Raina membuka mata dan tepat dihadapannya ada Halima yang menangis sambil menggengam tangannya.
"Bunda kenapa?" Tanya Raina beringsur bangun dan duduk sambil menyender pada kasur.
"Maafin bunda." Halima lalu memeluk Raina, memberitahu bahwa ia benar benar ketakutan Raina pergi darinya.
"Bunda gak salah." Ujar Raina mengelus tangan Halima. Memberitahu bahwa ia sedang baik baik saja.
Raina mengerti, dan baru mengerti bahwa Halima adalah sosok ibu yang sangat perhatian pada anak anaknya. Walau Raina akui pertama kali saat Halima menyuruhnya memanggil bunda.
Raina kira rasa sayang Halima pada Rafi dan Valina akan berbeda untuk dirinya. Namun nyatanya tidak. Rasa sayang Halima padanya sama seperti anak anaknya.
Raina tak bisa membayangkan jika tidak ada Halima atau Halima tidak pernah menganggapnya anak.
Raina hanya bisa berdoa semoga hal hal baik selalu menyertai Halima.
"Bunda, Rai gapapa." Ujar Raina menghapus air mata Raina.
Mungkin karena Raina dibawa pulang oleh Rafi dengan tertidur, Halima rasa mungkin Raina pingsan.
Namun saat Rendy memeriksanya, Rendy memberitahu bahwa Raina tidak apa apa. Tidak harus mengkhawatirkannya.
Namun saat tadi Raina terbangun, ia merasa bahwa kepalanya terasa begitu penat. Kembali memikirkan hal hal yang membuatnya takut.
Raina kemudian diam saja, tak ingin memberitahu pada Halima bahwa tadi saat tertidur ia ketakutan. Nanti saja saat Halima keluar dan ia akan menceritakannya pada Rendy.
Namun, Rendy akan khawatir sama halnya dengan Halima. Raina jadi bimbang apakah harus memberitahu Rendy atau tidak.
"Aku jemput adek dulu Bun." Ujar Rendy yang dijawab Halima dengan mengangguk.
Rendy lalu keluar dari kamar Raina mengeluarkan mobil BMW-nya dan melaju meninggalkan pekarangan rumah.
Seseorang mengetuk pintu hingga Halima mengizinkan bibi masuk.
"Nyonya, makanan sudah siap." Ujar bibi memberitahu Halima. Halima mengangguk memberitahu bahwa siapkan makanan di piring.
"Bibi udah masak. Sekarang makan ya?"
"Udah lewat jam makan Bun."
"Nah, karena udah lewat jam makan. Makanya kamu harus makan sekarang!" Ujar Halima seperti ingin memangsa makanannya.
Raina meneguk ludah mengangguk bagai anak kecil yang diberi permen.
Halima akhirnya keluar dari kamar sambil cekikikan. Turun kebawah dan menata makanan untuk Raina lalu membawanya keatas.
"Kok bubur si Bun?" Ujar Raina yang memelas karena ia paling tidak suka bubur.
"Ya bagus dong. Orang sakit tuh makannya bubur, bukan makan pizza." Ujar Halima yang berbicara keras saat Rafi lewat didepan kamar Raina.
Rafi langsung berhenti menengok kesebelah dan menemukan bundanya sedang menyuapi Raina.
"Maksudnya apa Bun?" Tanya Rafi yang memasuki kamar Raina dengan langkah kerennya.
"Kenapa bang? Bunda emang ngomong apa?" Pura pura Halima tidak tahu.
"Bunda jangan bohong ya. Tadi abang denger sendiri." Ujar Rafi berkacak pinggang.
"Merasa ya bang?" Tanya Halima kemudian tertawa.
"Kan orang sakit harus diturutin apa kemauannya bun." Rafi lalu duduk bersisihan dengan Halima.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ranzir
Teen FictionDia Raina Alexandria. Seorang perempuan dengan seribu bahasa yang ia simpan dimulut. Bukan masa lalu yang membuat ia sekarang diam, tetapi seseorang yang telah mengambil hatinya kini membenci dirinya. **** Dia, Razir Smolither menyukai seorang cewek...