8 | 06:44

1.3K 254 6
                                    

↳ "Kakak nggak bisa jawab?" Renjun mendekatkan wajahnya pada wajah Mark, menuntut yang lebih tua bicara dengan sorot mengintimidasi,"Kenapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


↳ "Kakak nggak bisa jawab?" Renjun mendekatkan wajahnya pada wajah Mark, menuntut yang lebih tua bicara dengan sorot mengintimidasi,"Kenapa?"

"Apa menurut kakak aku masih anak kecil? Apa aku kurang seksi? Apa aku kurang cantik? Atau kenapa?" Kerutan di dahi Renjun semakin tebal,"Jangan diem aja, Kak Garen!"

Renjun sedih sendiri kala memikirkan bahwa Mark mungkin saja menginginkan Mina karena ia perempuan, tidak seperti dirinya yang laki-laki dan hanya dapat memuaskan tanpa membuahkan keturunan, namun alih-alih tetap menyimpan pikirannya, Renjun menyuarakan kekhawatirannya tanpa tedeng aling-aling.

"I'll give it to you if you ask, but why? Kenapa harus ke Kak Mina segala? Karena Kak Mina cewek, sedangkan aku cowok. Gitu!?"

Mark pusing, ia belum sepenuhnya terlepas dari hangover dan Renjun menuntutnya berpikir, yang benar saja! Mark bahkan tidak pernah yakin pada dirinya sendiri sejak hari itu, mengapa pula ia harus menjelaskan ke orang lain apa yang terjadi.

"Nata, stop!" Bentakan Mark menghentikan racauan ganas Renjun,"Don't say anything! Kamu udah kelewatan kali ini."

Yang lebih muda mendengus ketika tubuhnya terdorong mundur, lihat sebenarnya siapa yang lebih keterlaluan,"Tapi Kakak belum pernah jelasin ke aku—"

Cklek!

Pintu dibuka dari luar, ada Chenle yang berdiri di hadapan pintu dengan salah satu tangan memegang kresek putih, wajahnya terlihat polos,"Oh, kalian udah pada bangun? Sarapan, yuk! Aku beli bubur."

Senyum lebar Chenle berhasil menggugurkan suasana mencekam diantara Mark dan Renjun. Entah mengapa, dua orang itu jadi tidak ingin melanjutkan pertengkaran karena senyum Chenle. Renjun yang pertama bangkit, sudah kepalang emosi berlama-lama dengan Mark.

"Ayo, Ki." Renjun menggandeng Chenle keluar, meninggalkan Mark yang berpusing ria.

——

Mark sudah tidak berada di apartemen Chenle begitu buburnya habis, yang paling tua segera berpamitan pulang dengan alasan ingin segera istirahat lagi, padahal sebenarnya sadar, baik Renjun maupun Chenle sudah tidak nyaman dengan kehadirannya. Chenle juga tidak mencoba menahan, apalagi Renjun.

Jam menunjukkan pukul delapan kurang dua puluh menit, Renjun sedikit gusar karena sudah dipastikan, sang ibu sudah mencari keberadaan anak dan mobil yang tiba-tiba hilang.

"Bilang aja, Iki demam, terus semalem minta tolong karena sendirian di apartemen."

Dering ponsel Renjun menenuhi ruangan, Renjun hanya perlu mengintip layarnya saja untuk tahu siapa yang tengah menelepon, apalagi dering khusus ini menandakan sang penelepon bukan orang asing, melainkan keluarga dekat,"Sial, Mama beneran nyariin."

"Angkat dan langsung ngomong, jangan biarin Mama kamu ngomel."

"Apa ya beneran bisa?"

"Ya ngomongnya sambil melas."

"Tapi Mama aku galak, Ki."

Chenle mencibir lirih,"Emang kamu nggak galak apa?"

Yang kemudian dihadiahi tatapan tajam oleh Renjun. Tubuh Chenle otomatis mengkerut, takut dengan sorot mematikan itu. Lagian semua orang juga tahu, mau semanis apapun Renjun, ia tetap menakutkan kalau sedang marah.

Pun meski sempat skeptis dengan saran Chenle, begitu Renjun menerima telepon dari sang Mama, ia mengutarakan alasan bohong yang sama persis seperti kata Chenle.

"Maaf, Ma. Semalem Iki muntah-muntah terus di apartemen sendirian, jadi aku sekalian bawa mobilnya kalo aja butuh dibawa ke rumah sakit."

Chenle menanggapi kebohongan Renjun dengan tatapan setengah takut, jangan sampai apa yang temannya ini bilang, jadi kenyataan.

"Udah, nggak apa-apa. Demam biasa. "

"..."

"Iya, Nata nanti pulang kalo kakaknya Iki udah pulang. Katanya sih bentar lagi."

Renjun menghela nafas begitu sambungan teleponnya dengan sang Mama berakhir. Jadi begitu ya rasanya bohong totalitas, sudah seperti naik roller coaster.

"Tuh, kan. Apa aku bilang!"

"Iya, deh. Makasih, Iki Sayang."

TV di hadapan keduanya kemudian menyala, menampilkan kartun-kartun khas hari sabtu pagi. Chenle memang suka menonton TV pagi-pagi di hari libur, lalu siangnya akan tidur dan bangun setelah sore.

"Eh, sorry banget soal yang tadi, Nat."

Renjun menoleh,"Yang mana?"

Senyum sungkan Chenle cukup menjelaskan maksud permintaan maafnya,"Yang kamu sama Kak Garen di kamar tadi. Aku cuma ngerasa, kalian harusnya diskusi, bukan malah berantem."

Sorot Renjun kembali mengarah ke layar televisi, namun sepertinya si manis tidak berniat menonton, ia hanya mencoba mengalihkan mata saja. Tahukan kalau mata adalah organ tubuh yang paling tidak bisa berbohong, takut-takut Chenle bisa membaca hati Renjun dari matanya.

"Kayaknya aku yang kebawa emosi, sih. Sekalipun aku punya hak buat tau alasannya, aku juga nggak seharusnya sampek seemosi itu. Toh, sekarang pacarku Kak Jaya, alasan aku putus sama Kak Garen bukan hal yang harus di permasalahkan lagi."

Tepukan Chenle di pundaknya, membawa Renjun kembali menoleh.

"Nah, itu lebih bagus. Saatnya kamu fokus ke Kak Jaya aja."

"Btw, Ki, jangan bilang Nala sama Bara, ya? Aku mau masalahku sama Kak Garen berhenti sampek disini aja. Itu anak dua pasti bakal tambah panas kalo tau."

"Iya, janji."

Pun setelah percakapan itu usai, Renjun berpamitan pulang, katanya takut sang Mama lebih marah kalau ia pulang terlalu siang. Padahal sebenarnya ingin pulang dan mengistirahatkan pikiran atau mungkin menunggu ajakan jalan dari sang pacar untuk malam mingguan.




to be continued

memetik asa • markrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang