BAB 24

5.2K 944 69
                                    

🌿🌿🌿

Hari demi hari berlalu. Murid-murid baru tak bisa disebut baru lagi. Mereka mulai terbiasa dengan kehidupan mereka. Mendengar suara Engku Bram yang lantang dan memekakkan telinga setiap menjelaskan dasar ilmu sihir tanah, kelembutan Encik Flo dengan wajahnya yang semakin hari semakin menghipnotis murid-muridnya, pak Darka yang telah mengenalkan senjata demi senjata tradisional, Encik Inem yang sering marah-marah dan menghukum murid tukang onar, Encik Besse yang setiap kali mengajar selalu menceritakan masa lalunya, kucingnya, juga neneknya yang hobi makan kulit salak. Engku Agam yang hobi datang terlambat dan muncul tiba-tiba dari bawah meja, langit-langit, lemari di sudut, sampai menunggangi elangnya menerobos masuk ruangan Aiho.

Ketujuh anak di Candi Tellu juga berubah banyak. Setelah apa yang Encik Mina katakan pada mereka membuat mereka fokus mempelajari sihir mereka dengan elemen masing-masing. Tentunya secara sembunyi-sembunyi. Mencari tahu malalui buku-buku dan mempelajari praktik penerapan ilmu sihir secara illegal karena murid tingkatan satu masih dilarang mengeluarka kekuatan sihir. Tetapi sihir yang ketujuh anak ketahui benar-benar terbatas. Mereka tak sepandai yang diduga. Masih terlampau jauh untuk melawan Berong yang dikisahkan mengerikan. Bagaimana tidak, ketujuh anak itu tidak tahu pasti memulai dari mana, dan karena tak ada guru mereka jadi berlatih dengan metode sendiri. Sembari menunggu apa yang ingin Encik Mina tunjukkan.

Ayu memperbaiki tali sepatunya, ia menggerutu berulang kali karena ruang tengah kotor penuh dengan tinta cat. "Bas, tak bisakah kau mengerjakan tugasmu sedikit lebih baik?" katanya lembut.

Bastian semalaman belajar membatik karena tak ingin dimarahi lagi. Dia tertidur di kursi sebelum Drio membangunkannya dan ia lari terbirit-birit ke kamar mandi dan berteriak... "Ampuni aku Encik... Aku akan menambah kain lagi."

Sontak saja itu membuat Nala tertawa terpingkal-pingkal.

"Ada-ada saja anak itu."

"Siapa?" tanya Drio meraih canting yang tergeletak di lantai.

"Bastian, teman karib sepenuh hatimu."

"Kenapa dia?"

"Dia..." Nala memutar bola mata. Menghela napas dan meraih tasnya.

Drio bukannya sengaja. Dia memang anak yang lemot kalau soal berpikir dan mengolah kata. Sangat sulit bercanda dengannya, itu hanya akan menggantungkan humormu dan membuatmu tak selera membuat lawakan kedua kalinya. Tetapi kalau kau melempar batu raksasa ke wajahnya dia bisa spontan menahan dengan lengan besarnya.

"Apa ini?"

Suara itu terdengar dari pintu keluar. Nala, Ayu dan Drio mendekat.

Tanra memperlihatkan kepada mereka sebuah kotak berwarna hitam.

"Apa ya isinya...." gumamnya menatap keempat temannya yang lain.

Dibukanya kotak itu dan...

BOOOMMM!!

Meledak.

Mereka semua terlonjak dan menahan napas.

"A-apa itu barusan?" tanya Drio dengan napas sengal saat ketiga temannya yang lain tanpa berbasa-basi menghampiri sisa kotak yang hangus.

Potongan surat masih nampak utuh. Nala meraihnya hati-hati.

Mereka bertiga membacanya.

Sansien Sansien Sansin

"Apa maksudnya?" tanya Ayu, setelah membaca pelan tulisan itu.

Nala mengangkat kedua bahu.

"Apapun itu, ini bukan sesuatu yang baik. Aku pernah membaca buku Meren Meren Benda Misterius. Katanya kalau ada benda misterius di depan rumah dan tiba-tiba meledak, itu berarti pertanda akan adanya musuh."

[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang