Tak seperti biasanya, Renata mengganti posisi tidur berkali-kali karena merasa tak nyaman. Matanya yang masih ingin ditutup itu dipaksa terbuka oleh sang pemilik.
Renata mendudukkan tubuhnya dan menarik napas dalam. Dilihat pukul 4 pagi, Renata memutuskan untuk tidak meneruskan tidurnya karena nantinya akan pusing.
Tidak ada ucapan pembuka di hari yang baru, Renata membuka lemarinya untuk memastikan kalau baju-bajunya masih ada, aneh memang.
Lalu ia berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya. Membasuh mukanya dan menggosok gigi. Tak lupa juga ia menjedai rambutnya meski ada beberapa helai rambut yang berkeliaran.
Renata keluar kamar, turun ke lantai bawah untuk menghirup udara segar di halaman.
“Non, udah bangun?” sapa Pak Anas.
“Udah, Bapak ngapain jam segini bawa gunting rumput?”
“Ya buat potong rumput, Non. Masa buat potong rambut,” katanya lalu tertawa.
“Yaudah Non, saya keluar duluan ya.” Pak Anas tersenyum lalu pergi ke depan, terlihat kedua tangannya mencapit rerumputan yang sudah panjang.
Renata yang masih di pertengahan tangga, melanjutkan langkahnya. Ia mulai diingatkan dengan keadaan taman di rumahnya yang sangat terurus. Tak ada sampah berserakan, bangkai hewan, kumpulan lalat atau sebagainya. Bahkan tinggi rumput dan pohon yang rindang itu pasti hasil pekerjaan Pak Anas.
Renata baru sadar kalau asistennya bekerja dengan sangat tulus. Ia mulai merasa bersalah setiap mengingat kalau tak jarang ia memarahi asisten-asistennya dan sering menjadikan mereka pelampiasan saat ia marah.
Renata berada di anak tangga terakhir. Karena haus, ia pergi ke dapur untuk mencari minuman segar. Dibukanya kulkas yang lebih tinggi darinya, mengambil sebotol jus instan dan menuangkannya ke gelas.
Saat tangannya menuangkan cairan itu, kepalanya menoleh otomatis saat terdengar suara pintu terbuka. Saat dilihat, ternyata dari kamar Bik Ila.
Bik Ila dengan rambut acak-acakan dan baju lusuh itu keluar lalu berjalan lurus untuk ke kamar mandi.
Renata juga mulai menyadari, pasti di antara semua pekerjaan. Pekerjaan Bik Ila paling melelahkan. Di rumah besar dengan dua lantai, bergantung pada satu pembantu pasti sangat sulit.
Renata berjalan santai dan membawa segelas jus yang tadi ia tuangkan. Duduk di kursi besi panjang dengan kaki yang diapit ke kaki satunya.
Dengan meja kecil di depannya, kakinya bisa menyentuh rumput yang tak bisa ditutup oleh sendalnya.
“Eh,” sapa Dimas membuka obrolan. Renata menoleh tapi detik setelahnya meminum jusnya lagi, tak peduli dengan cowok di sampingnya.
“Gue boleh duduk?”
Renata tak menggubris. Dimas diam, lalu berpegangan dengan sandaran kursi.
“Makasih ya udah bolehin gue nginep di sini. Maaf ngerepotin,” katanya.
“Eh, lo kayaknya sepantaran sama gue. SMA kelas berapa?”
“Kelas 3.”
“Oh beneran sama.”
“Kapan lo pulang?” See? To the point.
“Emh.. Bentar lagi deh ya? Gue masih mau ngobrol sama lo. Boleh?”
“Kenapa? Ga punya temen lo?”
“Ya punya. Emang kenapa? Gue ganggu lo banget ya?”
“Lumayan.” Renata melirik cowok itu yang masih berdiri. “Ngapain berdiri di situ sih? Duduk!”
KAMU SEDANG MEMBACA
RENATA ☑️
Teen Fiction[27/03/2022] Rank 1: #Cutsyifa Kisah seorang Renata yang tidak pernah peduli terhadap sekitar. Memiliki rasa tak suka dengan ibu kandungnya sendiri karena sudah pergi meninggalkannya. Sampai akhirnya, banyak konflik perdebatan dengan sahabatnya term...