39. Selesai

552 49 10
                                    

"Sorry ya, tapi ini demi kebaikan bersama," kata Airin lalu tersenyum. Stefany menjerit, lalu menatap ponselnya nanar.

"Lo... bener-bener!!"

Stefany mendekati Airin dengan cepat, ia menarik kerah baju perempuan itu lalu melemparnya ke tembok.

Airin meringis karena kepalanya terbentur tembok begitu keras. Seketika kepalanya terasa begitu berat dan pandangannya sedikit kabur, rasanya kepanya bocor.

"Lo bener-bener! Dan sekarang, gue ga peduli lo akan mati di sini atau ngga!!"

Renata yang sejak awal mengikuti mereka itu sudah mendengarkan semuanya. Dan di sela-sela perdebatan keduanya, muncul Chika, anak kelas sebelah yang pernah dibicarakan Renata-Airin waktu itu.

Renata tak terlalu mempedulikannya, ia sibuk bersembunyi dan mengintip semuanya. Chika juga kelihatannya tertarik mendengar semuanya dan ikut sembunyi.

Setelah melihat Airin membanting ponsel Stefany, perempuan berhidung mancung itu sudah tak tenang. Ia sedikit menaikkan tubuhnya untuk menyaksikan lebih lanjut.

Dan betapa terkejutnya saat Stefany melempar tubuh Airin begitu kasar. Renata langsung berlari dan diikuti Chika.

"Anjing lo, Stef!" teriak Renata sambil menarik bahu Stefany. Wajahnya begitu merah, otot di rahangnya terlihat dan matanya sedikit berair.

"Renata?! Lo udah pulang bukannya?"

Renata tak peduli, ia mendorong Stefany sampai perempuan itu terbentur spion mobil. Tak peduli seberapa sakit, tak peduli seberapa penting nyawa perempuan itu di dunia ini. Dan tak peduli juga dengan hukuman apa yang akan ia dapatkan nantinya.

"Gue ga peduli skorsing sebulan, dua bulan, bahkan satu tahun! Gue benci sama lo! Gue ga akan buat lo main-main lagi sama gue, Stefany!!"

Renata meninju wajah perempuan itu sesekali sambil menekan bahunya. Stefany berontak namun tetap saja kalah kuatnya.

"Renata udah..." kata Airin lirih.

"Udah-udah! Ren, lo gila ya?! Lo bisa dihukum berat! Udah gue aja yang bawa dia ke mobilnya," ucap Chika yang mengambil alih.

Renata menangis, tangannya mencengkeram kuat kepalanya sendiri. Ia begitu bodoh, ia sudah menyadari semuanya sekarang.

Lalu tak lama keluar lah isakan Renata, ia tak berani berbalik untuk menatap Airin. Perempuan itu sudah kelewat baik, ia benar-benar malu, yang sekarang dialami bukan Renata yang tak sudi berteman lagi dengan Airin, tapi Renata yang merasa tak pantas bersanding dengan perempuan itu.

"Ren, cukup," kata Airin pelan, tangannya menarik tangan Renata untuk berbalik badan.

Sentuhannya begitu halus layaknya seorang kakak yang menenangkan adiknya.

"Gue ga marah sama lo, gue ga pernah marah, Renata."

Renata belum menurunkan tangannya, bahkan tangisnya semakin pecah. Isakannya pilu sekali, membuat Airin ikut terenyuh dan meneteskan air matanya.

"Lo masih Renata Syafa yang gue kenal ya ternyata," ucap Airin. Tangannya terus mencoba menurunkan tangan itu.

Karena gagal, Airin memeluk Renata. Dekapannya begitu menghangatkan, rasanya sungguh kelegaan yang luar biasa. Setelah ini, ia harus berterima kasih pada semuanya, pada Julia, Namida, teman perempuannya yang lain, Dion dan... tunggu! Siapa itu? Apa itu Chika yang pernah Airin bicarakan saat nonton web series di kelas?!

Airin berbisik. "Ren, itu Si Cicak yang pernah gue omongin ya? Chika kenapa ada di sini?"

"Gue juga gatau bedon, makanya jangan ngomongin orang!" pekik Renata. Masih menangis tapi sudah berani mengajak perang.

"Yeh!"

Renata berbalik memeluk Airin.

"Maaf ya."

"Iya, semuanya udah terganti kok. Sekarang, lupain semuanya dan kita kayak dulu lagi ya? Oh iya, gue udah jadian sama Dion, apa lo tau?"

Renata menggeleng. "Sorry."

"Gapapa, gue seneng lo jadi lebih baik. Semoga cepet nyusul ya sama Dimas, gue tau kok! Walaupun belom pernah ketemu lagi, tapi gue yakin dia bisa luluhin hati lo!"

"Apaan sih, Rin!"

Airin menoleh, mendapati Chika yang sudah kembali.

"Emh... Chik."

Chika mendekat dengan wajah yang penasaran. Seperti biasa dan sesuai penglihatan Airin sejak dulu, perempuan itu penampilannya berantakan. Baju lusuh yang tidak rapi, rok yang terdapat coretan spidol permanent bertuliskan im bitch!

"Makasih, gue..."

"Gue tau lo mau minta maaf kan? Udalah, santai aja! Gue tau hampir semua orang pernah ngomongin gue, gue baik-baik aja."

Airin tertegun. Mulai saat itu ia tak boleh menilai seseorang dengan covernya saja, karena setiap duri memiliki arti spesial di dalamnya. Ya... kayak duren misalnya. Aduh lupa, Airin lagi puasa!

"Emh... apa sekarang status gue temen kalian?" tanya Chika. Wajahnya ternyata cantik jika dilihat dari dekat.

"Sahabat malah!" teriak Airin. Lalu ia memeluk keduanya dan tersenyum bahagia.



Renata tak bisa berhenti tersenyum. Hari itu rasanya semua menjadi indah, sahabat terbaiknya kembali. Bahkan, nambah satu dengan Chika.

Ia menutup semua cerita tentang Stefany, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi percaya pada hal yang memang seharusnya tak ia yakini.

Sebenarnya tentang kelainan pada Stefany tak membuatnya jijik atau marah karena dirinya yang jadi korban. Tapi, ia marah karena kelakuan perempuan itu sudah di luar batas. Memisahkannya dengan Airin dan membuat segala tuduhan, meski pada dasarnya tak peduli, tapi Renata tetaplah manusia yang diberi hati dan pikiran.

Bisa merasakan rasanya dikucilkan dan berpikir akan dianggap apa dirinya dengan orang baru nanti yang sekiranya tau tentang tuduhan itu.

Renata menatap Airin, yang sedang mengobrol dengan Chika. Rasanya hidupnya sudah kembali normal, ia berjanji besok akan mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Dan semoga, ia bisa membuat Wirawan bangga tanpa merasakan kekecewaan lagi seperti hari-hari sebelumnya.

Dimas, maaf gue ga percaya sama lo. Maaf ya. Batinnya.

---------------------------------











Kamis, 7 Mei 2020
844 kata
04.01

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang