Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
↳ Mark dihinggapi rasa penasaran dan khawatir berlebihan. Pukul setengah sembilan tadi, ia melihat Renjun dalam gotongan tiga sekawannya, tak lama di susul salah satu guru matematika paling galak di sekolah. Ia hanya sempat melihat keributan itu beberapa detik kala mereka melewati pintu kelasnya dalam langkah terburu-buru.
"Garen! Ren!" Suara itu terdengar setengah berbisik.
Mark melongok ke belakang dengan alis bertaut,"Apaan!?"
Duh, Mark sedang berpikir. Jangan di ganggu dulu! Makhluk dengan garis keturunan Jepang belakangnya ini kadang suka menyebalkan.
"Ya ampun, kasar banget."
Laki-laki? Oh, jelas bukan! Mana mungkin suara imut dan manis begitu bisa disebut laki-laki, apalagi dilengkapi rambut hitam yang tergerai apik.
"Buruan."
"Nanti istirahat pertama, ke taman, yuk."
"Ajak yang lain aja."
Semenjak masuk semester terakhir kelas dua belas, Mark selalu terganggu dengan kehadiran Mina. Awalnya, tentu mereka baik-baik saja, bahkan berteman, namun makin lama ia makin dibuat iritasi dengan kehadiran si gadis blasteran.
"Ih, kenapa?"
Mark tidak menjawab. Daripada menanggapi Mina, lebih baik ia memperhatikan guru yang sedang menjelaskan di depan. Tidak ingin memperpanjang percakapan diantara mereka. Untuk apa pula?
——
Mark segera melarikan diri begitu bel istirahat berbunyi tepat pukul sepuluh kurang lima belas, tidak ingin sedikitpun memberi kesempatan Mina kembali mengajaknya bicara. Sejak melihat Renjun tadi, ia gundah sendiri.
Semalam Renjun baik-baik saja, waktu berada di kamar sebelum Mark pulang, Renjun juga masih sehat. Lalu, dari manakah datangnya penyakit hingga menumbangkan Renjun seperti tadi?
Mark menutup pintu di belakangnya begitu memasuki ruangan dengan tirai-tirai tinggi dan jajaran kasur bersprei putih. Rupanya ia tidak menyadari telah melangkah kemari. Disibaknya satu-satunya tirai yang tertutup dan masuk kesana.
Renjun tengah tertidur damai dalam balutan selimut lorek-lorek ala rumah sakit, dahinya berkerut dan penuh keringat. Masih dapat dilihat oleh Mark, hoodie abu-abu yang membungkus tubuh kecil Renjun hingga tenggelam. Sebenarnya Mark yang menyarankan Renjun membeli hoodie itu.
Mark kemudian duduk di tepian ranjang, menyeka dahi Renjun dengan tisu dari atas meja sembari mengamati setiap gurat lelah di wajah yang lebih muda, namun siapa sangka Renjun akan membuka mata?
Renjun berujar dengan suara tipis,"Kakak?"
Mark gelagapan, buru-buru di sembunyikan tangan yang tengah memegang tisu,"T-tidur lagi aja."
Meski kelihatan lemah, Mark dapat menangkap anggukan pelan Renjun.
"Tapi temenin disini." Kemudian tangan Renjun menyelip dikempitan lengan Mark, hanya meletakan tangannya disana tanpa mencoba menggamit sesuatu untuk di genggam.
Mark-lah yang memindah tangan kecil Renjun ke sela jemarinya, bibirnya menyunggingkan senyum maklum,"Iya."
"Maaf, aku belum bilang ke Mama."
"Nggak usah dipikirin dulu."
Jelas, sekarang Mark tahu darimana datangnya demam Renjun. Meski begitu, ia tetap diam, mengamati Renjun yang akhirnya terlelap.
Mark memang tidak mengerti alasan Renjun merahasiakan putusnya hubungan mereka dari sang Mama. Dan bila diingat pula, sejak awal mereka tidak pernah dengan gamblang mengatakan kalau mereka sepasang kekasih pada orang tua masing-masing. Hanya karena Mark dan Renjun suka menghabiskan waktu bersama, kemudian spekulasi orang tua mereka berakhir pada; oh, mereka pacaran.
Ya, sudah, mari lupakan sejenak bila mereka bukan lagi sepasang kekasih, melainkan dua orang yang berubah asing, kokoh berdiri dibalik tirai bersama rahasia yang mereka genggam erat. Atau coba tanyakan pada Mark, mungkin saja ia menyimpan sesuatu.
to be continued
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.