49. Ke Mana Saja?

599 60 2
                                    

Bik Ila sedang menyapu halaman, menunggu Pak Joko dan Pak Anas yang sebelumnya ia titipkan uang untuk membeli gula di toko sembako.

Penerangan di rumah itu cukup baik. Jadi, matanya yang sedikit minus masih bisa melihat dengan jelas. Suara sapu lidi yang menyapu rerumputan pendek mulai terkalahkan dengan suara panggilan seseorang.

“Bik Ila? Bik Ila, kan?” tanya wanita itu. Bik Ila mendongak, lalu tangannya gemetar. Matanya menyipit untuk memastikan sekali lagi kalau itu adalah Santi.

“Bik, saya Santi. Bibik masih ingat, kan?”

Bik Ila diam. “Bik, Renata dan Mas Wira kabarnya gimana? Sehat 'kan?”

“Se—sehat. Non Renata juga sudah semakin besar, Nyonya.”

“Alhamdulillah, Bik. Sa—saya kangen sekali sama dia.” Santi menangis. Bik Ila sempat menenangkannya dan berhasil.

“Bik, saya mau ketemu mereka. Apa Renata ada di rumah?”

“Ada, ada. Mmm... ayo Nyah, masuk.” Bik Ila jalan terlebih dahulu dengan langkah cepat namun ragu. Santi tak bergeming, tetap di tempatnya sembari menunggu kedatangan putrinya.

Santi mendekat, kala melihat seorang perempuan berparas cantik dengan rambut sebahu yang diurai indah. Terdapat kumis tipis dan baju bagus yang ia kenakan semakin membuat Santi tak bisa berhenti tersenyum. Bahkan sisa air matanya masuk ke pori-pori karena tak percaya diri.

Renata. Anaknya. Anak satu-satunya.

Santi berjalan dengan langkah yang semakin lebar. Ia tak membawa satu barang pun.

“Renata...”



Renata membatu, tidak menatap wanita itu yang diketahui namanya adalah Santi.

Renata mengeraskan otot rahangnya. Gejolak amarah, sedih, patah hati dan... ya... luka perih yang selama ini ia kubur dalam-dalam kembali muncul. Wajah Santi yang sempat Renata tatap beberapa menit lalu terbayang jelas dipikirannya.

“Ini Mamah, Nak.” Tangisnya pecah, suaranya yang serak tapi tetap saja terdengar merdu. Wajahnya cantik yang patut dilihat jika anaknya seperti Renata.

“Sayang...”

Bik Ila dan Bu Aisyah juga anak-anaknya menjauh sedikit, sekiranya mengawasi dari dapur.

“Lihat Mamah, Nak.”

Renata menoleh. Lalu menyejajarkannya dengan Santi sehingga keduanya berhadapan.

“Kamu cantik sekali, Renata.”

Santi menjulurkan tangannya, mencoba menyeka tangisan Renata yang tanpa suara.

Renata menepis tangan Santi. Ya, tentu saja.

“Re—Renata?”

“Kenapa? Marah sama perlakuan saya?” tanyanya begitu dingin.

“Maafin Mamah ya, Renata.”

Renata berdecih lalu menghapus jejak air matanya secara kasar, secara paksa.

“Ke mana aja?”

Hatinya sakit sekali mengadu argumen dengan wanita yang sebenarnya tak ingin ia temui.

“Mama menyesal, Nak. Mama—”

“CUKUP!!” Renata berteriak.

“GA ADA YANG NAMANYA PENYESALAN DI AWAL CERITA! KALO EMANG BISA, RENATA NYESEL LAHIR DARI SEORANG IBU KAYAK ANDA! BENCI! SAYA BENCI SEKALI!!”

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang