Saga terduduk di kursi yang berada di balkon kamarnya, matanya menatap langit yang dipenuhi dengan taburan bintang.
Fikirannya melayang pada Jingga, entah mengapa bayangan senyuman manis Jingga selalu menghantuinya. Saga tersenyum ketika imajinya mulai melayang kemana-mana, saat dia dan Jingga menjadi sepasang kekasih nantinya, manisnya Jingga saat bermanja-manja pada Saga, senyuman manis yang akan selalu ia lihat setiap hari, hal-hal seperti itu sudah lumrah menghinggap di kepala Saga.
Meskipun ia seringkali mendapat penolakan dari Jingga, tapi entah mengapa bukannya marah Saga malah semakin gencar berusaha untuk mendapatkan Jingga. Baginya itu sebuah tantangan untuknya, di saat perempuan lain rata-rata mengejarnya, hanya Jingga yang terang-terangan menolaknya, itulah yang membuat Jingga istimewa di mata Saga.
Ia yakin suatu hari Jingga akan membalas perasaannya, hanya bersabar, tetap berusaha lalu mengikuti alur. Karena Saga yakin jika usaha tak akan pernah menghianati hasil, tetapi dengan catatan jika usaha tersebut dilakukan dengan semaksimal mungkin.
"Bang!"
"Abang, lo di mana?" suara lembut Senja terdengar.
"Abang!"
"Di balkon."
"Eh, di sini lo Bang." Saga bergeser saat Senja duduk di dekatnya tepat di samping Saga.
"Ngapain lo ke kamar gue?"
"Eh, kenapa emangnya? Nggak ada larangan juga buat nggak boleh masuk ke kamar lo!"
"Cewek masuk kamar cowok nggak wajar, malam-malam gini lagi," ucap Saga pelan.
"Dih, kayak sama siapa aja. Lo kan abang gue, kalau lupa nih gue ingetin. Gue punya kembaran, nama abang gue Saga dan adik kembarnya itu cewek namanya Senja, cewek yang paling imut dan cantik sejagat raya." Saga melirik kembarannya.
"Pede banget lo," cibir Saga.
"Nggak apa-apa pede yang penting gue jodohnya Lembayung." Senja menyengir.
Dalam hati, Saga sedih karena melihat adiknya pura-pura bahagia seperti ini. Saga merasa sangat kesal pada dirinya sendiri, dia merasa gagal menjadi abang untuk Senja, dia tak bisa membuat adiknya bahagia.
"Lo kenapa sih? Mukanya datar bener," tanya Senja.
"Ditolak sama Jingga lagi?" tanya Senja lagi.
Saga menggeleng.
"Lo jangan terlalu mikirin Lembayung, fikirin juga kesehatan lo." Saga megacak rambut Senja.
"Tapi mikirin Lembayung itu sebuah kebahagiaan buat gue!"
"Sembuh dulu baru fikirin Lembayung lagi."
"Kalau gue nunggu sembuh duluan, bisa-bisa Lembayung udah diembat sama yang lain," canda Senja.
Saga menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Senja.
"Kenapa lo nggak kasih tahu Bayung aja soal penyakit lo?" Saga menatap wajah adiknya dari samping.
"Gue nggak mau Lembayung khawatir, biarin aja nanti dia tau sendiri." Senja menatap Saga yang kini tengah menatapnya.
"Percaya diri banget lo kalau Bayung bakalan khawatir," sinis Saga.
Terdengar kekehan keluar dari mulut Senja, setelahnya hening tidak ada yang berbicara mereka sibuk dengan fikiran masing-masing.
Senja dengan fikirannya yang melayang pada Lembayung, berharap laki-laki itu mengetahui penyakit yang di derita Senja, berharap agar Lembayung mau membuka mata dan hatinya untuk Senja. Hanya Saga dan kedua orang tuanya yang mengetahui penyakit Senja, bahkan Jingga yang sebagai sahabatnya pun tidak mengetahui soal penyakit Senja. Sengaja Senja menyembunyikannya, dia tak ingin dirinya dianggap penyakitan oleh semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBAYUNG (End)
Teen FictionKepergianmu banyak mengajarkan hal baru bagiku, cara menghargai, dan betapa berharganya kamu dalam hidupku. Note: siapkan tissue, mojok, dan siap-siap baper!