1. Perihal Keputusan

3.3K 146 6
                                    

Renata menulis catatan yang sudah tertulis rapi di papan tulis. Airin yang duduk bersamanya sedang melamun sambil memainkan pulpen di jemarinya.

“Ren, menurut lo, minggu ini gue ke pantai atau gunung?”

Renata masih menyalin dengan tangannya yang menari di atas buku. Sebenarnya ia tak ingin membalas, tapi karena Airin lah yang bertanya dan perempuan itu juga nampak memaksa jadi ia jawab.

“Gunung.”

“Kenapa ga pantai?” Airin menggembungkan mulutnya.

“Kalo pantai ribet.”

“Ribetan ke gunung kali? Harus bawa tenda, kompor, makanan instan, persediaan air banyak. Terus juga tas besar.”

“Lo minta pendapat gue atau ngajak debat, sih?”

Airin langsung diam, karena tak mau kena semprot Renata pagi itu.





Setelah bel pulang berbunyi, Renata langsung menemui sopirnya yang sudah menunggu di area penjemputan. Dengan mobil sedan Renata menaikinya dengan begitu mulus.

Setelah melewati jalanan yang panjang dengan kemacetan, akhirnya Renata sampai di rumah. Rumah dengan dua lantai dan desain yang elegant, dimasuki Renata dengan wajah datar seperti biasanya.

Renata menutup kamarnya dan melempar tasnya ke sembarang tempat.

Karena merasa pengap, Renata membuka pintu balkon, supaya kamarnya sejuk sore itu.

Sejak usia 6 tahun, Renata sudah tak diurus oleh ibunya lagi. Diceritakan dari Tante Aca, ibunya pergi karena selingkuh. Papa menang hak asuh atas putrinya.

Dan Renata benci pada ibunya.





Renata menata buku novelnya di atas meja belajar dengan rapi. Malam itu ia sibuk belajar, karena tiga hari belakangan dirinya tak sempat membuka buku di rumah, karena terlalu lelah di sekolah dan sibuk menuntaskan semua tugas kelompok.

Renata melihat jam weker di sampingnya, masih jam 8. Renata berniat untuk pergi keluar sambil mencari makanan.Diambilnya kunci mobil di gantungan kunci, dengan jaket denim dan topi hitam Renata keluar dengan lihainya.

Membawa mobil sendiri sudah lumrah bagi Renata, papanya saja yang rempong mencarikan sopir untuknya.

Di Jalan Damar, Renata melihat kiri-kanan, siapa tau ada kedai atau cafe yang menarik perhatiannya.

Tapi Renata belum juga menentukan pilihannya, ia masih ingin mencari pilihan lain untuk malam itu. Renata sama sekali tidak pernah bosan memasang wajah kaku dan datarnya, seperti tidak ada hal yang bisa membuatnya tersenyum.

Lalu terlihat tulisan besar dari spanduk yang terpampang di salah satu tempat makan.

SOTO KAMBING BABEH MARKUM

Renata nampak tertarik karena melihat pengunjung yang lumayan ramai. Dan melihat tempatnya yang bersih.Perempuan dengan dompet dan ponselnya itu turun dari mobil setelah memarkirkannya di lahan parkir.

Renata mendekat dan disambut oleh salah satu pegawai di sana.

“Selamat datang, Kak!” kata pegawai dengan name tag Aron.

Renata hanya membalas anggukan. “Masih ada meja kosong?”

“Wah buat Kakak Cantik pasti ada dong! Mari Kak saya antar,” katanya dengan antusias.

Renata dibawa pegawai itu masuk ke restoran lebih dalam. Makin terlihat jelas akan kebersihan di restoran tersebut. Setelah ditawari beberapa meja yang kosong, Renata duduk di meja urutan 5.

“Pesan apa, Kak?” tanya pegawai lain dengan alat tulisnya. Tersenyum ramah menatap Renata yang dengan malasnya membuka lembar demi lembar buku menu.

“Soto kambing.”

“Minumnya?”

“Air putih sama... jus mangga ada?”

“Wah kebetulan ada, Kak.”

“Yaudah itu aja.”

“Baik Kak, ditunggu ya!” katanya, “Oh iya Kak, di sini ada WiFi, namanya Babeh Markum Cakep.

Pegawai itu berlalu setelah menyunggingkan senyum manisnya pada Renata. Renata hanya mengangguk, tanpa melempar senyum setipis tisu pun.

Untuk anak konglomerat sepertinya tak butuh WiFi. Kuota yang ada di dalam kartu perdana itu sudah terlalu banyak, bahkan sang pemilik kadang bingung harus menghabiskannya dengan cara apa.

Semangkuk soto kambing dan nasi putih dihidangkan di hadapan Renata. Pegawainya sudah berbeda, lebih kalem dan telaten. Lalu disusul minumannya, air putih dan jus mangga.

Renata meletakkan ponselnya dan memakan pesanannya dengan khidmat. Perut yang sudah meraung-raung tadi suaranya sudah hilang entah ke bumi belahan mana.

Renata sama sekali tak membuka topinya, ia makan tanpa mempedulikan tatapan sekitar. Dengan penampilannya yang sangat mendukung anak zaman sekarang, menarik perhatian ibu-ibu yang ada di sana. Dan juga remaja lain yang ingin mencontek gaya fashionnya yang sederhana namun tetap terlihat mahal, ya karena emang beneran mahal sih... :')

Renata menyeruput kuah soto terakhirnya, lalu meneguk habis sisa air putih. Renata menegakkan tubuhnya, lalu mengelap mulutnya dengan tisu.





“Renata!” panggil Bu Erna.

“Ya, Bu.”

“Kamu ngantuk?”

“Ngga.”

“Airin, antar Renata ke toilet. Suruh dia basuh mukanya,” kata Bu Erna tak tahan dengan sikap Renata yang tak acuh.

Airin mengangguk dan menarik Renata. Dengan gerakan terpaksanya, Renata berdiri dan mengikuti Airin dari belakang.

“Begadang ya lo, Ren?”

“Ga bisa tidur.”

“Tumben, kenapa tuh?”

“Pusing.”

Setelah sampai di toilet, keduanya masuk. Renata membasuh mukanya, sementara Airin sibuk memainkan air.

“Buang-buang air tau ga si lo?”

Airin terpelonjak dan dengan cepat menutup aliran airnya. “Ya maap.”

“Udah ayo,” ajak Renata.

“Oya Ren, gimana keputusan lo?”

“Keputusan apa lagi? Tentang pantai atau gunung?”

“Tentang Jerry yang nembak lo. Gimana?”

Renata langsung membuang mukanya. Secara tak langsung menyuruh Airin berhenti membahas hal itu.

“Plis Ren, gue kepo banget.”

“Ya menurut lo aja.”

“Ngga, ya?”

“Hm.”

Airin diam, sedang berpikir. “Tapi, dia ganteng tau!”

“Ya terus menurut lo, karena dia ganteng gue jadi suka gitu? Huh?”

Airin diam, kalah argumen dengan Renata.














---------------------------------

Sabtu, 11 Januari 2020
835 kata
10.10

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang