"Nah itu rumahnya," ucap Airin sambil menunjuk rumah tua yang ada di 10 meter di depan mereka. Keduanya turun dan Airin berjalan mendahului.
Airin memanggil nama Dimas dan mengetuk pintunya beberapa kali. Tapi belum ada jawaban. Lalu dari belakang muncul dua ibu-ibu dengan pakaian yang sama. Mungkin selesai pengajian.
“Neng, cari siapa?” kata ibu dengan kerudung merah muda.
“Aku cari Dimas, Bu. Kok sepi banget ya, pada ke mana deh?” katanya. Karena bahasa yang ia gunakan terlalu sok asik untuk ukuran manusia yang baru saja bercengkerama, membuat Renata menyikutnya.
“Aduh Neng, Dimas sama keluarganya udah pindah. Kalo ngga salah udah dari dua minggu yang lalu,” jelas ibu dengan kerudung merah tua.
“Pindah ke mana, Bu?” tanya Renata.
“Kata Bu Aisyah waktu itu sih ke rumah saudaranya yang udah ga di tempatin, soalnya bapaknya Dimas ngga mampu buat bayar kontrakan lagi, Neng. Dan pindahnya setau Ibu di deket perumahan depan.”
“Perumahan Grand Batavia?” tanya Renata. Dua ibu itu menggeleng.
“Perumahan Tulmass?” timpal Airin dan kali ini jawabannya benar.
Ternyata Dimas dan keluarganya pindah di dekat Perumahan Tulmass.
“Rumah gue dong, Rin?” tanya Renata.
“Yaiyalah, rumah gue mah 'kan di GB.”
“Yaudah gitu aja ya, Neng. Ibu mau pulang dulu nih.”
“Eh iya Bu ya ampun, makasih banget ya,” kata Airin sambil menyalami kedua orang tua itu. Ibu-ibu itu tersenyum dan berjalan menjauh.
♡
Setelah melakukan pencarian cukup lama, Airin melihat seorang bapak dengan pakaian khasnya keluar dari sebuah rumah dan pergi dengan sepeda.
Airin yakin itu adalah ayah Dimas karena perawakan dan wajahnya masih sama. Lalu perempuan itu berjalan maju untuk mendekati rumah yang dicurigai adalah tempat tinggal Dimas. Renata yang masih diam itu kaget karena pergerakan Airin yang tiba-tiba.
“Ayo sini!” ajak Airin. Renata mengikutinya dari belakang. Diketuknya pintu itu dan terbuka. Tepat sekali.
“Eh, Non Airin! Ya ampun Non udah besar ya, cantik banget.” Aisyah mengelus rambut Airin dengan sayang.
“Ayo ayo masuk!” ajak Aisyah lalu membuka pintunya lebar-lebar. Terdapat tiga sofa, dan mereka berdua duduk di satu sofa yang berada di tengah.
“Ada apa ya, Neng?” Bu Aisyah nampak kikuk menatap Airin dan Renata.
“Langsung ke intinya aja kali ya, Bu? Soalnya udah malem juga saya ga enak,” kata Airin.
“Ga masalah kok, Neng. Anak Ibu yang kecil juga udah tidur kok.”
Airin mengangguk. Lalu tak lama ia mulai menceritakan cerita awal dari kedatangan dirinya dan Renata ke sana. Dari mulai memperkenalkan siapa Renata dan bagaimana perempuan itu bisa mengenal Dimas.
Lalu mulai masuk ke topik pembahasan. Sebelum bertanya, Dimas datang tiba-tiba dengan dua gelas teh manis dan camilan kecil untuk dihidangkan.
Dimas pastinya ikut duduk dan menyimak apa yang dibicarakan.
“Apa Ibu berminat untuk kerja di rumah saya? Kerjaan Ibu ngga full kok, cuma bantu Bik Ila di dapur terus beresin rumah dan bantu-bantu Pak Anas buat urus halaman. Bisa ngga Bu?” terang Renata.
Aisyah menatap Dimas, karena memang posisi duduk mereka yang berhadapan. Dimas juga nampak bingung, ia tidak berhak memberikan keputusan karena ibunya lah yang melakukannya. Jadi cowok itu sekadar mengangkat bahu.
♡
Renata sedang duduk diam menatap jalanan. Kali ini yang mengemudi adalah Airin, perempuan itu yang memintanya karena melihat wajah lelah sahabatnya.
“Eum... Ren, lo deket banget ya sama Stefany?” tanya Airin.
“Engga, biasa aja.”
Ternyata lo ga sadar, Ren.
“Pas olahraga tadi pagi, lo ke mana? Kenapa ga sama gue kayak biasa?” tanya Renata, meski wajahnya masih tetap menatap jalanan.
“Gue ke belakang, ada yang mau diomongin sama Julia soalnya.” Berbohong, ya, sudah pasti. Tak mungkin Airin bilang kalau ia pindah karena perlakuan tidak langsung dari Stefany yang ingin mengusirnya.
“Oh gitu.”
♡
Renata akhirnya sampai di rumah dengan pakaian milik Airin yang masih ia kenakan. Pak Anas membukakan gerbang rumah itu dan membiarkan mobil hitam itu masuk.
“Non, dari mana aja? Tuan udah nunggu dari tadi,” adunya. Renata mengerutkan keningnya, lalu pergi, memasuki rumahnya dengan tas abu-abu yang ia bawa terakhir kali saat berangkat sekolah.
Sesampainya di ruang tamu, terdapat kontak mata antara Renata dan Wirawan. Wirawan berdiri dan berusaha mendekati putrinya.
“Maafin Papa, Sayang. Kamu jangan kayak gini, ya? Jangan ngehindar dari Papa terus.”
“Renata capek, mau tidur.” Dengan cepat perempuan itu melesat pergi dan menuju kamar tidurnya.
Namun, belum sempat mengunci pintu, dari luar Wirawan sudah memaksa masuk.
Renata semakin emosi.
“Ren, dengerin Papa, Nak.”
“Apa lagi sih, Pah?!”
“Papa cuma--”
“Cuma apa? Cuma ga mau punya anak kayak aku? Yang ga bisa apa-apa ini? Yang bisanya habisin harta Papa doang, gitu Pah?!”
“Engga Ren, engga. Papa ma--”
“PA CUKUP! RENATA CAPEK! PAPA TUH GA PERNAH BISA NGERTIIN AKU! KALO KAYAK GINI TERUS, MENDING AKU PERGI!”
“Ren... Papa cuma mau kamu hidup bahagia. Maafin Papa, Papa sama sekali ga ada niat untuk nyakitin perasaan kamu.”
Renata diam tak bergeming.
“Cuma kamu yang Papa punya, Nak.”
Keduanya sama-sama diam, lalu terdengar suara jatuhan. Ternyata Wirawan pingsan yang sebelumnya sempat memegang keras kepalanya karena begitu sakit.
Renata terkejut dan langsung meminta Pak Anas untuk menggotong Wirawan ke mobil, kemudian meminta Pak Joko yang menyopirinya menuju rumah sakit. Sementara Bik Ila diperintah Renata untuk menjaga rumah.
---------------------------------
Rabu, 26 Februari 2020
847 kata
21.24
KAMU SEDANG MEMBACA
RENATA ☑️
Jugendliteratur[27/03/2022] Rank 1: #Cutsyifa Kisah seorang Renata yang tidak pernah peduli terhadap sekitar. Memiliki rasa tak suka dengan ibu kandungnya sendiri karena sudah pergi meninggalkannya. Sampai akhirnya, banyak konflik perdebatan dengan sahabatnya term...