19. Les

853 75 4
                                    

“Bagaimana, Dok?”

“Ahh... aman Pak, cuma shock aja. Putri anda pingsan karena emosinya ngga stabil, mungkin kurang terbiasa.”

Wirawan diam sambil memperhatikan putrinya. Dokter tersebut merapikan alat-alatnya. Bik Ila dan Bu Aisyah yang berdiri di ujung tempat tidur itu saling tatap-menatap.

“Yasudah, saya permisi.”

“Iya, mari saya antar.” Wirawan dan dokter itu keluar kamar Renata sambil sedikit berbincang.

“Bik, ini beneran Non Renata ga apa-apa?”

“Ga tau saya juga, Bu,” balasnya.

“Yaudah yuk keluar, ga enak...” ajak Bik Il, lalu diangguki Bu Aisyah. Keduanya bergegas keluar, tapi baru beberapa langkah terdengar suara serak dari majikannya.

“Bik-- uhuk!”

“Eh, Non udah sadar?”

“Non gapapa?” susul Bu Aisyah.

Renata mencoba mendudukkan tubuhnya tapi tak mampu. Bik Ila menyuruhnya untuk tetap berbaring saja.

“Kok saya bisa di sini?”

“Tadi Non pingsan di depan kamar Tuan.”

“Iya, Non mau minum?” Bu Aisyah sudah menggenggam segelas air putih.

Renata terdiam. Ingatannya mulai bermunculan kala ia memberitahu semuanya pada ayahnya.

“Papa mana, Bik?”

“Tadi nganter dokter yang habis ngecek Non keluar.”

“Shhh...” desah Renata sambil memegang kepalanya yang sakit.

“Kenapa, Non? Pusing, ya?”

“Iya nih, aduh...”

“Yaudah sekarang istirahat aja, Non. Udah malem juga...” kata Bu Aisyah, Bik Ila menyetujui.

“Yaudah saya tidur aja, nanti lampunya dimatiin, ya.”

“Iya, Non.”

Kepalanya benar-benar pusing, pandangannya pun sedikit kabur. Renata langsung terlelap dan kesadarannya menurun.










“Panda?” kata Renata saat melihat boneka panda di sampingnya. Baru aja bangun, bukannya ucap syukur malah ngurusin panda :/

“Perasaan lo semalem gada di sini! Ih... sana lo!”

Renata mendorong-dorong boneka itu pelan.

“Eh, gue kok... Jadi kayak orang ngga waras? Kalo Dimas liat ini mati deh gue.”

Renata langsung menarik kembali bonekanya. Lalu menguap, matanya menjelajahi isi kamar.

CAHAYA!

Cahaya di jendelanya sudah cukup terang. Kaget bukan main, Renata pikir ia sudah bangun shubuh.

“Ya ampun!”











Renata turun ke lantai dasar dengan wajah yang lebih segar dibandingkan semalam. Bajunya juga berwarna kuning memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang melihatnya.

Saat berjalan mendekati meja makan, terlihat Ica, adik bungsu Dimas yang berlari saat melihat Renata.

“Lah?” gumamnya.

Rasanya ingin tertawa melihat anak itu berlari seolah takut dengannya. Renata duduk dan mengambil sepotong roti dengan selai cokelat.

“Bik!” panggilnya.

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang