BAB 35

5.2K 855 109
                                    


🌿🌿🌿

Saat pelajaran Membatik yang penuh ketegangan berakhir, Ayu dan temannya yang lain menghampiri Encik Flo di Tanggak. Dia sedang sibuk menyirami bunga pukul empat yang daunnya berwarna keperakan hasil persilangan genetiknya berhasil lagi.

Ayu menyampaikan kepada Encik Flo bahwa ia telah memberikan Lexan ramuan penurun demam.

"Apa Lexan sudah baikan saat kalian meninggalkannya?" tanya Encik Flo pada keempat anak muda yang berdiri dihadapannya.

"Demamnya belum turun saat kami meninggalkannya pagi tadi," kata Bastian, mengambil gulali yang Encik Flo tawarkan, gulali yang sama yang dibawa Ayu pagi tadi. Ternyata, golongan Enau baru saja mengadakan pesta musim semi di pemukiman mereka.

"Harusnya sih sudah turun kalau cuma demam biasa."

"Ini semua salahku Encik Flo." Ayu bergumam. "Kukira dia cuma demam biasa..."

"Kau tidak salah Ay," bela Tanra menoleh ke Encik Flo, menelan ludah. "Sebenarnya Lexan semalam berlatih dengan..."

"Angin Muson Timur," sambung Encik Flo, menggeleng. "Murid golongan Ranang memang beberapa yang berlatih dengan angin itu walau sudah berkali-kali dilarang. Demam itu akan sembuh dengan sendirinya, tak perlu memberinya ramuan... Ay, apa kau tak membaca buku tentang sumber-sumber demam?"

Dengan pelan Ayu menggeleng.

"Kusarankan kau membacanya. Karena sebagai ahli medis, kita tak boleh gegabah memberi pasien obat-obatan yang salah. Syukurlah karena ini demam, bagaimana kalau penyakitnya berat. Apalagi penyakit kulit, wah bisa fatal."

Perasaan bersalah semakin menghampir Ayu. Dia benar-benar merasa gegabah. Tetapi teman-temannya yang lain tak membuatnya merasa bersalah. Mereka malah lega karena tahu kenyataan kalau Lexan akan baik-baik saja. Mereka kembali ke Candi Tellu dan mendapati Nala sedang makan sup di ruang tengah.

"Bagaimana keadaannya?" Sanja bertanya seraya menaruh nokennya di kursi.

"Dia sedang tidur, demamnya sudah turun. Syukurlah, sepertinya terjadi keajaiban."

"Bukan keajaiban," ucap Tanra. "Kata Encik Flo Lexan baik-baik saja. Demam karena Angin Muson Timur yang diajaknya berlatih semalam bisa sembuh sendiri tanpa perlakukan. Cuma butuh waktu."

"Benarkah?" Nala menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu."

Namun tak berapa lama, Nala melihat wajah murung di wajah Ayu. Ayu masuk ke kamarnya tak berbicara apa pun dan menangis di dalam. Dia merasa sangat bersalah. tak bisa diandalkan di waktu dia harusnya diandalkan. Matanya memandang ke arah terrarium. Bahkan lebah yang menusuk punya manfaat memindahkan sari bunga ke bunga lain.

Nala menoleh pada teman-temannya yang lain saat Ayu menghilang dari balik pintu. "Apa yang terjadi padanya?"

"Dia merasa bersalah," kata Drio sembari mengunyah salak yang ada di bakul meja. "... karena telah salah mengobati Lexan. Padahal itu bukan masalah besar."

"Mungkin karena Encik Flo menegurnya untuk banyak belajar. Tidak sembrono mengobati orang lain. Teguran itulah yang melukai hatinya."

Menjadi tenaga medis bukan hal yang mudah. Nala tahu betul itu. Dia merasa kasihan melihat Ayu sekarang. Tetapi Nala juga setuju kepada Encik Flo. Mungkin begitulah caranya mendidik agar jadi tenaga medis yang ahli.

🌿

Malam yang dingin, sepi, dan hanya semilir suara pohon Hariara yang terdengar. Lexan terbangun dari tidur panjangnya. Tubuhnya kembali bugar. Matanya memandang ke jam dinding. Pukul satu. Dia menggeser selimut dan menyadari di sebelahnya ada Tanra terlelap. Tertidur di kursi dengan kepala bersandar di atas kasur sambil menghisap jempol. Di lantai ada Drio yang mendengkur serta Bastian yang tidur setengah kayang dengan bantal di punggungnya.

[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang