Dimas akhirnya mengikuti saran dari Satria untuk menemui Renata, meski ada sedikit pengubahan rencana.
“Pokoknya gue gamau tau, hari ini lo ke rumah Renata. Omongin semuanya dan jangan bilang ke gue kalo gagal!”
“Yaudah iya!”
“Beneran?!”
“Iyaa.”
“Nah gitu dong! Nih ya, biar lo ngga salah kaprah lagi. Lo tau ga cerita tentang Cinderella?”
“Hm.”
“Cinderella aja yang jadi pembantu nikahnya sama pangeran, yang punya harta, tahta dan istana. Masa lo sama Renata aja yang jelas-jelas nyata ngga bisa?”
“Salah lo, Cinderella itu anak tiri yang dipaksa jadi pembantu di rumahnya! Terus bisa jadi istrinya pangeran karena dia lah yang kakinya muat masuk ke sepatu kaca.”
“Ih kok elu tau detailnya sih? Jangan-jangan...” tanya Satria dengan wajah parno.
“Heh! Gue sering nemenin ade gue nonton!”
Tubuhnya yang berpostur tinggi itu berdiri di halaman rumah Renata. Matanya memperhatikan gerbang yang menjulang tinggi.
Jam menunjukkan pukul 4 sore, namun Renata belum juga kembali. Dimas meletakkan tasnya di kursi taman dan menjelajah sesaat.
“Hei Dim!” sapa Pak Anas. Dimas menghampiri dengan mata yang memperhatikan gitar yang ada dipangkuan lawan bicaranya.
“Kenapa, kamu mau nyoba?”
Dimas mengangguk. “Boleh-boleh.”
Pak Anas memberikannya dan berdiri. “Bapak mau ke mana?”
“Mau mandi, udah sore.”
“Yah, ditinggal terus.” Pak Anas tertawa lalu berlalu, Dimas duduk dengan gitar yang ia petikkan.
Ia genjreng-genjreng tak jelas, namun, hasilnya lumayan enak didengar. Matanya tertutup, tangannya terus memetik gitar dengan halusinasinya yang bekerja mencari lirik lagu.
Ah... rasanya ga ada yang bisa mewakili rasa gue ke Renata, batinnya. Bibirnya membentuk sabit lalu mulai mengeluarkan nyanyiannya.
“Hati yang keliru menemukan jawaban
Mencari kata yang hilang, namun tak kujumpa.Kutatap senja di sana dengan air mata
Terdapat namamu yang terukir jelas.Mencuri angan dan imajinasiku lalu menumbuhkan halusinasiku,
tentang dirimu.Oh kasih janganlah pergi, aku tak mampu.
Bolehkah aku mengajakmu menikmati indahnya senja lagi?Kuharap... kau mengerti,
Bahwa aku mencintaimu.”Dimas terkekeh sesaat, lalu meletakkan gitarnya di sampingnya. Ia mulai berdiri dan kembali mendekati tasnya yang tergeletak.
Baru ingin masuk ke dalam untuk menemui ibunya, tapi ada suara mobil dan membuatnya membalik badan.
Dimas membeku di tempat, mulutnya pun seolah terkunci. Renata semakin mendekat, berjalan memasuki rumahnya. Dimas masih pekat menatap Renata meski perempuan itu sama sekali tak menatapnya.
Dan, ya, perempuan itu masuk begitu saja dan Dimas gagal menahannya. Layaknya tak ada apa-apa, seperti tak ada artinya ia berdiri di sana.
Dimas menghembuskan napasnya. Lalu pergi, begitu saja.
♡
Renata masuk ke kamar, melempar tasnya dan duduk di tepi kasur. Matanya kosong memikirkan cowok yang ia jumpai di halaman rumahnya. Renata ingin segera turun dan menarik cowok itu ke pelukannya kemudian bilang ‘Jangan kayak gini, Dimas. Gue mau kita kayak dulu.’
Segala halusinasinya menyeruak masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Renata melamun, andai aja lo ngerti, Dimas. Pasti ujungnya ga akan kayak gini, batinnya.
