18. Boneka Panda

897 76 11
                                    

Renata menunggu papanya yang sedang mengurus urusan kantor, katanya perusahaan mengalami kendala dan Wirawan sedang berkomunikasi dengan bawahannya lewat telepon.

Renata memeluk boneka barunya, ia duduk di sofa berwarna merah tua dan 5 meter di depannya terpampang televisi besar.

Hei Panda! Nama lo sekarang adalah Panda! Oke?

Renata terkekeh sendiri. Betapa bodohnya ia dihadapan boneka itu, untung saja hanya boneka.

“Panda! Nanti papa pasti marah, dia pasti sedih. Gue tau gue salah, tapi lo juga jangan kesel sama gue, ya! Kalo kesel ntar ga gue anggep lo lagi! Ntar gue buang lo ke comberan depan rumah!” omelnya pada boneka. Suaranya terdengar tak jelas, seperti burung beo sedang bicara, tetapi dengan ritme cepat dan begitu pelan.

Setelah itu Dimas tertawa saat melihat Renata menggerakkan kepala boneka itu, layaknya seperti panda itu sendiri yang mematuhi kata-kata Renata.

“Non, gila ya?” tanya Dimas.

“Hah? Ngapain lo di situ?!” omel Renata lagi. Huft... rasanya malang sekali seorang Dimas, hidupnya selalu kena omel jika berada di dekat perempuan itu.

“Ya... Ta-tadi saya lagi nyari ibu, tapi ga ada di dapur. Pas mau ke kamar mandi ga sengaja liat Non kayak gitu,” jelasnya sambil senyum-senyum, membuat Renata semakin malu.

“Ngapain lo nyari ibu lo di kamar mandi?”

“Dih, Non! Lagi halu apa gimana sih?” tanya Dimas benar-benar bingung. Karena sejak tadi, perempuan itu berperilaku layaknya bukan Renata yang seperti biasa.

“Heh! Jangan sembarangan lo!”

“Maaf-maaf, lagian.”

“Ibu lo kayaknya di depan sama Bik Ila. Ga liat emang?”

“Ga ada, udah saya cari malah sampe ke bawah pot bunga!” lawaknya. Renata tertawa, baru kali itu ia mendengar lelucon garing namun berbobot.

“Yaudah saya cari lagi deh, misi Non!” katanya. Buru-buru Renata menahan.

“EH EH!” panggilnya. Dimas menoleh.

“Sini, duduk!”

“Du-duduk?? Ng-ngga ah, Non!” tolaknya karena tak berani. Bagaimana kalau rumah itu memiliki CCTV di setiap sudut rumah, bagaimana kalau Tuan melihat? Ibunya bisa dipecat!

“Duduk!” kata Renata sambil memundurkan tubuhnya supaya akses duduk Dimas lebih lebar.

“Ngga, Non. Mending kalo mau ngobrol di depan aja sambil ngadem,” katanya.

“Oh gitu, yaudah sana lo di luar. Ga usah duduk di sini, ga usah juga ngobrol sama gue lagi!” kata Renata ngambek. Matanya beralih ke kartun Dora di televisinya.

“Teman-teman! Apakah kalian melihat gedung tua berwarna hijau?” tanya Dora. Renata mengerutkan dahinya. Sementara Dimas masih menggerutu.

“Di mana?” tanya Dora lagi.

“ITU DI BELAKANG!” murka Renata. Dimas tertawa ngakak.

“Berisik! Udah sana keluar, gue mau ke atas!”

Renata bersiap untuk beranjak, namun dengan cepat Dimas menahannya. “AH IYA-IYA, NON!”

Dimas langsung duduk di samping Renata, meski sebelumnya sempat melihat keadaan. Renata menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, kemudian menghadap Dimas.

Dua detik kira-kira Dimas sibuk memperhatikan wajah cantik manusia di hadapannya. Lekukan senyumnya sempat terangkat sedikit.

“Kan saya udah duduk, kok Non ga ngomong sih?”

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang