28. bentakan Varel.

209 18 3
                                    

Hi! Everyone!

Happy reading!:)

***

Hana mendongak, menatap anak laki-laki yang berada di depannya. Ia segera berdiri, tubuhnya menghadap Varel.

“Berhenti ikut campur urusan gue. Dan tolong! Untuk hari ini, gue lagi mau sendiri. Jadi, gue mohon sama lo. Tinggalin gue.” Hana menatap manik mata Varel sendu.

Varel terdiam.

'Tolong jagain Nana ya. Dia anak nya mudah rapuh. Walau terkadang, kalau di lihat baik-baik saja.'

Apakah saat ini Hana sedang rapuh? Lihatlah wajahnya, tidak ada senyumanan disana. Matanya sembab dan bibir nya pucat. Apa yang terjadi dengan Hana.

“Na, lo sakit?”

Hana berdecak. Ia melangkah pergi meninggalkan Varel. Hana butuh kesunyian dan ketenangan.

“Na.” Varel menggenggam pergelangan tangan Hana. “Lo ada masalah?”

Hana membalikan tubuhnya. Ia menatap Varel datar. “Ga usah ikut campur. Gue bisa nyelesain masalah gue sendiri.”

“Lo nggak tau cara nyelesain masalah. Karena lo, selalu merasa mampu buat ngelakuin sendirian. Lo bersikap baik-baik aja, tapi nyatanya? Lo rapuh.” Varel lekat manik mata Hana.

“Dasar tukang sok tau!” Hana berusaha menarik pergelangan tangannya.

“Bukannya kenyataan ya?” Varel menarik tangan Hana. Membuat tubuh Hana, spontan mendekat.

“Gue mau sendiri Rel!” Hana menepis tangan Varel. “Lo nggak bisa ngelarang gue! Lo bukan siapa-siapa di hidup gue. Jadi stop ikut campur!”

“Lo bener, gue bukan siapa-siapa di hidup lo.” Varel mengambil nafas dalam. “Tapi, kita makhluk sosial! Kita juga butuh bantuan dari orang lain! Hidup kita saling berdampingan satu sama lain. Semua makhluk itu lemah di hapan-Nya. Jadi, jangan ngerasa mampu ngehadepin semua masalah sendiri. Lo punya Tyas, lo bisa cerita sama dia.”

“Keadaannya beda Rel! Lo nggak akan pernah tau!” mata Hana mulai berkaca-kaca.

“Gimana gue mau tau? Lo aja nggak mau cerita.”

“Buat apa gue cerita! Lo nggak akan ngerasain apa yang gue rasain.” Hana menjeda kalimatnya. “Perasaan kita, hanya di rasakan oleh diri kita sendiri. Jadi, buat apa gue cerita ke orang lain. Mereka nggak akan paham perasaan gue!”

Nafas Hana tidak beraturan. Walau nada nya terdengar biasa saja, tapi emosi dan juga perasaannya berkecamuk.

“Apa lo pernah cerita ke orang lain? Sahabat? Temen?” Hana bungkam. “Belum pernah kan? Terus, dengan se-enaknya lo buat keputusan. Kalo mereka nggak bisa ngertiin perasaan lo.” 

“Rel! Dari kecil, gue hidup di tengah-tengah labirin yang sama sekali nggak ada pintu keluarnya.” Hana membuang wajahnya ke arah lain. “Gue selalu ngerasa di bunuh perlahan pake pisau yang tumpul. Gue nggak mati, tapi gue ngerasa sakit.”

“Semua labirin punya pintu keluar. Termasuk labirin punya lo. Elo hanya perlu cari pintu itu.”

Hana membalikan tubuhnya. Pikirannya terlalu lelah jika harus berdebat dengan Varel saat ini. Hana hendak melangkah pergi. Tapi, tiba-tiba, kepalanya terasa berat, pandangannya mengabur.

Tes

Benda cair berwarna merah menetes dari hidung Hana. Hana mengusap hidungnya, memastikan kalau itu memang berasal dari hidungnya atau bukan. Pandangannya semakin mengabur, kakinya tidak mampu menopang tubuhnya lagi. Dan akhirnya.

RELEASE [Completed]✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang