Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
↳ Hari baru telah datang. Bayang-bayang dedaunan menabrak tirai kamar Renjun dan membentuk pola abstrak. Jendela yang memang hanya ditutup tirainya itu pun kadang bergerak kecil akibat tertiup angin. Renjun sendiri masih bersembunyi dibalik selimut tebalnya, mencoba bertahan diantara suhu dingin.
Kalian harus tahu kalau matanya tidak terpejam sejak semalam. Setelah Mark berpesan untuk mengatakan perpisahan mereka pada kedua orang tua Renjun, pikirannya tidak berhasil tenang. Pukul dua dini hari, ia baru berhenti menangis dan meskipun matanya terasa lelah, Renjun takut menutup mata.
Perasaan takut itu bukan hanya perasaan biasa. Selama menutup mata, ia akan lebih mudah mengingat banyak hal, termasuk perpisahannya dengan Mark. Masih diingatnya dengan jelas, bagaimana Mark mengajaknya bertemu di lorong dekat perpustakaan seusai pemuda itu berlatih basket;"Ayo putus aja, hubungan kita mulai nggak baik."
Kala itu, Renjun hanya diam. Tidak terpikirkan sekalipun bertanya mengapa atau setidaknya menanyakan bagaimana rasa Mark padanya.
Mendapati Renjun yang hanya diam, Mark menganggap bahwa mereka telah usai dan pergi.
Perlu diperhatikan, bahwa Renjun tidak sempat menangis. Yang dilakukan si manis hanya heran dan kebingungan.
Relasi diantara mereka juga tidak lantas hilang begitu saja. Besoknya banyak sekali yang menanyai Renjun alasan mereka putus, tapi bagaimana ia menjelaskan kalau Mark sendiri juga tidak menjelaskan dibagian mana hubungan mereka mulai tidak baik?
Jadi sebagai pengganti rasa bingung yang turut memenuhi kepala Renjun, ia tersenyum tipis dan menjawab seadanya,"Kita udah nggak cocok aja."
Tiga sekawannya juga turut dilanda kebingungan. Kemarin Renjun baru saja putus, tapi di mata mereka Renjun terlihat aman sentosa bahkan mata si manis tidak membengkak sama sekali. Renjun juga masih menimbrung di grup mereka sesekali. Benar-benar seperti tidak terjadi apapun.
Dan semalam puncaknya. Ia memang tidak menangis begitu diputuskan sepihak oleh Mark, berbulan-bulan mencoba menahan, Renjun akhirnya luruh akibat sorot mata Mark semalam. Ia yakin hubungan mereka baik-baik saja, jadi kenapa bisa mereka putus?
Renjun tidak mampu berpikir, helaan nafasnya terdengar berat. Tubuhnya juga tidak terasa baik, meskipun begitu, ada ujian matematika menunggu dan seperti ancaman pada pertemuan yang lalu, sang Guru tidak akan memberikan kompensasi untuk siapapun bilamana tidak hadir dalam ujian. Ia bangkit dari kasur dengan nafas terengah, sudah pasti sekarang ia sedang demam.
——
Mama Nita setengah keheranan melihat Renjun yang mengenakan hoodie abu-abu kebesaran hingga jemarinya terpendam di balik lengan. Anaknya ini biasanya tidak akan mengenakan hoodie diatas seragam, Renjun sendiri yang bilang kalau dia bangga memamerkan badge sekolah di pundak kirinya.
"Mama ada apa gitu nggak buat bibir Nata biar nggak pucet?"
"Hah?" Kembali Mama Nita dibuat kebingungan, meskipun begitu ia mengamati bibir Renjun yang kelihatan pucat,"Tunggu bentar. Makan dulu, sarapannya udah Mama siapin."
Begitu kembali dengan membawa lipbalm, Mama Nita menyempatkan diri menaruh telapak tangannya di dahi Renjun. Panas, seperti dugaannya.
"Kamu demam? Nggak usah sekolah aja, ya?"
Renjun menggeleng pelan,"Ada ujian, Ma. Jam pertama." Kemudian Renjun meneguk air putih dari gelas di tangannya, menyelipkan satu butir obat dan menelannya,"Nanti kalo tambah parah, Nata telfon Mama."
Titik. Anaknya memang se-ngeyel itu, kadang juga tidak memberi kesempatan sang Mama menasehati. Entah menurun dari siapa, mungkin dari si Papa.
"Beneran harus nelfon loh, ya!" ancam Mama Nita agak setengah kurang percaya.
"Iya-iya. Buat apa juga aku dikasih hp kalo nggak dipake buat ngabarin Mama."
Tuh, kan. Sudah sakit saja, Renjun masih bisa bicara begitu dengan Mamanya.
Renjun menyingkap lengan kanannya begitu selesai menyapukan lipbalm ke bibir, jam di pergelangan Renjun sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat sedikit.
"Nata berangkat, Ma—"
"Papa! Ini anter Natanya ke sekolah."
"Nggak usah—"
Bibir Renjun mengatup cepat, reaksi reflek jika mendapat pelototan menyeramkan dari Mama Nita. Renjun menyerah, tidak punya keberanian menolak. Sepertinya sudah jelas, Renjun ini menurun siapa.