BAB 48

4.1K 811 33
                                    


🌿🌿🌿


Dengan napas sengal Bastian tiba di menara. Mengambil teropong langsung pergi ke teras. Memandang langit malam dan menyorot sebuah awan di langit penuh bintang.

Dapat!

Awan itu adalah awan kembang gula manis yang dikatakan Engku Agam.

Bastian mengeluarkan alat peniup mini pemberian Encik Mina dari sakunya. Alat itu bernama Bambu Petuk, yang ukurannya hanya sebesar jari jempol manusia, dengan ukiran deru angin di tiap sisinya.

Bastian lalu mendongak ke arah sang awan dan meniupnya.

Hening.

Angin sepoi berhembus. Terdengar juga suara-suara berisik yang mengudarayang berasal dari anak-anak Faunal di halaman belakang Terhon, mereka sedang menyiapkan projek untuk membentuk spesies mamalia baru tahun ini.

Bastian mendongak lagi. Kembali menyorot dengan teropong. Ia tersenyum tatkala meliat gumpalan awan kembang manis berubah bentuk.

Tunggu...

Awan itu mendekat. Bastian bisa melihat dari balik teropongnya, semuanya abu-abu dan saat ia menurunkan teropong, awan kembang manis sudah berada dihadapannya dan membuatnya lenyap.

Tubuhnya diangkat naik ke udara.

Bastian dengan bingung memandang berkeliling. Tak percaya bahwa dia benar-benar mengambang di udara. Gumpalan awan putih di bawahnya terhampar, itulah awan Metzo. Sementara diperhatikannya kakinya berpijak di gumpalan yang berwarna agak merah muda, awan Kembang Gula atau legenda menyebutnya dengan sebutan ibu dari awan Metzo.

Saat Bastian membuka mulut, angin bertiup dan ada rasa manis di lidahnya.

Bastian tahu sekarang mengapa awan ini disebut kembang gula.

"Dia sudah datang!"

Bastian menoleh. Matanya sontak terbelalak. Diperhatikannya dengan jeli siapa yang berbicara dengannya. Tak ada sosok makhluk pun. Namun ada dua gumpalan seperti asap yang mendekat ke arahnya. Satu berwarna keabuan dan satunya putih.

Gumpalan itu berada dihadapan Bastian sekarang.

"Halo Nak!"

Terkejut Bastian. Matanya menelisisk mencari-cari sumber suara.

"Apa kau bisa dengar suaraku?!"

Bastian menelan ludah. Apa yang harus dilakukannya?

Maka jadilah dia mengangguk.

Dihadapannya adalah angin-angin yang berputar seperti puting beliung. Tidak cukup bagi Bastian untuk berpikir tentang itu sebelum sang udara hitam memutar mengelilingi tubuhnya.

"Aku Tuing"

Kemudian berganti dengan udara warna putih.

"Teang."

Bastian tahu jika kedua angin itulah yang berbicara kepadanya.

"Apa yang membawamu kemari anak muda?" tanya Teang, dengan suara yang agak berisik.

"Aku ingin mencari petunjuk."

"Hah?! Dia mendengar kita Teang?" Tuing terkejut. "Apa jangan-jangan dia..."

"Orang terpilih. Sama seperti orang-orang terpilih lainnya saat menemui kita sebelumnya," sambung Teang. "Kenapa kau terkejut?"

Terjadi pertengkaran kecil antara Teang dan Tuing. Karena memang tak sembarangan orang yang bisa mendengar suara mereka, hanya mereka yang punya pendengaran 250 hertz hingga 50.000 hertz yang bisa mendengar angin itu berbicara. Pendengaran yang sama seperti anjing. Itulah alasan mengapa anjing di Archipelagos sering menggonggong di pagi dan malam hari, karena saat pagi Tuing turun ke Archipelagos sementara saat tengah malam giliran Teang.

[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang