02

736 113 5
                                    

Tut... Tut... Klik!

"Hello?"

"Hwang Yeji?"

"Yes? Who's this?"

"Jeon Heejin,"

"Oh Heejin. Ada apa?"

"Aku ingin menanyakan sesuatu. Apakah grupmu mendapat surat? Dan apakah sudah ada pesan hologram yang datang?"

"...Iya, karena hal itu Gowon menjadi sangat marah. Dia lepas kendali karena teringat Hwall yang gugur dalam permainan itu,"

"Maafkan aku..."

"Kenapa kau minta maaf?"

"Entahlah. Aku hanya merasa kalau aku harus meminta maaf,"

"Jangan salahkan dirimu ok? Yang sudah terjadi biarlah terjadi,"

"Kau benar,"

"Heejin, mungkin sekali-sekali kau harus kesini. Aku tahu kau sudah berteman dengan Gowon sejak lama. Setidaknya bantu dia untuk menenangkan diri,"

Heejin menghela napasnya panjang setelah mendengar perkataan Yeji.

"Maaf Yeji. Bukannya aku tidak mau, tapi kembali ke sana membuatku... Mengingat banyak memori menyedihkan,"

"I know. Oh aku harus pergi. Pelajaran akan segera dimulai. See ya,"

Tanpa menunggu balasan dari Heejin, Yeji langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Heejin menatap ponselnya datar. Permintaan Yeji tadi terus terngiang di kepalanya.

Dia menghembusakan napas kasar, "Jangankan kesana, denger namanya aja udah stress sendiri," pikir Heejin.

Selain kematian Hyunjin yang bersumber darinya, kematian Hwall juga terjadi karenanya. Sekalipun ia dan Hwall cenderung tidak akur, bisa Heejin akui kalau Hwall membuat rasa sedihnya berkurang selama ditahan di OBS.

Heejin mendecih, "Hebat banget gue udah mbunuh dua orang sekaligus. Gilanya lagi, mereka yang udah baik sama gue,"

Sekian bulan sudah berlalu, tapi perasaan bersalah itu tidak pernah meninggalkannya. Sepertinya ia akan terus hidup dalam penyesalan.

Heejin menghela napasnya. Ia turun dari kasurnya dan berjalan keluar menuju dapur.

"Lho jin? Laper?"

Di dapur Heejin bertemu dengan Guanlin yang bersandar pada tembok dan meminum teh hangatnya.

Heejin hanya membalas perkataan Guanlin dengan mengangkat bahunya sekilas dan berjalan menuju kulkas.

Beruntung ia menemukan sebuah apel merah. Tanpa basa-basi ia mengambil apel itu dan bergegas pergi dari dapur.

"Jeon Heejin,"

Mendengar Guanlin memanggil namanya, langkah Heejin terhenti. Ia membalikkan badannya.

"Apa?"

Guanlin meminum habis tehnya yang tersisa dan meletakkan gelasnya di atas meja, "Lo mau cerita sesuatu?"

"Hah?"

"Gak usah pura-pura nggak tau. Wajah lo tu wajah-wajah orang yang pengen ngoceh panjang lebar tapi nggak bisa,"

Heejin menatap Guanlin datar, "Apaan sih lo? Sok tau dah,"

Kemudian Heejin berjalan cepat kembali ke kamarnya.

"Apa yang udah terjadi nggak usah disesali. Lagipula kita nggak bisa ngubah apa-apa,"

Satu kalimat dari Guanlin membuat Heejin menghentikan langkahnya. Kemudian Guanlin berjalan melewatinya dan merebahkan dirinya di sofa ruang tengah.

Guanlin mengambil ponselnya dan bermain game online. Sedangkan Heejin masih terpaku.

Bagaimana bisa Guanlin tahu semua isi pikirannya?

"Jin,"

"Hm?"

Guanlin bangun dari posisi tidurnya dan menatap Heejin, "Main game kuy," kata Guanlin sambil mengangkat ponselnya.

Heejin merotasikan bola matanya kesal. Ia kira Guanlin akan mengatakan sesuatu yang lebih penting daripada mengajaknya bermain game.

NGGIIIIIIIIIINGGGGG

Seketika mereka menjadi kaku. Mereka bisa mendengar suara yang tampak familiar di telinga mereka.

Guanlin dan Heejin saling pandang satu sama lain. Guanlin bisa melihat ekspresi ketakutan Heejin.

"L-lo denger?" tanya Heejin.

Guanlin mengangguk pelan. Kemudian ia melihat ke sekitar, seakan mencari sumber suara itu.

"N-nggak mungkin sekarang kan?"

Guanlin menghela napasnya, "Semoga aja nggak. Mending sekarang kita tidur a—"

"AAAAAAAAK!"

Heejin dan Guanlin serentak menoleh ke sumber suara, "Haechan!"

Mereka berdua berlari menaiki tangga dan segera menuju salah satu kamar yang ditempati Haechan.

BRAK!

Guanlin membuka pintu kamar itu dengan kencang. Keduanya masih sedikit terengah-engah setelah berlari menaiki tangga.

Mereka menatap kamar itu. Kosong.

"Chan?"

Keduanya masuk perlahan, "Haechan pake kamar yang ini kan?" tanya Heejin memastikan.

"Iya. Suaranya gue yakin juga dari sini,"

Tapi, nyatanya di kamar itu benar-benar tidak ada siapa-siapa. Satu-satunya bukti yang membuat mereka yakin Haechan sebelumnya berada di kamar itu adalah selimut yang tampak tak rapi.

"Jin, lo cari ke kamar mandi!" kata Guanlin yang dibalas anggukan oleh Heejin.

Sementara Heejin mengecek kamar mandi, Guanlin mencari di bawah kasur, dalam lemari, balik lemari, belakang pintu, dan tempat lain yang berpotensi menjadi tempat bersembunyi.

"Ni anak sembunyi dimana sih? Perasaan juga kita nggak main petak umpet," pikir Guanlin.

"Nggak ada lin," kata Heejin sambil kembali menutup pintu kamar mandi.

Guanlin mengacak rambutnya kesal, "Tu bocah kemana sih?! Lagian tadi ngapain dia treak-treak? Emosi kan gu—Heejin..."

Kalimatnya terhenti ketika ia melihat tubuh Heejin yang tampak memudar. Kemudian ia melihat ke dirinya sendiri. Ternyata tubuhnya pun mengalami hal yang sama seperti Heejin.

Heejin menatap Guanlin panik, "Woe! Napa nih?! Gue belom mau mati woy!"

Mereka berusaha berpegangan pada benda-benda di sekitar mereka, tapi gagal. Tubuh mereka seakan menembus benda-benda itu.

Semakin lama yang mereka rasakan adalah tubuh mereka yang terasa ringan. Mereka merasa seperti terbang.

Hingga akhirnya cahaya putih yang menyilaukan membutakan pandangan mereka.

"Jangan bilang ini udah dimulai,"

Belom apa-apa udah konflik ehe :3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Belom apa-apa udah konflik ehe :3

Tengs for your support~

[2] ATTACK's Series: SECOND ATTACK ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang