Sanemi keluar dari persembunyiannya dan berjalan mendekati Kira. Ia menepuk pelan pundak Kira dari belakang.
"Kalian bertengkar."
Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan perkataan yang lebih ditujukan pada sosok gadis 17 tahun yang mematung di tengah jalan. Tatapan Kira masih mengarah pada sang rembulan.
"Aku sudah bilang kalau dia tidak akan menyukainya nanti." Ucap Sanemi. Manik hitamnya mengikuti arah pandang Kira.
"Suka atau tidak. Apapun yang kulakukan, ia akan tetap membenciku. Itu faktanya." Balas Kira dengan tatapan kosong.
"Aku tidak mengerti. Apa sebegitu sulitnya untuk berkata kalau 'kau menyukainya'?"
"Tidak ada yang sulit, Shinazugawa-san. Tapi, mendengar jawabannya yang sulit." Kira memandang bola hitam Sanemi dengan senyuman pahit terpatri di wajah.
"Aku tidak tahu." Sanemi mengedikkan bahu.
"Cobalah untuk berbicara dengannya. Minta maaf dan mungkin dia akan mendengarkanmu."
"Aku sudah meminta maaf padanya. Tapi tetap saja-"
"Kira."
Sanemi menangkup wajah Kira dengan lembut. Ini sudah diluar konteksnya. Shinazugawa Sanemi tidak pernah bersikap seperti ini. Ia melawan karakternya sendiri.
"Kau tidak akan tahu jika tidak mencobanya. Menurutku dia tidak benar-benar membencimu. Kalian sudah bersama dari kecil, bukan?" Kira mengangguk.
"Minta maaf lagi padanya. Dan biarkan dia sedikit tenang. Lalu kau bisa mendekatinya seperti biasa. Semua akan baik-baik saja. Percayalah."
Kira melepaskan tangan Sanemi dari wajahnya. "Kau benar Shinazugawa-san. Mungkin tidak menjalankan misi bersama Giyuu-san adalah pilihan yang bagus. Aku harus membiarkannya tenang."
"Kalian terlalu sering mengerjakan misi berdua."
"Iya " Binar dimata Kira sudah kembali.
"Aku akan menemuinya dan meminta maaf padanya lagi." Kira memegang pundak Sanemi dengan penuh semangat.
"Jaa nee. Terimakasih sarannya, Shinazugawa-san."
Lalu berlari meninggalkan Sanemi sambil melambaikan kedua tangan. Sanemi balas melambai.
"Tomioka harusnya sadar kalau dia itu orang yang beruntung. Bisa dekat dengan Kira dari kecil."
***
Giyuu menatap bulan purnama dari atas batu besar di kediamannya. Matanya menerawang pada masa ia masih kecil dahulu. Duduk berdua dengan Sabito di atas batu seperti ini. Tidak sengaja melihat bintang jatuh dan berharap.
"Huh."
Kedua tangan Giyuu gunakan untuk menopang tubuhnya. Kepala menengadah menatap langit malam. Malam ini tidak ada cahaya bintang yang menemani sang bulan.
"Aku benar kan Sabito? Berharap pada bintang jatuh itu adalah hal yang konyol. Nyatanya kita berempat tidak bisa bersama selamanya."
Tap. Tap. Tap.
Suara langkah kaki memecah keheningan malam. Hal tersebut tidak mengusik Giyuu. Giyuu suka suara langkah kaki itu. Giyuu suka harum bunga wisteria yang semakin mendekat ke arahnya.
"Ternyata memang benar kau ada disini Giyuu-san." Itu suara Kira.
Kira meloncat naik ke atas batu dan mengambil tempat di sebelah Giyuu. Kaki jenjangnya mengayun di sisi bawah batu besar.
"Lagi memikirkan Sabito-san, hmm?" Tanyanya. Giyuu tidak menjawab.
"Kalau diam. Kuanggap itu benar."
Setelahnya keheningan menyelimuti keduanya. Cukup lama sampai Kira mengeluarkan suara.
"Untuk yang tadi, aku minta maaf." Kira menyangga tubuh rampingnya dengan kedua tangan.
"Aku melakukannya karena ingin diperhatikan oleh Giyuu-san." Perkataan itu membuat Giyuu menoleh pada Kira.
"Tapi siapa sangka kau malah tidak menyukainya." Kepala Kira menunduk. Anak rambut menutupi bola mata indah milik Kira.
"Aku sudah berusaha sejauh ini agar kau tidak membenciku. Tapi tetap saja, dari dulu sampai sekarang, kau masih membenciku Giyuu-san." Bola biru membulat sempurna kala mendengar perkataan yang keluar dari bibir ranum Kira.
"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Jika kau tidak mau memaafkanku, aku tidak masalah. Karena ini salahku." Tubuh Kira gemetar. Ia mati-matian menahan tangisnya.
"Harusnya aku-"
Cup.
Giyuu tiba-tiba merangkul dan membawa tubuh Kira dalam dekapan hangat. Lalu ia mencium puncuk kepala Kira. Giyuu mengelus rambut panjang Kira yang halus.
"Maafkan aku Kira." Hanya itu kalimat yang mampu diucapkan Giyuu.
"Hikkss. Hikss. Hikss. Giyuu-san."
Kira membalas dekapan Giyuu. Jari tangan meremas haori milik Giyuu. Air mata berderai keluar. Ia menangis sejadi-jadinya dalam dekapan hangat itu. Sudah lama sekali Kira tidak menangis.
"Hikss. Hikkss. Onii-chan."
Entah mengapa didekap Giyuu membuat Kira jadi teringat dengan mendiang kakak laki-lakinya. Jika kakaknya masih hidup, ia pasti seumuran dengan Giyuu.
"Maafkan Kira, Onii-chan. Hikss. Hikss." Ucapnya disela isak tangis.
"Maafkan Kira, Giyuu-san. Hikss. Maafkan Kira."
"Sudahlah." Giyuu menenangkan Kira yang menangis sesenggukan. Air mata membasahi seragam dan haori yang Giyuu kenakan.
'Maafkan keegoisanku, Kira.'
Tbc
Satu kali mendayung, dua cogan didapati😆Kira: apa sih put, iri ya_-
Giyuu: iya nih ganggu orang aja
Sanemi: bocah nolep pergi sana. hush hush
Putri: ih giyuu sama sanemi jahat T_T
Kira: waduh ada yg gk beres nih
Putri: peluk Putri dong giyuu, sanemi😚
Giyuu: sarafnya ad yang lepas nih
Sanemi: gk bener nih bocah
Putri: peluk"😚
Kira: dan akhirnya mereka bertiga kerjar" an. udh gk usah peduliin. Sampe jumpa di chapter selanjutnya, Minna. Dapat salam dari Kira. Semoga sehat selalu yaa.
Bye Bye :)
KAMU SEDANG MEMBACA
HIKARI ; Kimetsu no Yaiba [COMPLETE]
Fanfiction[Sudah Direvisi] My Original Character : Mizuki Kira. Happy Reading :) ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Cahaya. Sesuatu yang sangat aku sukai. Terlebih pada cahaya bintang jatuh. Sangat indah. Itulah yang dipikirkan olehku. Tapi, cahaya yang sangat kusukai...