41. Apa Harus Sepadan, Dimas?

711 65 9
                                    

Dimas sedang terbaring lemas, Renata menatap Dimas datar. Sakit rasanya harus melihat cowok itu terkapar lesu tak seperti biasanya.

Renata awalnya ingin langsung memberi tau Bu Aisyah dan yang lain, namun, setelah dipikir lagi mungkin tak usah. Menurutnya, Dimas pasti akan baik-baik saja.

Setelah mendapat perawatan dari dokter, Dimas tak sadarkan diri. Tapi dokter bilang, Dimas baik-baik saja dan dia hanya kelelahan.

Renata yakin pasti cowok itu kuat.

“Dim, maaf ya.”



Dimas membuka matanya, merasa tangannya tertindih sesuatu. Lalu matanya mengedar, gue di mana? batinnya.

Lalu Dimas melirik Renata yang tertidur, kapalanya menelungkup ke tepi kasur dan tangannya nampak menggenggam tangan Dimas.

“Ren... Ren.” Dimas membangunkan Renata, supaya perempuan itu sadar dan tidak membuatnya makin tak keruan.

“Eh, Di—Dimas lo udah bangun?”

“Udah.”

“Gimana? Baikan? Apa yang sakit?”

“Ga ada kok, ga ada yang sakit.”

Renata tersenyum lalu membuang napasnya perlahan.

“Ren, gue mau pulang.”

Renata berdiri. “Oh, emh... gue panggilin dokternya dulu ya.”




Renata membantu Dimas berdiri, lalu keluar. Dokter sudah mengizinkan Dimas pulang. Renata masuk ke mobilnya, memakai selt belt dan melirik Dimas.

“Lo marah ya?”

“Engga, gapapa Ren.”

Renata memacu mobilnya cepat untuk segera pulang. Dimas diam saja, seperti tak ada topik obrolan yang mampu membuatnya tertarik membuka suara. Renata semakin merasa bersalah, rasanya dirinya lah yang membuat Dimas terluka.

Sudah sampai, Renata masih di dalam, begitupun Dimas.

“Sekali lagi, gue minta maaf ya. Gue...”

“Ren,” potong Dimas. Ia menatap Renata dalam.

“Emang baiknya kita ngga pernah kenal, emang sebaiknya kita ga terlalu deket. Gue takut lo malu, gue cuma anak pembantu di rumah lo, Ren.”

“Dimas... jangan ng—”

“Kenapa? Jangan ngomong kayak gitu? Karena emang gue anak pembantu, cuma Ren, cuma anak pembantu. Dan gue yakin lo tau itu, lo tau apa yang gue maksud. Lo tau kalo gue emang ga akan bisa sepadan sama lo, sama kehidupan lo.”

Renata sudah membuat matanya sendiri banjir. Hatinya teriris mendengar ucapan Dimas yang seharusnya tak pernah terlontar, harusnya tak pernah didengar Renata.

“Tapi lo ga pernah tau kan kalo gu—”

“Ren,” potong Dimas lagi, dengan tangan yang hari itu berani menggenggam tangan Renata. Renata membuang pandangannya ke arah mawar merah yang sedang disiram Pak Anas beberapa meter di depan sana.

Masih di dalam mobil, Dimas ikut sakit melihat Renata menangis karenanya. “Ren, gue bukan orang paling baik atau paling langka di dunia ini. Lo bisa temuin orang kayak gue di luaran sana, lo cantik, baik. Pasti banyak yang suka sama lo, dan yang lebih bisa menyamai derajatnya sama elo. Gue—”

“Dimas!” potong Renata yang suaranya meninggi.

“Sekarang elo yang dengerin gue!” katanya dengan air mata yang sudah jatuh, “Tapi, apa lo pernah tau perasaan gue ke elo kayak gimana, Dim? Apa lo tau akhir-akhir ini gue selalu pengen di deket lo? Karena apa? Karena gue sayang sama lo!” Renata mendorong bahu Dimas dengan telunjuk kirinya, semakin memperjelas Dimas bahwa hanya dirinya yang berhasil membuat Renata jatuh.

“Gue ga nyangka, lo bisa-bisanya matahin hati gue kayak gini, Dim. Gue ga pernah nyangka kalo elo ga bisa ngerti.”

