7. Orang Baru

1.5K 73 4
                                    

Karena malam itu Wirawan pulang dari kantor lebih awal membuatnya bertemu sang putri.

“Maafin Papa ya, Ren. Kamu marah, ya?” katanya dengan lemah lembut. Tas kerjanya ia letakkan di atas meja dan tangannya menarik ujung kemejanya supaya bisa dinaikkan ke atas lengan.

Renata yang sedang duduk di sofa empuk dan matanya yang tertuju pada layar besar televisinya itu masih diam, tak mempedulikan Wirawan.

“Papa pikir hal yang Papa bilang ke kamu kemarin itu solusi supaya kamu bisa bersosialisasi sama orang-orang sekitar. Maaf ya, Sayang. Papa janji ga akan ngulangin itu lagi.” Wirawan menghadap penuh pada ke arah putri sematawayangnya.

Renata menoleh. “Emang di mata Papa aku ini kenapa sih, Pah? Apa Papa anggep aku ga bisa bergaul? Papa anggep aku itu orang paling cuek di dunia ini?”

“Engga, Ren, ngga gitu, dengerin Papa dulu.”

“Pah, aku bisa jadi orang yang seperti Papa inginkan. Tapi butuh waktu! Aku juga kalo mau milih, aku pengen jadi kayak Papa, kayak Bik Ila, kayak Tante Aca, Airin, aku mau Pah!”

Renata langsung beranjak pergi, meninggalkan Wirawan yang masih terpaku dengan ucapan putrinya. Renata berlari dari lantai bawah sampai ia selesai menutup pintu kamarnya.

Kenapa hidup gue kayak gini sih?! Ujarnya dalam hati.








Renata bangun dari tidurnya dan langsung mandi. Memakai seragam dan memasukkan beberapa buku tulis ke dalam tas abu-abunya.

Wajahnya yang datar dan tak ada lekukan sedikit pun di pipi kenyalnya pagi itu. Renata keluar kamar dan mengunci kamarnya dari luar. Tak seperti biasa.

Perempuan itu berjalan dengan langkah terburu-buru, mengaitkan tasnya ke bahu tapi hanya sebelah.

“Enon ga sarapan dulu?” tanya Bik Ila saat melihat Renata melewatinya tanpa melirik sedikit pun.

Pak Joko yang sedang menyesap kopinya itu terkejut bukan main, saat di pagi hari yang sejuk dan ayam jago baru berkokok tapi sang majikan sudah keluar untuk berangkat sekolah.

“Kunci,” kata Renata padat dan singkat, dengan tangan yang ia tadahkan. Pak Joko diam sejenak. “Buruan!” desak Renata.

Pak Joko buru-buru mengeluarkan semua kunci mobil yang ada di kotak hitam sebelah gelas kopinya.

Renata yang melihat Pak Joko bingung mau memilih yang mana, Renata buru-buru berucap. “Pajero aja.”

Setelah diberi kunci berwarna hitam itu Renata langsung mengangkat kakinya. Pak Anas sudah membukakan gerbang tinggi yang menjulang. Renata menancap gas mobilnya cepat dan melewati setiap jalanan kosong.

Karena malas datang ke sekolah sepagi itu, Renata memutuskan untuk mencari angin terlebih dahulu di jalan raya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Semua ucapan sang ayah semalam terulang lagi di otaknya. Tangannya menggenggam erat stir mobil dan tiba-tiba memukulnya.

Merasa sudah cukup, Renata membelokkan mobilnya menuju basement sekolah. Hanya ada dua mobil di sana, yang ia yakini itu adalah milik pekerja sekolah yang sedang lembur.

Setibanya di ruang kelas, Renata langsung duduk dan menelungkupkan kepalanya dan matanya juga ikut tertutup.

“Hai!” tegur seseorang. Renata langsung mendongak dan menurunkan kedua alisnya karena orang di depannya itu sama sekali tak pernah ia kenal sebelumnya.

“Lo siapa?” kata Renata, wajahnya datar dan menatap perempuan itu sinis.

“Gue murid baru, pindahan dari ibukota. Emh, btw duduk di samping lo boleh?”

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang