12. Ancaman Agan

10.1K 1K 298
                                    

Jingga sudah siap dengan seragamnya. Hari ini dia memakai seragam pemberian dari Lembayung kemarin.

Gadis itu tengah sarapan pagi tentunya bersama Raka dan Nessa. Sesekali ia membayangkan kembali kejadian kemarin, saat ia memeluk Lembayung, rasanya ia ingin sekali kejadian tersebut terulang kembali.

"Jingga," panggil Nessa.

"I-iya ma?"

"Mikirin apa sih? Dari tadi Mama liat kamu melamun terus."

"Nggak apa-apa kok, Ma."

"Kemarin kata Papa kamu pulang telat, kenapa? Dicariin lho kamu sama Papa. Besok-besok kalau mau main dulu kabarin Mama, atau nggak Papa," peringat Nessa dengan nada tak bersahabat.

Jingga menghela nafas, kemudian mengangguk.

'Emang kalau Jingga ngabarin Mama. Mama bakalan peduli gitu?' batin Jingga.

"Lagian kamu ngapain sih pergi main-main gak jelas kayak gitu. Emangnya kamu punya teman? Palingan Saga, Senja, atau Lembayung. Iya kan?"

"Ness!" peringat Raka.

Raka menatap tajam Nessa, sedang Nessa balas menatap Raka, kemudian mengangkat bahunya acuh.

Jingga tersenyum, padahal Nessa belum tau apa-apa tetapi sudah menyimpulkan sendiri.

"Iya, Ma," jawab Jingga.

Ucapan Nessa barusan benar-benar membuat selera sarapan Jingga hilang seketika, rasa sakit hati kembali menjadi sahabatnya, bahkan orang yang seharusnya menjadi sahabat sekaligus ibunya yang lebih menyakiti dirinya bukan orang lain.

Jingga buru-buru menghabiskan sarapannya.

"Kamu berangkat bareng Papa? Atau mau pesenin ojol?" tawa Nessa.

"Kenapa nggak kamu aja yang anterin?" ucap Raka tanpa menoleh. Lelaki itu tengah mengambil ponsel dan memencet layar beberapa kali.

"Aku nggak bisa. Lagi ada urusan penting."

"Urusan penting apa? memangnya ada yang lebih penting selain anak?"

Nessa berdecih, lihatlah betapa sopannya Raka, menjawab perkataan Nessa dengan tidak menatap lawan bicara, sungguh tak sopan.

"Ka! Kamu nggak bisa ngebandingin pekerjaan sama anak."

Nessa menatap Raka jengkel, selalu saja suaminya ini membandingkan pekerjaannya.

"Aku nggak ngebandingin cuma berbicara fakta aja kan? Memangnya kamu merasa? Baguslah kalau begitu."

Nessa menatap ke arah lain. Raka memang selalu bisa membuatnya naik darah setiap saat, itulah yang membuat Nessa terkadang sangat malas jika harus berbicara dengan suaminya.

"Jingga bisa berangkat sendiri kok," ucap Jingga menengahi.

Selalu saja begini, Papa dan Mamanya selalu beradu argument. Raka yang keras kepala, dan Nessa yang selalu merasa jika ialah yang paling tau, paling sibuk dan paling benar. Perkara kecil saja mereka selalu ributkan.

"Kamu berangkat bareng Papa," ucap Raka.

"Kalau udah selesai tunggu di mobil. Ada yang mau Papa bicarain sama Mama kamu."

Huh. Jingga hanya bisa mengangguk dan mendesah pasrah.

Jingga mencium punggung tangan Nessa. Tak ada ciuman kening maupun pelukan hangat dari Nessa, Nessa bahkan mengulurkan tangannya dengan malas-malasan.

Jingga melangkah dengan lesu, tak ada semangat pagi dari orang-orang yang di sayanginya. Sampai di dalam mobil Jingga langsung memejamkan matanya, mulai membayangkan aktivitas yang seharusnya ia lakukan bersama Nessa dengan Raka di pagi hari. Mulai dari ciuman di pagi hari, omelan karena telat bangun, kecupan di kening saat akan berangkat sekolah, kemudian melihat betapa romantisnya kedua orang tuanya. Sayangnya itu hanyalah sebuah angan-angan saja.

LEMBAYUNG (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang