba-tiba bayangan Rama berbando pink memasuki otaknya. Ali bahkan bergidik tanpa sadar saat dalam bayangannya Rama memperagakan cakaran harimau dengan gaya begitu manja.
Manja-manja minta di sembelih gitu.
"Papa kemana Mah?"Akhirnya Ali berhasil menguasai diri setelah menghempaskan bayangan durjana sahabat beloknya itu.
"Ke depan mungkin."jawab Winda ambigu.
Ali mengernyit bingung namun sebelum dia sempat mengutarakan kebingungannya Prilly terlebih dahulu berujar. "Tante aku ke atas lagi ya mau jenguk Ibu siapa tahu Ibu sudah bangun."Prilly tersenyum lembut pada Winda tanpa membagikannya pada Ali.
Tiba-tiba Ali merasa senewen sendiri ketika Prilly sama sekali tidak menyapa bahkan menatapnya saja tidak.
Winda mengangguk ragu sebenarnya dia tidak ingin menunda-nunda niatnya untuk menceritakan semuanya pada Prilly tapi sepertinya akan lebih baik jika ada Aji bersamanya nanti ketika mereka mengakui semuanya.
"Silahkan Nak. Salam untuk Ibumu ya, nanti kalau mau pulang Tante pamit ke kamar ibu kamu ya."
Prilly menganggukkan kepalanya, "Aku duluan ya Tante."Dan Prilly segera membalikkan badannya tanpa menoleh atau berpamitan pada Ali.
Ali berdecak kesal, dia tidak suka ketika dirinya dianggap tak kasat mata padahal jelas-jelas dia berada disana tapi kenapa gadis itu tidak berpamitan padanya juga?
Memangnya lo siapa? Suaminya?
Bukan gue kakeknya puas lo?! Balas Ali didalam hati.
"Kamu kenapa Mas?"
Ali tersentak dan langsung menoleh menatap Ibunya. "Ke..napa apanya Ma?"Ali berusaha terlihat biasa saja saat Winda menelisiknya.
"Muka kamu kayak orang kesal gitu?"Winda melihat sendiri bibir putranya manyun-manyun lalu berdecak seperti orang kesal.
"Masak sih? Perasaan biasa aja ah Ma."Ali berusaha mengelak.
Winda menggelengkan kepalanya, "Mama yakin tadi kamu gitu mana mungkin perasaan Mama aja orang Mama liat kamu manyun-manyun gini."Winda mempraktekkan bibir manyun putranya.
Ali meringis pelan tanpa sadar dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kebelet pup ini Ma makanya gitu. Yaudah Mas ke kamar mandi dulu ya nggak tahan lagi ini."Ali menepuk perutnya pelan dan membuat wajahnya benar-benar seperti orang mulas.
Ali mengecup kilat pipi Ibunya sebelum beranjak dari sana dengan bibir manyun seperti yang dipraktekkan oleh Winda tadi.
"Memang bahaya banget radar kepekaan cewek."katanya pelan sebelum berlalu dari kantin rumah sakit.
**
Prilly memasuki ruang perawatan Ibunya. Prilly menghela nafasnya ketika melihat sang Ibu masih terpejam dengan posisi yang sama seperti tadi.
Prilly menutup pintu secara perlahan dengan langkah lesu dia berjalan mendekati ranjang dimana Ibunya terbaring dengan mata terpejam rapat.
"Ibu kapan bangun Buk? Aku kangen."Prilly mendudukkan bokongnya di atas kursi yang berada disisi ranjang dimana Maryam terbaring.
Dengan perlahan Prilly mengambil tangan Ibunya yang terbebas dari jarum infus. Mengecup lembut punggung tangan Ibunya sebelum Prilly merebahkan kepalanya disana.
Dengan perlahan mata Prilly terpejam seiring genggamannya mengendur pada tangan Maryam.
Di lain tempat terlihat seorang pria duduk merenung di taman rumah sakit. Dia adalah Aji.
Berkali-kali terdengar helaan nafas dari mulutnya seiring rasa sesak yang semakin menumpuk di dadanya. Meremas rambutnya Aji benar-benar merasa bersalah.
"Mas."
Aji menolehkan kepalanya menatap Winda yang baru saja menepuk pelan bahunya. "Sudah cukup kamu menyendiri Mas. Tidak ada yang perlu kita sesali yang terpenting kita berusaha untuk memperbaiki dan meminta maaf pada Prilly."Winda menghempaskan bokongnya di bangku taman tepat disamping suaminya.
"Papa benar-benar layaknya bajingan dan Papa tidak berani menatap wajah Prilly Mah. Papa benar-benar merasa bersalah."Aji kembali mengusap wajahnya dengan frustasi.
Winda menatap prihatin suaminya. Jika dia akan tahu akhirnya seperti ini Demi Tuhan dia tidak akan berbuat keji pada Usman dahulu tapi apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur tidak ada gunanya mereka meratapi yang sudah terjadi yang terpenting adalah meminta maaf dan mengakui semuanya.
Jika akhirnya Prilly tidak memaafkan mereka itu sudah menjadi resiko atas perbuatan curang mereka dahulu.
"Mama mengerti karena apa yang Papa rasakan juga Mama rasakan tapi kita harus menghadapinya. Mama yakin Prilly akan memaafkan kita walaupun jalannya tidak akan mudah. Kita hanya perlu berusaha Pah."
Aji mengangkat kepalanya menatap istrinya dengan sorot sendu. "Maafkan sikap pengecut Papah tadi ya."Aji menggenggam tangan istrinya.
Winda tersenyum sambil membalas genggaman tangan suaminya."Nggak apa-apa Mas."
"Ah ya tadi Ali kesini Pah."Winda mulai menceritakan kedatangan putra mereka termasuk sikap kaku Prilly dan Ali yang terlihat jelas di mata Winda.
"Kayaknya ada sesuatu deh sama mereka Pah?"Winda mulai mengeluarkan asumsinya.
"Maksud Mama gimana?"tanya Aji mengerutkan keningnya dia tidak mengerti maksud istrinya.
Winda menggeserkan bokongnya lebih mendekati Aji lalu berbisik pada telinga suaminya sebelum itu dia menoleh ke kanan dan kiri seolah memastikan tidak akan ada orang yang mendengar percakapan mereka.
"Mama ngapain sih?"
"Iihh Papa diam deh, ini rahasia banget loh Pah jangan sampe ada yang dengar apalagi Mas Ali."Winda menepuk pelan punggung suaminya.
Aji terkekeh geli, sikap istrinya benar-benar menggemaskan. "Yaudah emang Mama mau bisikin apa?"
Winda tersenyum dan entah kenapa Aji melihat keganjilan dalam senyuman istrinya itu dan sebelum mengutarakan keganjilan itu Winda terlebih dahulu mendekatkan mulutnya pada telinga Aji dan berbisik-bisik disana.
"Mama jangan aneh-aneh deh ah."Aji langsung berkata setelah Winda selesai berbisik padanya.
*****