51. Mama

784 69 3
                                    

Dimas menopang kepalanya dengan tangan kanan yang bertumpu di atas meja makan. Dia duduk dengan mata yang menatap Renata dalam. Perempuan itu sedang menikmati mie lidi pedas buatan Dimas, kekasih hatinya.

“Dim,” panggil Renata pelan. Suaranya diikuti kriuk-kriuk yang lolos dari mulutnya.

“Iya?”

“Setelah lulus sekolah, gue mau kuliah.” Dimas tersenyum lalu mengangguk. “Harus.”

“Lo juga harus, sama gue.”

Dimas terkekeh. “Nanti ya, kalo ada rejeki.”

“Tuhan itu selalu ngasih lo rejeki. Setau gue, rejeki bukan cuma uang dan makanan. Iya kan? Dan gue juga yakin, pasti dengan jalan keluar apapun, kalo lo sungguh-sungguh ada niat untuk kuliah, pasti bisa.” Renata berkhotbah, Dimas mendengarkan dengan tatapan sendu.

“Betul banget, Ukhti.”

Renata mengernyitkan keningnya. “Ukhti?”

Dimas terkekeh. “Emh... Renata udah Sholat Ashar?”

Renata meletakkan mie lidi yang sebelumnya ia comot. Ia ikut menopang kepalanya dengan tangan yang terdapat bekas bumbu menempel di setiap jari.

“Mm... sebenernya untuk jujur sama lo tentang ini lumayan malu sih,” ucapnya, “Gue... jauh sama Tuhan. Gue...”

Dimas menggenggam tangan Renata singkat untuk memotong ucapan perempuan itu, lalu menarik tangannya lagi.

“Ga usah dilanjutin, gapapa. Oh iya, tau ngga? Gue itu suka banget loh dengerin ibu kalo lagi murottal setiap subuh, telinga gue jadi adem.”

“Murottal?”

“Ah... baca Al-Quran maksudnya.”

Renata tersenyum. “Gue pengen belajar sama lo. Gue pengen jadi perempuan yang pantes buat lo, Dimas.”

Dimas tersenyum, senyumnya sama, hanya saja dengan level kebahagiaan yang berbeda. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan Renata.

“Iya. Kita sama-sama belajar, ya.”

Renata tidak tersenyum, hanya menatap Dimas dalam diam sambil bergumam dalam hati.

Sebenernya yang harusnya malu di antara kita itu gue. Gue punya harta, apapun yang gue mau bisa gue dapetin tapi... akhlak lo, gue rasa gue manusia paling rugi. Dan beruntungnya, gue ketemu sama lo, Dimas Nugraha.







Renata duduk di tepi kasur dengan earphone yang menyumbat telinganya dan setelan piama.

Pintu kamarnya terbuka, tapi Renata tak sadar dan tetap memainkan ponselnya.

“Mmm....”

Renata menoleh sekilas, ia kira hanya suara nyamuk, ternyata Santi. Renata membuang pandangannya dan melepas earphone dengan pergerakan kasar.

Buru-buru ia merebahkan tubuhnya dan menarik selimut tebal berwarna biru tua. Matanya ia tutup dan menyampingkan tubuhnya untuk membelakangi Santi.

“Renata, Mama mau bicara, sebentar aja.”

Tidak ada jawaban, sebenarnya tadi sebelum Dimas dan ibunya pulang, Dimas sempat memberi wejangan lagi padanya untuk memaafkan Santi, karena bagaimana pun Renata lahir dari rahim wanita itu.

“Yaudah, Mama duduk di sini ya, kalo kamu gamau natap Mama, dengerin aja.”

Santi duduk dengan perlahan, Renata bisa merasakan pergerakannya. Rasa jengkel yang awalnya bergejolak terombang-ambing seperti badai topan mulai mereda setelah beberapa waktu.

Malam itu sekitar pukul 10.

“Mama meninggalkan papa kamu karena Mama ceroboh, Mama akui dulu Mama memang bodoh. Mama menelantarkan kamu dan tidak bertanggung jawab sebagai seorang ibu, Mama menyerahkan semuanya pada Bik Ila.

Mama ngga mengurusmu dengan baik. Mama salah sekali, dan Mama tau.

Setelah pergi, Mama menyesal, karena baru menyadari betapa rindunya Mama dengan papamu, dan juga kamu, putri Mama yang cantik. Kamu anak yang pintar sejak kecil, Mama tau itu.”

Santi memainkan jari-jarinya, sementara Renata menangis dalam diam. Tangannya mencengkeram seprai kasur dan menahan mati-matian supaya suara isakannya tidak terdengar.

“Mama kembali karena ingin minta maaf, di samping itu, Mama juga ingin melihat putri Mama yang kian lama semakin tumbuh dewasa. Kamu bukan lagi Renata yang suka ngompol, bukan lagi Renata yang suka lari-larian di dalam rumah. Tapi Renata yang kuat, kuat dalam segala hal yang dihadapi.

Mama ke sini cuma mau bilang ke kamu, Mama akan pergi jikalau kamu memang tidak menginginkan kehadiran Mama, Nak.”

Sunyi.

Santi menangis, isakannya terdengar pilu. Renata yang mendengarnya saja kembali deras dengan air mata. Bantalnya basah, rambutnya menempel di pipi dan dahi.

“Walaupun berat, Mama terima semuanya sebagai hukuman Mama. Mama ngga akan memohon sama papa kamu lagi unjuk coba bujuk kamu, karena di sini, kamulah yang paling berarti. Di rumah ini kamu yang paling diistimewakan, Sayang.

Renata, asal kamu tau, Mama sayang sama kamu selamanya. Mama ngga pernah marah dengan semua perlakuan kamu, Mama harap, kamu bisa terus tumbuh menjadi perempuan yang baik. Mama yakin, papamu yang hebat dan penyabar itu mampu membimbing kamu.”

Renata menghapus bekas air matanya dan menarik napasnya dalam-dalam.

“Yasudah, tanpa bertanya pun Mama rasa jawabanmu memang tidak.”

Santi bergerak, mengambil sesuatu dari saku celananya.

“Kalo kamu tertarik, lihat ini ya, di sini foto kita. Ada Mama dan kamu saat bayi.”

Santi meletakkannya di meja belajar Renata. Lalu menatap Renata sebentar setelah itu melangkah lagi, tangannya menjulur untuk mematikan lampu di kamar anaknya.

Selang 2 menit.

Renata bangun. Buru-buru ia keluar dan berhenti kala melihat Santi yang terduduk memeluk lututnya dengan bahu bergetar. Suara isakannya tidak bisa disembunyikan, lebih keras dari sebelumnya di dalam kamar Renata.

Ia melangkah pelan, air matanya kembali turun. Kakinya lemas, Renata menumpukan badannya di lutut yang sudah menyentuh ubin.

Greb!

Renata memeluk mamanya.

Santi membuka matanya. Dengan cepat, ia membalas pelukan Renata dan mengecup kening dan pipi putrinya itu berkali-kali. Pelukan keduanya sangat erat, Wirawan yang baru saja datang berhenti. Membuatnya berdiri di salah satu anak tangga dan tersenyum.

“Renata sayang Mama.”

“Anak Mama. Renata-ku, terima kasih.”

---------------------------------










Mama Santi, aku pun terharu huhuu 😫

Vote ya, tinggal klik bintang doang kok. Yang baca seratusan, yg vote ga nyampe ½ nya, aku syedihh😭




Rabu, 20 Mei 2020
884 kata
06.57

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang