Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
↳ Renjun berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak masuk ke tempat seperti bar yang dimaksud Johnny di lain waktu. Tempatnya gelap meskipun diterangi cahaya warna-warni, sedangkan Renjun harus sedikit panik ketika melihat gerombolan manusia berdesakan disana-sini. Sebenarnya Renjun tidak punya trauma apa-apa, ia hanya takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak saja.
Tidak cukup sulit menemukan Johnny, Renjun sudah di beri petunjuk dimana ia akan mudah menemukan menemukan yang lebih tua. Tidak jauh dari pintu masuk, Renjun menghadap ke sebelah kanan, menemukan meja-meja bundar dengan dudukan sofa berbentuk L. Ia bisa melihat Johnny duduk disana sendirian, menikmati minumannya dan menganggukkan kepala seirama musik.
"Duduk, Nat!"
Itu sapaan yang Renjun dapat ketika berdiri di hadapan Johnny.
Johnny terkekeh pelan, kembali di ingatkan kalau Renjun tidak selemah-lembut seperti penampilan luarnya. Renjun memang terlihat cantik dan polos, namun sifatnya berbanding seratus delapan puluh derajat dengan yang orang-orang lihat lewat mata telanjang.
"Minum?" Johnny menawarkan sambil mengangkat gelas di tangan kanannya.
"Nggak. Cepet aja."
"Dicariin orang tua?"
"Bisa buang basa-basinya sekarang? Aku udah baik banget mau dateng kesini, jadi cepetan aja."
"Sabar, Cantik. Kayak besok bakal kiamat aja."
Renjun menghela nafas marah. Selain tidak menyukai tempat yang dikunjunginya kali ini, Renjun juga dibuat kesal lantaran Johnny sepertinya lebih suka menghabiskan waktu dengan omong kosong.
Johnny yang tak mendapat balasan apapun dari sang lawan bicara akhirnya menekan jauh gelagat bercandanya. Wajahnya kemudian berubah serius dengan sorot mata sendu.
"Sebenernya gue mau minta maaf."
Dentuman musik dari speaker di sekeliling ruangan memang memekakkan telinga, tapi Renjun yakin ia mendengar kalimat Johnny dengan jelas. Renjun tetap diam, ia tahu jelas kalau Johnny masih punya banyak kata yang belum terucap.
"Farhana Mina. Lo jelas kenal siapa dia. Anak orang kaya yang bisa ngelakuin apapun, termasuk maksa orang dengan kekuasaan dan uang. Cantik juga, sayangnya dia nggak waras. Dia cukup keliatan normal kalo berita dia ke psikiater nggak ketauan anak-anak sekolah."
"Posisi gue memang bukan korban layaknya lo ataupun Garen, tapi gue juga tetep jadi korban disini."
"Maksudnya?"
"Gue sohiban sama Garen dari dia belum pacaran sama lo. Sampek dia mutusin buat nggak nakal lagi, gue tetep deket sama dia. Menurut lo apa yang bisa bikin gue semaksa itu ngajak Garen ke party-nya Mina padahal dia lebih pengen quality-time sama lo?"
Ingin sekali Renjun menjawab, tapi kemungkinan-kemungkinan di kepalanya membentuk pola yang rumit.
"Garen udah cerita kalo Mina nyium dia pas anak itu mau cabut pagi-pagi? Bahkan fotonya ada dan kesebar di anak-anak."
Renjun mengangguk kaku, tak siap dengan kalimat selanjutnya yang akan Johnny lanturkan.
"Gue yang ngefotoin—" Johnny memberi jeda, diam-diam mencoba memahami diamnya Renjun,"—atas perintah Mina sendiri. Mana mau gue ngelakuin hal yang jelas bakal nyelakain Garen, tapi anceman Mina lebih dari sekedar nyata buat gue abaikan. Dia bisa aja bunuh keluarga gue dan ngehapus jejaknya segampang niup debu. Tapi ternyata ketika gue selamat dari ancamannya, malah Garen, lo, sama Mamahnya Garen yang harus kena konsekuensi. Gue nggak bayangin kalo masalahnya bakal sepanjang ini."
"Sorry banget, gue pengecut."
"Terus kenapa cuma minta maaf ke aku?"
"Karena gue udah nggak punya muka lagi buat dateng ke depannya Garen. Gue harap lo bisa nyampein ini ke dia."
Tak ada aba-aba, Johnny ditarik berdiri oleh seseorang yang tiba-tiba datang jadi balik bayangan. Mark mencengkram kerah Johnny sembari melayangkan tatapan marah.
"Anjing lo!"
"Nat, lo bilang lo dateng sendirian."
"Aku nggak bilang gitu."
Mark menjatuhkan Johnny ke sofa, kemudian melayangkan dua pukulan sebelum menarik Renjun berdiri dari tempatnya duduk.
"Ayo pulang."
Yang Renjun ingat, ketika ia ditarik Mark menuju pintu keluar, ia bisa melihat Johnny yang terengah di sofa dan Mark yang tak sedikit pun menoleh ke belakang.
Apalagi yang bisa diharapkan dari teman yang mengorbankan temannya sendiri?