Akhirnya, Renata tertidur dengan seragam sekolah yang sudah ia buka. Matanya pun mulai memejam.
♡
Dimas berjalan dengan tatapan kosong. Di tepi trotoar, polusi udara begitu membuatnya harus menyipitkan sedikit matanya supaya tidak kelilipan.
Seragam yang lusuh, rambut berterbangan terbawa angin dan juga matanya yang memancarkan penyesalan.
Dimas berhenti, memutuskan untuk duduk di warung kopi sambil menikmati es teh manis. Terdapat beberapa bapak-bapak dengan muka lelah dan koran yang mereka baca.
Dimas memilih diam sambil menunggu pesanannya. Kakinya ia mainkan, rambutnya berjatuhan karena kepalanya menunduk.
“Nih Mas, gorengannya juga tuh. Ambil aja gapapa, ngabisin,” kata si ibu dengan senyumnya. Lalu kembali ke tempatnya lagi untuk menonton televisi.
Dimas memainkan jarinya di ujung gelas, sambil menunggu teh manisnya dingin dengan bersatunya cairan itu bersama bongkahan kecil es batu.
♡
Renata mulai membuka matanya, ia menjauhkan selimutnya karena kegerahan. Renata menatap sekitar.
“Heh!” teriak Renata. Cepat-cepat ia menutupi tubuhnya dengan selimut, lalu turun dari kasur.
“Lo ngapain di situ?! Keluar! Dasar kurang ajar!” teriak Renata. Ia berdiri di samping tempat tidurnya.
Pintu kamarnya tertutup namun dari dalam ada Dimas yang sedang berdiri, menatapnya dalam dengan mimik wajah yang sulit dimengerti. Cowok itu menggunakan kaos yang ia pakai saat bersama Renata ke sungai dekat perumahan, Renata ingat itu.
“Dimas! Keluar!” Renata kembali berteriak. Dimas tak bergeming, tetap diam dengan pandangan mata yang mengikuti pergerakan Renata.
“Gue kasih satu kesempatan lagi, keluar sekarang atau gue...”
Renata menatap sekitar, mencari sekiranya benda tajam untuk menyakiti cowok itu. Yap, jangka.
“Keluar!”
Renata melangkah, lalu menyentuh bahu kanan Dimas dan menusukkan jarumnya ke arah perut dengan tangan kanannya.
“Ahhhh!!”
Renata melepaskan jangka itu, lalu tangan kanannya bergetar. Renata melotot dan mundur beberapa langkah, selimutnya jatuh dan tak membalut tubuhnya lagi yang hanya memakai celana pendek dan tank top.
“Arhhhhh!! Kenapa sih, kenapa elo selalu ada dipikiran gue, Dimas?!! Kenapa!”
Renata menjatuhkan tubuhnya, menyandarkannya pada nakas dan menangis. Yang ia tusuk bukanlah Dimas, melainkan cardigan hitam yang beberapa hari lalu ia gantung di balik pintu kamar.
Halusinasi, ya, sudah pasti.
Renata mencengkeram kepalanya, tangisnya pecah. Entah mengapa rasa sakit itu kembali muncul.
“Non Non? Non gapapa?” teriak Bik Ila dari luar. Terdengar ketukan pada pintunya. Renata tetap diam.
“Non, Bibik masuk ya?”
Renata buru-buru mencegahnya. “Ngga! Siapin makanan aja Bik, nanti bawa ke sini. Sama buahnya juga,” sahutnya. Bik Ila mengiakan lalu pergi. Pasti wanita paruh baya itu khawatir karena mendengar keributan di kamar majikannya.
Sampe kapan gue harus kayak gini? Batinnya.
---------------------------------
Minggu, 10 Mei 2020
877 kata
07.23
KAMU SEDANG MEMBACA
RENATA ☑️
Teen Fiction[27/03/2022] Rank 1: #Cutsyifa Kisah seorang Renata yang tidak pernah peduli terhadap sekitar. Memiliki rasa tak suka dengan ibu kandungnya sendiri karena sudah pergi meninggalkannya. Sampai akhirnya, banyak konflik perdebatan dengan sahabatnya term...