2 | 19:05

2.3K 393 8
                                    

↳ Suasana ruang makan keluarga Renjun selalu hangat seperti dalam ingatan Mark

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suasana ruang makan keluarga Renjun selalu hangat seperti dalam ingatan Mark. Ayah Renjun—yang lebih sering Mark sapa, Papa Damar—sering kali melawak garing. Sosok pria berkepala empat dengan kumis tipis dan kaus polo sebagai andalan, selalu terasa dekat bagi Mark. Mereka akrab ya apalagi kalau bukan karena selera guyon yang mirip-mirip. Selama Papa Damar melawak, hanya Mark yang akan tertawa, sedangkan Mama Nita dan Renjun akan mendengus mengejek atau kadang melontarkan sarkasme.

"Wah, udah lama banget nggak ketemu Garen."

Sambutan dari Papa Damar menyapa telinga Mark begitu ia memasuki ruang makan. Renjun juga sudah ada disana, duduk dihadapan sang Ayah sambil mengunyah potongan apel, sedangkan Mama Nita masih berdiri di depan kompor sambil mengaduk wadah isi sop. Papa Damar sendiri tengah memegang gawai sebesar talenan, sepertinya masih nekat mengurus pekerjaan.

Sebisa mungkin Mark bersikap biasa dan segera duduk di sebelah Renjun,"Maaf, Pah. Jadwalnya makin padet."

Papa Damar terkekeh, kemudian meletakkan tabletnya di atas meja,"Oh, iya. Udah mau ujian nasional, ya? Gimana, udah siap?"

"Iya. Kalau progress sih, anggep aja delapan puluh persen, Pah. Masih belum sempat mikirin juga mau kuliah dimana."

Sejak pacaran dengan Renjun, Mark memang lebih terbiasa mengeluh pada Papa Damar daripada ke keluarganya. Selain karena Papa Damar sanggup memberikan pencerahan dan sedikit guyon, Mark sebenarnya juga sudah tidak bisa lagi mengeluh ke Ayahnya.

Kalau ia mengeluh pada sang Bunda, ia takut Bundanya malah akan kepikiran. Jadi, Mark sering menyimpan banyak hal sendirian. Namun begitu ada Renjun dan keluarganya, Mark seperti punya tempat pulang kedua. Sangat disayangkan, tempat pulang keduanya sekarang tinggal reruntuhan.

Mark menoleh begitu dirasa seseorang mengamatinya dengan intens, dan benar saja, Renjun menatapnya dalam diam. Diusaknya rambut Renjun (hal yang Mark selalu lakukan ketika gemas), namun Renjun kemudian mendengus kecil. Meskipun begitu, Mark tidak yakin mampu mengartikan tatapan si mantan kekasih karena yang ia lihat disana adalah tirai hitam misterius.

"Udah baikan?" kini Mama Nita yang mengambil alih percakapan. Wanita itu segera membawa sop hangat—yang telah di pindahkan ke wadah lain—ke meja makan.

Mark terkekeh sungkan,"Udah, Mah."

Ya, pokoknya anggap saja sudah. Batin Mark. Lagian mereka memang tidak sedang bertengkar seperti yang Mama Nita kira. Mereka sudah putus dan yang mereka lakukan hanya sedang berpura-pura, jadi tidak masalah pula berbohong.

Diusak kembali rambut Renjun begitu si cantik ikut merespon dengan anggukan mantap, kemudian mereka saling melempar senyum, mencoba hanyut dalam skenario yang keduanya buat mendadak dan tanpa persiapan.

"Kalian udah pacaran berapa bulan, sih? Heran, Papa. Kayak nggak abis-abis kasmarannya."

Hening menyapa meskipun singkat.

Benerapa saat kemudian, Renjun tersenyum lebar,"Bulan ini, satu tahun." ujarnya.

Andai saja mereka tidak putus tiga bulan yang lalu, mungkin mereka akan merayakan hari peringatan setahun dengan bahagianya. Seandainya Mark dulu tidak bodoh dan ceroboh, mungkin mereka akan bahagia dan tidak perlu berbohong seperti ini. Hanya seandainya.

