44. Merestui yang Tepat

652 59 6
                                    

Dimas memasuki halaman rumah perempuan yang selalu ada dipikirannya. Dimas melangkah, hatinya was-was jika nanti Renata datang dengan ember berisi air, dan menyiramnya. Imajinasi yang sungguh indah.

“Ibuu... pulang sekarang?” tanya Dimas. Kepalanya menyendul menatap ibunya yang masih merapikan kerudung.

“Sebentar ya Dimas, Ibu ke kamar mandi dulu,” sahut Aisyah. Dimas mengangguk dan duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Aisyah.

Lalu Wirawan datang tanpa sepengetahuan Dimas. Ia diminta berdiri dan keluar sebentar.

“Dimas, ada masalah apa kamu dengan Renata? Apa hubungan kalian sedang tidak baik?”

“Emangnya ada apa, Pak?”

“Dimas... saya yakin Renata seperti itu karena kamu. Jadi jujurlah.”

Dimas mengiakan, lalu ia mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dimas meminta maaf, Wirawan nampak diam.

“Kamu tau? Sejak dulu, sejak Renata kecil. Saya selalu mengajarkan Renata berbagai pelajaran hidup. Dulu saya juga orang susah, ga punya rumah dan jadi karyawan yang gajinya ga cukup untuk menuhin kebutuhan Renata bayi dan istri saya.

Sampai akhirnya saya bekerja keras, cari berbagai kerja sampingan. Saya sayang banget sama Renata, demi dia saya rela ga tidur, saya rela ga makan ketika istirahat supaya uangnya terkumpul, buat beli popok dan kebutuhan lainnya.

Lalu saya berhasil, di umur Renata ke 2 tahun, saya berhasil memiliki perusahaan, dan mencari ART yang sekarang kamu tau itu Bik Ila. Dia yang sudah mengurus Renata sedari kecil karena ibunya ga peduli.

Saya berusaha jaga rumah tangga saya, tapi, ternyata setelah beberapa tahun ke depan istri saya ga berubah dan saya kuatir dengan kondisi anak saya nanti kalau ia mengetahui ibunya seperti itu.

Saya menceraikannya, istri saya memilih lelaki lain dan saya hidup berdua dengan Renata. Jujur, sampai detik ini saya masih mencintai ibunya.

Dari sana, saya selalu mengajarkan Renata arti dari nikmat, derajat dan nilai moral lainnya. Jadi, keputusanmu salah Dimas. Tidak seharusnya kamu berpikir kalau Renata hanya membutuhkan lelaki dengan emas batangan dan mobil mewah, asal kamu pekerja keras dan bertanggung jawab, saya mampu merestuinya.”

Dimas terkesima. Penjelasan Wirawan membuatnya merasa bersalah.





“Renata! Itu elo diliatin Bu Citra!” pekik Airin.

“E—emh... Gue ga fokus nih.”

Di tengah pelajaran, masih sempat-sempatnya Renata memikirkan Dimas. Cowok itu membuatnya kesal setengah mati karena tak berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka. Entah Renata yang munafik, atau Dimas yang pengecut. Intinya, keduanya sedang dilanda rasa sakit yang membalur di tubuh.

“Ibu, saya pusing nih. Izin ke UKS, ya?” izin Airin. Renata menoleh, menatap sahabatnya.

“Oh, iya silakan.”

“Permisi,” salam keduanya. Lalu keluar.

“Lo pusing?” tanya Renata.

“Dasar oneng! Gue begini karena gamau liat lo terus-terusan kayak gitu! Nanti di UKS lo cerita sama gue, terus, tenangin pikiran lo.”

“Terus elo ngapain?”

“Main HP.”

Renata memutar bola matanya, cukup jengah dengan sikap orang di sampingnya. Tapi jujur, memang itulah yang dibutuhkan Renata.

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang