BAB 44

4.6K 796 165
                                    

🌿🌿🌿

Menu hari ini adalah papeda. Makanan khas daerah timur Nusantara yang berupa bulatan berlendir, terbuat dari sagu. Dimakan bersama sayur-sayuran hijau.

"Kau pasti bahagia San," kata Ayu seraya memasukkan sesendok papedanya ke dalam mulut.

"Tentu saja dia bahagia, si pecinta binatang pasti suka makan sayur-sayuran. Dan kau? Penyihir tanaman yang malah tega memakan tanaman." Bastian berceloteh memancing emosi.

Ayu ingin menggeplak kepala pria itu dengan tangan mungilnya, atau mencecokinya dengan sambal dihadapan, tetapi niatnya berhenti saat Nala berdesis pada mereka semua.

"Sepertinya semua orang melihat kita sekarang."

"Sekarang? Kau tak tahu Nal, setiap jam makan mereka memang selalu melihat kita." Bastian menimpali. Dia menepuk jidat saat melihat kedua alis Nala terangkat. "Pria ini, dia sumber masalahnya."

Tangan Bastian dengan entengnya menunjuk Lexan, tanpa rasa bersalah.

Ya, orang-orang sejak awal sudah mencuri pandang kepada laki-laki itu. Seorang selebriti di dunia luar dengan segala ketenaran dan perlindungan penuh malah menjelma jadi manusia biasa dan mendapatkan perlakuan setara dengan yang lain. Tetapi walau sudah sedekat itu untuk diraih, tak ada satu pun yang berani bahkan hanya sekedar bertegur sapa. Lexan tetap jauh. Dia dingin, berbicara seperlunya dan terakhir kali orang terkejut saat dia membela Nala di pelajaran membatik. Isu buruk mulai tersebar. Sepertinya itu alasan kenapa Nala baru merasakan tatapan kepada Lexan itu menjalar ke dirinya.

Apakah mereka berdua punya hubungan spesial?

"Kalau aku terkenal macam Lexan, mungkin aku akan menulis buku... tentang apa gitu. Pasti laku keras."

"Kau juga terkenal Tan," timpal Ayu. "Gara-gara juara olimpiade itu."

"Ah ya... mungkin bisa ya menerbitkan buku. Tetapi para penulis bukan orang sembarangan, merangkai kata dan menciptakan alur yang hidup bukan hal yang mudah. Aku salut dengan karya-karya Cangkang Siput, aku penasaran siapa orang dibalik namanya," kata Tanra.

"UHUK!!!" Sanja tersedak.

"Tetapi mungkin aku bisa menerbitkan buku tentang mekanika kuantum," sambung Tanra.

"Omong-omong bagaimana rasanya menjadi orang terkenal?" tanya Drio, yang sedari tadi diam karena menikmati dua mangkuk papedanya. "Lexan, seorang selebriti ternama, Bastian atlet bulu tangkis legenda, dan Tanra anak tercerdas seantero negeri."

"Ya... bagaimana rasanya ya?" Nala menimpali.

Sementara Ayu dan Sanja mengangguk ragu. Berpura-pura seolah mereka berdua bukan orang terkenal. Padahal Ayu dengan jutaan subscribernya dan Sanja yang telah menulis 8 buku dan telah terjual lima ratus ribu eksemplar.

"Sangat meresahkan pastinya," kata Bastian.

"Betul," sambung Tanra. "Ada untung dan ruginya sih. Ruginya kita akan kelelahan, pernah sekali aku datang ke toko buku dan seorang anak kecil perempuan berusia delapan tahun berteriak memanggil namaku. Semua orang jadi berkumpul dan meminta foto. Untungnya... kita menerima banyak cinta."

Semua orang antusias dan menyetujui itu.

"Ngomong-ngomong mau kuberitahu info menarik?"

Bastian berujar, membuat semua orang penasaran dan hampir saja Ayu memukulnya dengan sendok karena ia terus-terusan menunda bicaranya.

"Tadi kudengar di ruang olahraga kalau Lexan akan mewakili golongannya untuk pertandingan Takrow semester ini."

"Wah benarkah?" tanya Nala antusias, mengalihkan pandangannya pada Lexan yang tersenyum kikuk.

[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang