BAB 49

3.7K 763 34
                                    

🌿🌿🌿

Lahir tanpa kehadiran sosok ibu membuat Nala seringkali iri pada Ayu yang bercerita tentang bagaimana ibunya membuatkan sarapan untuknya atau dengan memberitahukan bagaimana kehidupan di Archipelagos saat Ayu masih kecil. Suatu privelege yang berharga. Terlahir sebagai Japa.

Nala berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan dan mengubur dalam-dalam rasa cemburu itu. Walaupun dia sendiri adalah anak yang tak suka ada pikiran dan rasa mengganjal di kepala. Dia percaya bahwa jika ada yang tertahan di pikiran, harusnya diluapkan, termasuk emosi.

Makanya dia bisa memarahi Encik Juria tempo hari dan itulah sebabnya mengapa ia ditempatkan di Agni.

Nala keras kepala dan penuh rasa ingin tahu. Maka membuncahlah rasa penasarannya untuk mengetahui apa isi buku itu. Buku sialan yang apabila dibuka menyemburkan api.

Dia tak tahu harus bertanya pada siapa lagi. Ia telah mengirimkan empat surat kepada Encik Mina dua bulan ini dan tak ada jawaban. Sementara Tanra, dia bilang dia cuma tahu tentang naga hitam yang ditemui Nala tempo hari. Tak ada yang lain lagi.

"AKU TAHU!! AKU SUDAH TAHU CARA MENGENDALIKAN UDARA!"

Suara teriakan yang cukup memekakkan telinga itu terdengar dari arah ruang tengah membuat Nala dan teman-temannya yang lain yang baru saja terbangun langsung keluar dari kamar.

"Ada apa Bas?!" tanya Tanra, mengucek matanya sambil memasang wajah masam. "Ini masih pagi dan ka—" Tiba-tiba Bastian memeluknya. Menepuk pundaknya membuat rasa ngantuk pria itu langsung hilang. "Ada apa kau ini?"

"Aku sudah bertemu dengan angin-angin milik pendiri Dolok di langit Tan..."

"Sepertinya dia baru saja mimpi buruk," timpal Ayu dengan wajahnya yang berwarna hijau muda karena masker daun.

"Bastian mendekati Ayu dengan tersenyum-senyum, gelagatnya seperti pria penggoda, senyumnya terlihat sangat menjengkelkan mengundang siapa saja untuk menamparnya.

"A—ku jadi duta shampoo... Hahaha aku sudah tahu Ay, aku sudah tahu..."

Ayu memutar bola mata dengan kedua tangan menyilang di dada. "Dasar bocah prik!"

Ayu melangkah ke kamarnya namun tiba-tiba terhenti karena suara Lexan.

"Bastian sepertinya sudah bertemu dengan peliharaan pendiri Dolok."

"APA?!!!"

Semua mata yang semula sayu langsung membulat. Mereka mendekat dengan penuh antusias. Jadilah Bastian si pendongeng andal yang ceria menceritakan semuanya tentang kejadian semalam. Sampai akhirnya pria itu menyadari ia belum pernah tidur. Ditutupnya ceritanya dengan tawa. Pergi ke kamar dan tidur nyenyak setelah hampir berbulan-bulan mimpi buruk dalam kegelisahan.

Maka kini tinggal Nala.

Dia tak tahu harus menemui siapa untuk mendapatkan petunjuk. Kalau saja ibunya masih hidup, mungkin semuanya akan berbeda. Ia akan meminta solusi pada ibunya untuk ini.

Tunggu dulu...

Ibu?

Sesosok orang terlintas di pikiran Nala. Saat matahari mulai meninggi, perempuan itu pergi ke Terhon. Lebih tepatnya ke Wurung. Tempat yang dipenuhi lukisan batik berbagai warna.

"Mau kemana Nal?" tanya Sanja. Sekaligus mewakili teman-temannya di Candi Tellu yang lain.

"Ke Wurung. Kalian tahu kalau urusanku dengan Encik Juria belum selesai, kan?"

"Tahu. Tetapi bagaimana dengan misi kita?" tanya Tanra.

Nala menghela napas berat. "Belum ada petunjuk. Aku masih berpikir, dan semoga saja aku menemukannya. Encik Mina bilang orang terpilih sebelum kita, melawan Berong belasan tahun lalu. Nah, saat itu, Encik Juria sudah jadi guru dan ibuku masih hidup. Mungkin saja dia tahu sesuatu."

Mendengar itu keenam anak di Candi Tellu akhirnya membiarkan Nala pergi. Karena Nala memang sudah frustasi. Tak ada petunjuk sama sekali yang ia dapatkan. Paling tidak dia berusaha, jadi Tanra tak memarahinya macam bagaimana ia memperlakukan Bastian sebelumnya.

Nala tiba di Wurung dan membuka pintu tanpa permisi.

"Encik Juria, maaf boleh kita bicara empat mata?"

Encik Juria tidak merespon.

"...Anda berteman dekat dengan ibuku, kan? Anda pasti tahu tentangnya."

"Aku tak ada waktu," kata Encik Juria dingin, menaikkan kacamatanya, lalu melemparkan pandangannya kepada Nala dengan dingin. "Keluarlah dari sini atau kau tak akan kululuskan karena melanggar peraturan 61 tentang membangkang terhadap guru, juga nomor 46 tentang privasi guru dan terakhir 54 masuk ke ruangan tanpa ijin."

"Tetapi Encik..."

Encik Juria bangkit, tatapannya semakin sinis seraya berjalan ke depan mejanya dan melipat tangannya di depan dada. "Nala Gayatri. Sadarlah karena nilaimu sekarang hanyalah nilai standar. Persoalan masalah kita kemarin, aku sudah mencabut tuntutan tentang membangkangnya murid saat jam pelajaran. Dan soal kehadiranmu, cuma enam puluh persen. Jangan berpikir aku baik, aku melakukannya karena tak ingin melihat wajahmu lagi semester depan. Jadi kumohon dengan sangat keluarlah sebelum aku berubah pikiran," sergahnya kembali terduduk di kursi hidrolik dan memeriksa kain batik.

Nala semakin kesal. Padahal dia hanya ingin tahu tentang ibunya, namun perempuan tua dihadapannya langsung berceloteh tidak jelas tentang peraturan.

"Berubah pikiran? Oh Encik Juria, anda tidak akan mungkin lupa telah menjelek-jelekkan ibuku. Itu masalah berat bagi seorang guru, kan?"

Encik Juria mendongak, tersenyum miring. "Cih, kau benar-benar mirip dengan ibumu yang ambisius, keras kepala, penuh rasa penasaran dan tak tahu sopan santun. Asal kau tahu nak, aku sudah menerima hukuman akan itu. Bukan hukuman ringan dan kalau kau tahu, kurasa itu cukup membuatmu memaafkanku Nala."

"Tidak, tidak akan cukup."

Encik Juria menghela napas berat, dia benar-benar kesal sekarang. "Aku tak ada waktu berdebat sekarang, katakan saja apa yang kau inginkan."

Nala tersenyum miring.

"Masih seperti pertanyaan awal, anda tahu tentang ibuku, kan?"

"Tahu."

"Tolong ceritakan apa saja yang anda ketahui darinya."

"Ambisius, keras kepala, penuh rasa penasaran dan tak tahu sopan santun. Bercerminlah! Kau akan tahu bagaimana dia."

"Ada yang lain?

"Hanya itu."

"Bohong!! Anda pernah jadi sahabatnya tetapi dengan tiba-tiba membencinya, bahkan sampai anaknya yang tak bersalah ini. Aku penasaran. Pasti anda iri, kan?"

Rasa kesal yang benar-benar kesal mulai menghampiri Encik Juria. Dia tak lagi bicara, tangannya yang gemetar memencet tombol di meja.

Hening.

Tak berselang lama para Pajaga masuk ke ruangan itu.

"Bawa perempuan ini keluar dari ruanganku!!"

Nala menggeleng, namun mau tidak mau dia keluar dari ruangan beraroma dupa itu.

🌿🌿🌿

DON'T FORGET TO VOTE ARCHIS()💚


Bagi Archis yang mau join grup telegram.

Silahkan join lewat link ini ya

t.me/Archipelagosindonesia

Kalau belum bisa bisa chat pribadi aja

Disana kita bahas banyak soal Archipelagos.

[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang