40. Senja Paling Indah

634 56 8
                                    


Dimas melangkah keluar dengan seragam yang sedikit berantakan. Tasnya ia bawa dengan satu kaitan di bahu dan rambutnya yang sudah ia tata rapi saat di kelas tadi.

Senyumnya merekah seperti biasa, memang pada dasarnya cowok dengan murah senyum itu selalu terlihat hangat dan memanjakan mata kaum hawa. Dari belakang Satrio menepuk pundak Dimas.

“Ayo!”

Mereka berdua berjalan keluar seperti biasa, pulang bersama setiap hari. Beberapa cewek yang mengenal keduanya menyapa genit dengan kedipan mata yang dimainkan.

“Dim, udalah gausah ke sana lagi. Mending ikut kerja sama gue aja, om gue juga seneng kalo lo ikut.”

“Engga Sat, gue ga piawai buat sepatu. Lagian gue juga butuh uangnya harian, bukan bulanan gitu. Sorry,” katanya.

Yaudah, tapi nanti kalo kebutuhan lo kira-kira udah baikan, ke gue aja. Kerja kayak lo sekarang ini nyapekin doang, dapetnya ga sebanyak yang lo kerjain.”

“Yang penting halal.”

Mereka berjalan seperti biasa, karena rumah Satrio yang dekat dengan sekolahan. Sementara Dimas harus melanjutkan dengan naik angkutan umum.

Keduanya berpisah, Dimas mengambil jalan pintas untuk lebih cepat sampai di pangkalan angkot.

“Eh!”

Dimas berbalik kala seseorang menepuk pundaknya. “Lo Dimas?” tanya laki-laki itu.

“Iya, ke—”

Tak tunggu lama, Dimas langsung dipukuli dan diinjak-injak saat tubuhnya sudah tergeletak di tanah. Ternyata jalanan yang sepi itu sudah menunggu kehadirannya.

“Gue peringatin sama lo, jauhin Renata!”

Dimas mendengarnya, ia sama sekali tak mengenal dua laki-laki itu. Lalu mereka pergi, sementara Dimas masih di sana untuk berusaha bangun.

“Dek? Aduh kenapa?”

Dimas berusaha berdiri, si ibu nampak panik dengan sepeda motor yang ia gunakan.

“Gapapa Bu.”

“Udah ayo saya anterin pulang aja, kamu abis dipukulin ya? Apa abis tawuran? Aduh... makanya jangan ikut-ikut begituan deh.”

Dimas tersenyum kala mengetahui ibu itu salah satu spesies yang sama dengan ibunya. Cerewet.

“Ayo naik, ibu anter pulang. Ga ada penolakan!”

Dimas mengangguk dan duduk di belakangnya. Sempat mengobrol sedikit dan setelah sampai, Dimas mengucapkan terima kasihnya dan pamit untuk masuk ke rumah.

Saat pulang, untungnya kedua adiknya itu sedang tidak di rumah. Jadi ia langsung mengompresnya dan merebahkan diri di kamar.

Di pikirannya hanya satu, siapa mereka? Lalu, kenapa mereka melarang Dimas untuk mendekati Renata?






Renata dengan boneka pandanya duduk di kasur dengan ponsel yang ia mainkan. Sejak tadi ia menunggu kehadiran Dimas yang biasanya mengantarkan segelas susu kesukaanya.

Kok ga dateng-dateng, sih?

Renata keluar kamar, celingukan mencari keberadaan orang tersebut namun tak dapat. Lalu ia menuruni tangga, berharap Dimas sedang menuangkan susunya ke gelas kaca berukuran 10 senti.

RENATA ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang