45. Semoga

655 59 8
                                    

Di hari libur ini, Renata sedang di rumah. Menyibukkan diri dengan maskeran, belajar tentang sejarah, merangkum kejadian G30S PKI, dan juga siang itu ia menyemprotkan air ke bunga-bunga yang ada di halaman rumahnya.

Cuacanya tak terlalu terik, hanya awan dengan matahari yang bersembunyi karena tak berani terang-terangan menatap Renata, perempuan yang masih menyandang gelar ‘cuek’ itu.

Rambutnya dibiarkan digerai, karena dua hari lalu, saat dia menghabiskan waktunya bersama Airin untuk belanja dan makan bakso beranak yang dijanjikan Airin, sepulangnya ia memutuskan untuk memotong rambut sebahu.

Srrtt Srrtt

Masih candu menatap bunga, Renata sampai tak sadar ada orang di belakangnya.

“Cantik,” gumamnya pelan sambil meneliti bunga mawar.

“Jelas lo lebih cantik, Renata.”

Renata diam. Keningnya membentuk garisan, ia mengenal suara itu, dan kalimatnya... seperti pernah dia dengar.

“Ren, gue minta maaf.”

“Pergi.”

Renata meletakkan semprotannya, lalu membalik badannya dan berlalu. Tatapannya menyorotkan amarah, tangannya tak terkepal namun otot rahangnya terlihat.

Bajunya yang menyisakan banyak kain itu mengikuti pergerakan Renata yang cukup cepat. Dimas tak membiarkannya begitu saja, tangannya mencekal pergelangan Renata. Meski sudah berusaha menepisnya, tetapi kekuatan Dimas lah yang saat itu paling unggul.

“Apa yang mau lo denger dari gue, Renata? Apa lo benci sama gue sekarang?”

“Ga usah peduliin gue, pergi sana. Sesuai ucapan lo kemarin, lo ga mau 'kan kalo gue dan lo deket lagi?”

“Ternyata gue salah, gue ga bisa lupain semua yang pernah kita lakuin bareng,” kata Dimas. Renata menepis tangan cowok itu lalu tersenyum pahit.

“Kita?”

“Iya.”

“Ga ada lagi kata ‘kita’ di antara lo dan gue. Semuanya udah lo buang jauh-jauh, dan sekarang yang tersisa cuma perasaan sakit hati gue yang ga kunjung sembuh!”

“Maka dari itu gue ke sini, gue minta maaf. Gue yang udah buat lo terluka, dan gue harus tanggung jawab. Lo mau tampar gue, Ren? Tampar sekarang, sekeras apapun, sesakit apapun gue terima.”

Dimas menggerakkan tangan Renata ke pipinya seolah-olah sedang menampar.

Renata yang kesal menarik tangannya. “Pergi, Dimas. Harus berapa kali gue bilang?”

“Renata gue minta maaaf. Gue sayang sama lo, gue tau gue salah. Andai lo tau sebesar apa perasaan gue, selama apa gue udah memendam semuanya.”

“Lo bohong! Lo ga pernah punya perasaan apa-apa ke gue!”

Dimas menghembuskan napasnya perlahan. “Yaudah, itu hak lo percaya atau ngga.”

Dimas berbalik, lalu berjalan dengan langkah lebar. Renata belum menatap kepergian Dimas, dia hanya diam dengan seribu alasan mengapa ia tidak langsung memaafkannya saja.

“Dimas, tunggu!”

Renata berlari, langsung keluar dan mencari keberadaan Dimas. Tapi nihil. Renata langsung meminta Pak Joko membukakan gerbangnya, setelah itu, Renata melaju dengan mobil hitamnya seperti biasa.

Hari ini, ga boleh jadi hari-hari yang kayak sebelumnya. Cukup kemarin gue sakit dan sekarang harus sembuh. Batin Renata.







RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang