BAB 45

4.8K 813 111
                                    

🌿🌿🌿

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌿🌿🌿

Pukul sebelas lewat empat belas menit tengah malam.

Drio keluar, tanpa obor di tangan. Cahaya bulan di atas sudah cukup baginya untuk mengendap memasuki rumah honai utama di pemukiman Fangin.

Ia berjalan melewati tangga yang berundak-undak tinggi. Kemudian memasuki pintu di sebelah selatan dan mengambil obor di sana. Melewati lorong bawah tanah.

Kembali dibacanya buku itu. Ada sebuah tulisan sansekerta yang artinya carilah di ujung paling dasar.

Pria itu melompat. Semakin di bawah, semakin gelap dan sempit. Berbeda dengan orang kebanyakan yang akan ketakutan kalau-kalau ada serangga atau binatang tanah. Ditambah suasana yang mencekam. Drio malah menyukainya, karena aroma tanah semakin tercium.

Sementara obor yang dipegangnya mulai kehabisan

Ujung jalan buntu. Dia melihat buku sekali lagi.

Dorong dasar hitam sekuat tenaga.

Ditendangnya dinding penghalang di hadapannya.

Ruangan lain terbuka. Sebuah ruangan yang dikelilingi puluhan patung ebu gogo yang masing-masing obor.

Drio tersenyum. Dia tak salah lagi. Dalam buku yang dipegangnya memang tertulis :

Patung-patung ebu gogo mengelilingi. Mari bermain!

Drio merasa beruntung memiliki teman macam Tanra. Dia pernah mendengar temannya itu bercerita tentang makhluk bernama Ebu Gogo. Ebu Gogo adalah makhluk seperti manusia yang muncul pada mitologi penduduk pulau Flores, Indonesia. Mereka punya bentuk yang mirip dengan kurcaci dan kera. Memiliki tinggi satu meter, ditutupi rambut, periuk-berperut, dan dengan telinga yang menjulur. Mereka berjalan agak kikuk dan sering "berbisik" yang dikatakan sebagai bahasa mereka. Penduduk pulau Flores juga berkata bahwa Ebu Gogo dapat mengulangi apa yang mereka katakan.

Drio menenggak ludah.

Ini waktunya membangunkan mereka, pikirnya.

Dia duduk di tengah. Mengeluarkan Akik Combong Hijau langka dari sakunya. Tangan kanannya diletakkan di lutut kanan sementara tangan satunya mengangkat berlian itu tinggi. Setelah itu ia menutup mata.

Tiba-tiba tanah di sekitaran bergerak. Para Ebu Gogo yang sebelumnya mematung langsung bergerak meruntuhkan bebatuan yang melengket di tubuh mereka. Makhluk kerdil itu terbangun dari tibur panjang. Berlari mengelilingi Drio dan bernyanyi-nyanyi dengan nada yang aneh sekali.

Aooee...Aoeee...Aooeee.

Mata Drio membuka.

"Kau... kau... s-ssiappa?"

"D-ddiaa ssiapa?"

"Kau... s-ssiaappa?"

Suara desisan itu terdengar jelas di telinga Drio. Dia jadi seperti makanan yang aromanya dihirup oleh makhluk kelaparan yang tak makan sebulan.

[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang