Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
↳ Renjun kehilangan kesempatan, ia tak sempat mendengar alasan Mark bisa memukul Jaehyun di tengah pertandingan karena Mama Rara sudah datang ke sekolah. Pun ia sebelumnya sempat bilang kalau Mark 'tidak ingin, maka tidak perlu'. Jadi mungkin saja Mark sebenarnya tidak berniat bicara dan terbuka pada Renjun, lagian Renjun ini siapa, sih!?
Perjalanan keduanya menuju ruang kepala sekolah bisa dibilang sangat lambat, apalagi setiap pasang mata akan menatap keduanya (atau lebih tepatnya pada Mark) dengan sorot penasaran. Setidaknya wajah Mark terlihat jauh lebih baik meskipun dihinggapi plester luka.
Begitu keduanya sampai di depan ruang kepala sekolah, keadaan kembali terasa menegangkan akibat Pak Hanung, sang guru olahraga yang sempat membentak Mark di ruang kesehatan tadi. Beliau menunggu di depan pintu dengan wajah garang dan tatapan menusuk. Meski reaksi tersebut tidak ditujukan pada Renjun, ia tetap merasa takut.
"Terimakasih sudah mengantar Garen, Nata."
Renjun mengangguk gagu,"Tidak masalah, Pak."
Pak Hanung bungkam, kemudian meminta Mark mengikutinya masuk dengan isyarat mata dan dituruti oleh Mark tanpa protes.
"Kakak—" Renjun menggamit ujung jemari Mark lemah, entah mengapa batinnya berseru tak tenang.
Mark mengulas senyum tipis, ada perasaan tulus di matanya,"Nggak apa-apa. I'll tell you the reason why when I'm ready, Nat."
"O-kay." kemudian keduanya terpisah oleh pintu.
Renjun tidak ingin mengambil kesimpulan secara gegabah, apalagi ia tidak berada di tempat kejadian selama perkara terjadi, tapi salahkah kalau ia merasa menjadi salah satu alasan Mark dan Jaehyun bertengkar.
"Bengong mulu!"
Renjun tersentak kaget, kali ini tangannya mengayun ringan menuju lengan Haechan,"Ngagetin, ih!"
Pada dasarnya Haechan memang suka tiba-tiba muncul dan Renjun akan selalu terkejut.
"Bara sama Iki kemana?" tanya Renjun begitu tidak dirasakan kehadiran kedua sahabatnya yang lain.
Alih-alih menjawab, Haechan malah merangkul—setengah menyeret—Renjun menuju tongkrongan mereka, halaman samping, dekat rumah kaca,"Mereka udah nunggu di tongkrongan."
——
"Nah, akhirnya dateng juga." Jaemin bangkit dari posisi tidurannya begitu melihat Haechan dan Renjun sampai, sedangkan Chenle sudah hilang dalam dengkuran lirihnya. Halaman disini memang penuh dengan rumput segar dan sangat terurus, jadi tidak masalah pula bila tidur di tanah.
"Kenapa, sih?" tanya Renjun ketika mereka sudah duduk.
Jaemin menunjuk Haechan dengan dagunya,"Nala katanya mau julid."
Renjun terkekeh geli,"Kamu ngajak kesini cuma buat julid, Nal?!"
"Masalahnya, ini bukan julid biasa, Nat!" Haechan merengut kesal. Baginya, cerita yang ia bawa kali ini adalah hal penting dan ia sangat tersinggung apabila diremehkan begini.
"Ya udah, buruan." ujar Renjun, ia masih tertawa akibat ekspresi kesal Haechan yang sebenarnya menggemaskan.
"Ini Iki gimana?" Jaemin menyela, pandangannya terarah pada Chenle yang tertidur lelap di dekat mereka.
Haechan mengibaskan tangannya,"Biarin aja. Dia kan suka tiba-tiba tau, padahal juga nggak ada yang ngasih tau."
"Btw ini mungkin bakal nyinggung kamu, Nat, tapi aku beneran nggak tahan kalo disuruh diem." Haechan melemparkan tatapan khawatir pada Renjun,"Aku dapet beritanya dari Kak Radit."
Renjun mengerjap cepat,"Kenapa emang!?"
Baru sekitar satu jam yang lalu ia bertemu dengan Changbin, apa iya Changbin ingin menyebarkan soal ia yang berduaan dengan Mark di ruang kesehatan?
"Eh," Jaemin menepuk paha Renjun pelan,"tapi kamu tau kan siapa yang tadi berantem?"
"Tau, kok. Kak Jaya sama Kak Garen, kan?"
Renjun tentu sangat tahu, apalagi sempat melihat sosok Jaehyun yang sudah duduk di ruang kepala sekolah dalam keadaan yang tidak berbeda jauh dengan Mark.
Haechan mengangguk membenarkan,"Tapi janji jangan terlalu dibawa kepikiran abis aku bilang gini."
Gantian Renjun yang mengangguk,"Iya, nggak bakal."
"Aku denger ini dari Kak Radit," Haechan melanjutkan,"Dia yang ada di lokasi dan deket banget waktu Kak Jaya sama Kak Garen hadep-hadepan, ya walaupun nggak deket banget, sih. Tapi yang jelas dia yang jadi saksi. Waktu itu bolanya di tangan kak Jaya dan walaupun nggak terlalu jelas, Kak Radit sempet denger Kak Jaya nyebut namamu sebelum akhirnya Kak Garen mukul dia. Kak Radit juga nggak berani kira-kira, tapi dia cukup yakin kalau mereka emang melibatkan kamu dalam match basket ini. Maksudku melibatkan ya, bawa-bawa perasaan."