Entah mengapa, seakan ada yang menggerogoti paru-paru Mark hingga ia tidak mampu menghirup udara dan memukul ulu hatinya keras-keras. Sakit sekali rasanya.

"Wah, lama juga kalian pacaran." timpal Mama Nita, meskipun begitu, tangannya tetap sibuk menyendokkan nasi ke atas piring sang suami.

"Ya udah, ayok makan dulu."

Kemudian semuanya sibuk sendiri mengurus isi perut, meski seperti biasa, Papa Damar akan guyon dan tetap menanyakan beberapa hal. Syukurnya, yang ditanyakan bukan lagi masalah hubungan Renjun dan Mark, sehingga dua remaja itu dapat bernafas lega hingga makan malam selesai.

"Duh, masakan istriku emang selalu enak." Kemudian Papa Damar mengecup pipi Mama Nita tanpa tahu malu.

"Ih, Papa!"

"Astaga, Papa nggak tau malu, ya!" Renjun ikut menyahut kesal, sedangkan Mark tertawa keras.

"Oh, iya. Pa, Ma, abis ini Garen mau langsung pulang, nggak apa-apa, kan?"

Mama Nita menatap Mark khawatir, ya meski baru jam delapan kurang, tetap saja namanya ibu-ibu pasti khawatir,"Nggak mau nginep aja?"

"Enggak, Mah. Kasian Bunda nanti di rumah sendiri." Padahal Mark hanya alasan. Ia sudah menduga kalau akan diminta menginap.

"Yaudah, sini peluk dulu."

Pun Mark tetap menuruti Mama Nita dan memeluknya,"Makasih makannya, Mama Nita. Makasih juga udah ngelahirin Nata."

"Apa, sih. Kayak mau ngapain aja ngomongnya."

Begitu pelukan terlepas, Mark beringsut memeluk Papa Damar,"Duh, Garen bakal kangen Papah. Kayaknya nggak bakal bisa main lagi sampek selesai ujian nanti." atau mungkin selamanya.

Pelukan keduanya terlepas,"Ngga apa-apa, yang penting fokus ujian dan dapet kampus bagus."

"Nata, sana anterin pacar kamu ambil barang."

"Iya, Ma."

Begitu Mark menoleh pada Renjun, bocah itu sudah melenggang ke arah kamarnya di lantai dua. Mark penasaran sekali bagaimana rupa Renjun ketika ia memeluk Mama Nita dan Papa Damar, namun tetap bergerak untuk mengekor.

Begitu keduanya sampai di kamar, Mark buru-buru merapikan baju-bajunya. Renjun sendiri hanya duduk di pinggiran kasur tanpa mengatakan apapun. Rupanya suasana saat hanya berdua begini ternyata sangat canggung.

"Celananya kakak cuci dulu baru dibalikin."

Renjun mengangguk dalam diam.

"Sama satu lagi, Nat." Renjun mendongak, mengamati wajah Mark ditengah suasana kamarnya yang remang-remang,"Kamu kayaknya harus cepet bilang ke Mama sama Papa kalau kita udah putus. Nggak baik kalo bohong begini."

"Iya. Aku pasti bilang. Maaf, kalo hari ini ngerepotin kakak."

Mark mengangguk,"Iya, nggak masalah."

"Kalo gitu satu lagi juga."

"Apa?"

"Nggak jadi." Renjun menggeleng kencang,"Ati-ati di jalan."

Mark mengangguk singkat meski benaknya penuh dengan rasa penasaran, ia mencoba abai.

"Nggak usah dianter. Kakak pulang."

Renjun mengangguk, maniknya mengamati sosok Mark yang hilang dibalik pintu kamar. Bersamaan dengan daun pintu yang tertutup, Renjun mengubur diri dalam tumpukan bantal kemudian menangis dalam diam, rupanya lukanya masih belum sembuh.

to be continued

memetik asa • markrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang