🌿🌿🌿
Hari kedua. Dari tempat kering bertebing dipenuhi bebatuan beralih ke air laut dengan pantai dipenuhi tanaman bakau dan pohon kelapa. Juga rumah-rumah dengan atap berbentuk kapal terbalik serta tanduk-tanduk kerbau yang rapi tersusun di tengah tiang.
Rumah Tongkonan. Rumah untuk murid golongan Wae yang mengendalikan air.
Encik Besse, wali golongan ini membawa murid-murid melewati padang rerumputan cokelat yang kiri-kanan dipenuhi pohon lontara. Menuruni tangga, sebelum tiba di pantai. Tempat ini juga punya tebing, tetapi tebingnya menghadap ke lautan dan syukurlah jalanannya tak semenantang kemarin.
"Tenri, bawa mereka berkeliling," pinta Encik Besse kepada perempuan manis berkulit sawo matang, ketua golongan Wae.
I Tenri bertubuh kecil tetapi suaranya sangat lantang menghalau gemerisik ombak yang menyapu pantai. Jangan bayangkan pantai di sini seperti pantai pada umumnya. Pantainya memang berpasir putih, tetapi sangat tebal denga nada batu karam yang menghalau ombak besar dan sekitar dua puluh meter dari pemukiman. Saat pagi hari, pemukiman mereka jadi mendung karena tebing besar yang menghalau matahari, dan saat sore, pemukiman mereka akan terpapar cahaya jingga yang memanjakan mata. Sekitar empat puluh meter ke arah selatan, kalian akan melihat kumpulan tanaman bakau yang memanjakan mata dan juga penangkaran lumba-lumba air tawar.
Tenri membawa anak-anak melihat rumah Tongkonan. Dia bercerita tentang sejarah rumah tongkonan, rumah yang didirikan untuk mengenang nenek moyang yang bekerja sebagai seorang pelaut. Rumah ini di dunia nyata tidak bermukim di pantai tetapi di gunung, yang biasanya digunakan untuk menyimpan mayat suku Toraja yang diawetkan dengan proses pembalseman. Sementara di Archipelagos rumah tongkonannya masih sama bentuk atapnya hanya saja ukuran runah di sini lebih besar 4 kali lipat.
Cerita itu membuat murid-murid bergidik, dibayangkannya rumah tongkonan seperti tempat yang pengap dan berbau pengawet. Tetapi tidak di Archipelagos. Tak ada mayat.
Seperti yang dikatakan Tede, ketua golongan Fangin kemarin. Setiap murid berhak menghias isi rumah mereka sendiri. Begitu juga di golongan Wae.
Rumah tongkonan sangat berbeda dengan rumah honai. Di bawah rumah tongkonan tak ada ruangan, hanya ada empat tiang penyangga. Sejenis rumah panggung. Di dunia nyata biasanya dibawah rumah itu dibuat tempat duduk dari bambu yang disebut bale-bale. Tetapi di sekolah sihir ini, murid-murid menghiasinya jadi lebih menarik seperti rumah tongkonan pertama yang para murid baru kunjungi. Dipenuhi dengan banyak benda laut. Seperti kerang, mutiara, kristal, batu karang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)
ПриключенияTELAH TERBIT | LENGKAP Ada sekolah sihir di Nusantara? Amazing cover by @daynosaur__ Di Nusantara telah berdiri sebuah sekolah sihir tersembunyi yang didirikan pada abad keenam sebelum masehi. Sekolah itu bernama Archipelagos. Sebuah sekolah terleta...