BAB 47

3.9K 793 67
                                    

🌿🌿🌿

Bastian merenung di tempat paling tinggi di Archipelagos. Menara Aiho.
Membuktikan apa yang Tanra katakan bahwa anak itu sedang bermain-main saja tidak benar. Dia juga sama seperti temannya yang lain, mencari tahu rahasia dibalik buku pemberian Encik Mina dengan sembunyi-sembunyi. Bedanya, Bastian hanya berpura-pura seolah ia tidak peduli.

Jika buku milik Nala punya masalah mengeluarkan bara api, buku milik Bastian sendiri kosong. Benar-benar kosong. Tak ada sepatah kata pun di dalam lembarannya

Dengan napas berat, Bastian mengeluarkan buku itu dari dalam tasnya. Baru ada satu hal yang Bastian ketahui tentang buku itu. Saat dihirup aromanya akan mengeluarkan bau mint dan oksigen tambahan yang membantu pernapasan.

Sekarang pukul 9 malam. Dengan helaan napas berat dan wajah lesu nan datar dibukanya buku itu. Rupanya masih sama, tak ada apa pun di dalamnya. Maka dengan langkah berat ia memutuskan turun. Mengitari tangga spiral dengan penerangan pelita serta tanaman menjalar di kiri-kanan jalan. Juga beberapa kunang-kunang mengudara.

Untungnya ini masa-masa ujian. Pelajaran telah berakhir. Jadi anak-anak bebas kemana pun. Termasuk Terhon. Bahkan murid-murid tingkatan atas ada yang bermalam di perpustakaan.

Bastian menundukkan pandangan saat tiba di bawah, memasang tudung jaketnya dan berjalan dengan lesu. Menuju ke tempat terasing.

Bastian pergi ke belakang candi utama yang mengarah ke Utara. Tempat yang sama saat Tanra dalam masa-masa beratnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Bastian mengusap matanya, sontak menoleh.

"Sanja?!"

"K-kau habis menangis."

"Hahaha... tidak kok. Oh i-iya, aku habis menangis melihat matahari terbenam, ta-tadi."

"Melihat sunset? Ini sudah jam sembilan. Kau bohong."

Bastian tertawa getir.

Sanja menghembuskan napas. "Ketika hidup kita berat, bahkan untuk hal sepele pun kita bisa menangis." Sanja berjalan dan mendudukkan badannya tepat di sebelah Bastian. Kaki mereka berayun-ayun mengudara. "Aku bisa melihat topeng itu, topeng yang kau pasang di wajahmu," katanya.

Mata Bastian terbelalak. Sebelum kembali fokus.

"Apa yang k-kau katakan? Hahaha..." gumam Bastian dengan nada bergetar, dia benar-benar tak tahan lagi untuk mengeluarkan air matanya.

"Menangislah! Aku tak akan melihatmu."

Air mata itu tumpah begitu saja. Dan bertambah sakit saat ia berusaha menahan agar suaranya tak keluar.

Sanja menutup kedua telinganya. "Keluarkanlah isakan itu, sungguh aku tak akan mendengarnya."

Maka jadilah Bastian menangis seperti anak kecil.

Wajah mereka terpapar sinar rembulan. Menjadi saksi kedua pedihnya kehidupan anak itu menahan segalanya.

🌿

Dalam perjalanan pulang ke candi, mata Bastian sudah memerah. "Jangan ceritakan kejadian ini pada siapa pun," pintanya.

Sanja mengangguk. "Syukurlah kau Bas, aku tak banyak bicara."

Bastian tertawa kecil, senyum kembali tergurat di wajahnya. "Omong-omong kenapa kau bisa tahu aku ada di sana?"

"Tadi aku ada projek akhir bersama anak Faunal yang lain dan dalam perjalanan pulang melihatmu turun dari tangga, kau habis dari Aiho, kan?"

[TERBIT] ARCHIPELAGOS 1 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang