Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
↳ Keyboard komputer adalah makanan Haechan sehari-hari di kala bosan. Ia akan menekan setiap tombol dengan tenaga dan bibir komat-kamit seolah merapal mantra. Gemeletak bunyinya kadang juga terdengar sampai pintu depan.
Kebiasaannya saat bermain adalah tidak memperhatikan ponsel, anggap saja ia sibuk dan tidak bisa diganggu. Namun saat nama Renjun—yang biasanya jarang muncul—menjadi salah satu tampilan nama di ponselnya, ia buru-buru menjeda permainan daringnya dan mengangkat telepon.
"Halo, Nat?"
Haechan tidak mendengar apa-apa, hanya ada gemerusuk tidak jelas. Astaga, Haechan takut sendiri, bagaimana kalau ini telepon dari hantu.
"Nata?"
"Hem."
Haechan tak ayal mendesah lega. Bukanhantu, pikirnya.
"Ngapain nelfon? Besok masih Sabtu, njir." ujar Haechan jenaka.
"Nala, tadi aku ketemu kak Garen."
"Hah!? Kok, bisa?"
Tuh, kan. Bukan telepon dari hantu, tapi tetap membuat Haechan kaget setengah panik.
"Aku lagi nganter Mama belanja, terus ketemu Mama-nya Kak Garen. Pertamanya dia nggak kelihatan, lalu tiba-tiba sudah ada di sebelahku."
Haechan sadar kalau suara di seberang sana terdengar letih dan lesu. Astaga, siapa juga sih yang mau ketemu mantan?
"Kita disuruh pergi aja. Jelas aku mau menolak, tapi Kak Garen udah narik. Beruntungnya nggak ada omongan lagi, tapi Kak Garen sekarang ngerokok."
"Lalu, perasaan kamu apa kabar?"
Ada hening yang ikut mengisi, cukup lama sampai Haechan bisa pindah ke atas kasurnya.
"Tidak tahu, campur aduk. Coba beri aku saran."
Haechan berujar ragu,"Ingat Kak Jaya?"
"Hem."
"Mungkin kamu bisa coba nerima keberadaannya. Dia juga ganteng kok, nggak ada salahnya."
"Aku juga berpikir begitu. Iya, kalau dia beneran mau pdkt."
"Nggak apa-apa. Dicoba dulu. Aku yakin besok dia mendatangimu lagi."
Suara tawa Renjun mengelegar dari pengeras suara telepon. Haechan bersyukur ia mampu sedikit membantu kegundahan temannya,"Berarti aku harus suka susu coklat, gitu?"
"Ya, minta belikan yang lain saja. Kalau dia segitu bucinnya, pasti dibelikan."
Lagi, Renjun tertawa untuk kedua kalinya,"Ya udah, aku tutup dulu. Makasih, Nala."
Telepon berakhir. Layar komputer Haechan masih menyala terang, tulisan 'jeda' terpampang jelas meskipun dari jarak jauh. Gawai pintarnya ia tinggalkan di atas kasur dan kembali menekuni aktifitas tertundanya.
——
Renjun mengamati boneka singa di pojokan kasur setelah panggilan telepon dengan Haechan berakhir. Boneka itu sudah tidak pernah ia peluk lagi, tidak seperti dulu yang harus tidur dengan memeluk si boneka. Sekarang ia kembali memeluk guling seperti biasa. Ia rasa, sudah tidak pantas saja masih mengandalkan boneka singa pemberian Mark. Selain tidak pantas, Renjun juga merasa tidak sudi. Mark yang membuangnya, meminta Renjun untuk menjauh, jadi kenapa pula Renjun harus tetap bergantung pada boneka itu.
Tiga bulan lalu, hubungan mereka kandas. Mark yang meminta mereka untuk berakhir dan berjalan di jalurnya masing-masing. Renjun tentu sempat bertanya alasannya, namun Mark tidak memberi jawaban.
Desas-desusnya—karena Renjun sendiri juga tidak berusaha memastikan—setelah mereka putus, Mark tertangkap basah berduaan di dekat gudang sekolah dengan gadis bernama Mina. Satu sekolah bahkan gempar hanya karena gosip tak berdasar, namun Renjun mencoba acuh. Ia juga tidak punya hak lagi, kan?
"Kak Garen Brengsek!" ujar Renjun kesal, sepenuh tenaga menendang boneka singa di kakinya,"Jangan bikin kepikiran!" kemudian mengubur wajahnya dalam bantal.
Rasanya masih hancur, masih sedih, masih kalut sekalipun penampakan luar Renjun bak sosok pemeran utama yang tahu jalannya akan sehalus kain sutra. Ia berdiri kokoh di hadapan orang lain, namun menangis pilu kala seorang diri. Mungkin benar kata Haechan, setidaknya ia harus menyambut kedatangan Jaehyun dan mencoba kembali utuh.