Cukup. Renata keluar dengan bantingan pintu yang keras, Dimas diam. Masih menatap kepergian Renata yang sedikit berlari, tangannya nampak mengusap pipinya.

Pak Anas yang melihat nampak mengejarnya dari kejauhan, takut kalau ada apa-apa. Dan Dimas, cowok itu menundukkan kepalanya lalu memejamkan kedua mata.

Andai lo tau sebesar apa sayang gue ke elo, Ren. Pasti lo paham, gue cuma mau lo tau kalo gue ga punya apa-apa. Gue ga bisa buat lo bahagia, yang bisa gue kasih cuma daun, senja dan perhatian. Bukan emas juga permata, maaf. Kata Dimas dalam hati. Matanya nampak seperti kaca dan terdapat bulir air mata di pelupuknya.




Renata tak menyahuti teriakan Bu Aisyah dan Bik Ila yang memanggili namanya dari bawah sana saat ia menaiki tangga. Ia menutup pintu kamarnya, terdengar seperti membanting karena begitu keras dan kasar. Ia menangis, tersedu-sedu bahkan sampai bahunya bergetar.

Tak ada sepatah kata yang lolos dari mulutnya, hanya isakan dari erangan sakit hati. Tangannya terkepal, tubuhnya jatuh dari tepi kasur dan rambutnya berantakan.

Banyak kenangan yang ada di rumah itu, kenangan antara Renata dan Dimas. Meski tak tercatat detail di ingatannya, namun kenangan indah tetaplah kenangan yang selalu terukir.

Renata menyayangi Dimas, sangat amat. Ia belum pernah merasakannya pada siapapun. Karena baginya, Dimas adalah senja. Meski hilang setiap malam, siang dan hanya akan kembali sore hari, tetap saja Renata akan terus setia menunggu.





Dimas turun dari mobil, menutupnya setelah itu berjalan menuju kolam ikan yang tidak ada ikannya. Hanya lumut dan berudu.

“Dimas! kamu apakan Non Renata?!” tanya Bu Aisyah. Dimas mendongak, matanya sayu dan nampak berat untuk dibuka. Belum lagi terdapat memar di pelipis dan lecet di ujung bibirnya.

Bu Aisyah juga sempat terkejut. “Ka—kamu kenapa, Dimas?” tanya ibunya melembut. Tangannya meraih dagu putranya dengan sayang.

“Aku berantem sama Renata, Bu.” Bu Aisyah duduk di samping Dimas. Dimas menceritakan semuanya, dari mulai perasaannya, hingga perasaan Renata.

Aisyah nampak tak menyangka akan serumit itu pertemanan anaknya dan sang majikan, ia pikir akan hanya sebatas teman dan teman. Tapi, rupanya mereka saling menyimpan rasa.

Masalah hati memang selalu akan rumit. Jalan yang berbeda selalu ada jebakan, entah tangisan atau akhirnya kepergian. Dan Dimas, memutuskan untuk pergi, meminta Renata untuk menerima sarannya, oh... bukan saran, tapi perintah. Perintah yang tak pernah disetujui Renata kalau Dimas tau.

“Keputusan kamu terlalu cepat, Nak. Renata perempuan, butuh waktu. Dan kalo dia bener-bener sayang sama kamu, pasti dia sedih sekarang, nangis deh pasti karena kamu. Minta maaf ya, Sayang? Ibu gamau kamu sama Renata ada masalah begini.”

Tak kunjung mendapat respons, Bu Aisyah membuka suara lagi sambil mengusap kepala putranya. “Kamu udah nyakitin perempuan, Dimas. Kamu harus minta maaf.”

“Tapi Bu, Dimas ga bisa. Dimas ga bisa sama Renata, ga akan pernah bisa, Bu.”

“Ngga semua yang ada di bumi harus sepadan, Dimas.”

Dimas menghela napasnya, lalu Aisyah pergi. Memberi waktu Dimas untuk berpikir, ia hanya khawatir anaknya akan menyesal karena sudah memilih keputusan begitu cepat.

Untuk orang sepertiku, kebahagiaan bisa dibentuk dari kemewahan. Permata yang cantik, membelikanmu tas atau sepatu yang kamu suka atau juga mengajakmu keliling dunia. Tapi aku ngga bisa, aku ga bisa, Renata. Batinnya.

---------------------------------












Kamis, 7 Mei 2020
1027 kata
07.59

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang