Serena baru mengetahui di mana Sabiru bekerja. Selama ini yang dia dengar dari Nadine, jika dirinya hanya bekerja tapi tidak menyebutkan apa pekerjaan Sabiru.
A prosecutor.
Pekerjaan yang selalu menimbulkan konflik, dari yang dia tahu tentang seorang jaksa itu tugasnya menyampaikan dakwaan atau tuduhan pada saat proses pengadilan terhadap orang yang di duga melanggar hukum.
Pantas saja sikap Sabiru tegas dan serius. Serena tidak pernah bertemu langsung atau masuk ke dalam pengadilan, kecuali dia melihatnya di saluran tv atau berita acara yang di tonton oleh papanya setiap hari.
Kalau kebanyakan jaksa itu wajahnya sangar-sangar dan tidak ada senyum di wajah mereka. Berbeda dengan Sabiru yang sangat manis. Mau itu dalam bersikap dan bicara.
Sabiru manis terhadap siapapun.
Termasuk kepada Serena.
Sabiru tegas. Tapi, kenapa dengan hubungannya dia tidak bisa bersikap tegas? Seharusnya dia bisa mengendalikan Nadine seperti dia mengendalikan para saksi-saksi di tempatnya bekerja.
Cinta terkadang membuat orang-orang lemah.
Oh iya! Lupa.
Satu yang Serena ketahui lagi. Mama Sabiru bernama Serina, nama yang hampir sama seperti namanya.
Sekarang, hari sudah malam. Sabiru meminta ijin pada kedua orang tuanya untuk mengantar Serena kembali pulang ke rumah.
"Terima kasih ya, sayang. Sudah mampir dan memberikan kado untuk Tante. Kapan-kapan datang lagi ya ke sini. Temani Tante." ujar Siren setelah melepas pelukannya.
"Sama-sama Tante... Sekali lagi selamat ulang tahun ya, Tante. Kalau begitu Serena pulang dulu," dia menyalim tangan papa Sabiru, "Om, Serena pulang dulu ya."
"Hati-hati ya. Makasih sudah datang,"
Serena tertawa ketika papa Sabiru mengedipkan sebelah mata ke arahnya. Membuat Siren dan Sabiru menggeleng kepala.
"Aku antar Serena dulu ya." pamitnya segera menuntun Serena menuju mobil.
Baru setengah perjalanan tiba-tiba hujan turun. Membuat Serena beralih menatap hujan lewat kaca jendela mobil.
Dan seperti dejavu mobil Sabiru tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Mereka pernah merasakan ini sebelumnya, mobil mati di saat hujan deras.
Serena menoleh mendapati Sabiru yang juga sama menatapnya. "Mas ingat?" tanyanya.
Sabiru mengangguk. "Dejavu ya?" dia tertawa, "Tapi, sekarang mogok, bukan ban pecah. Sebentar." Sabiru menoleh ke belakang, menyalakan lampu untuk melihat apakah dirinya membawa payung atau tidak.
"Kenapa mas?" tanya Serena ketika mendengar Sabiru mendesis.
"Aku lupa bawa payung." lirihnya. Serena menahan tawa melihat raut wajah Sabiru saat ini. Lucu.
Serena berdehem. "Tapi kita tidak mungkin di dalam sini sampai pagi kan?"
"Seems like i've heard this before," ucapnya di selingi tawa.
Serena tersenyum. Iya, waktu itu juga dia berkata seperti tadi. Malam ini benar-benar seperti dejavu , merasa mereka kembali di saat pertama kali bertemu.
"Tutup kepala pakai jaket saja. Tuh, jaket mas kan bahan parasut. Jadi kita tidak akan basah."
"Kita?" tanyanya.
Serena mengangguk, "Aku yang akan memegangnya di luar."
"Kamu yakin?"
"Dari pada di sini?" ujarnya.
Sabiru langsung membuka jaketnya. Serena menelan ludahnya. Dengan cepat Serena merebut jaket Sabiru. Dan segera keluar menutup kepalanya memutari mobil, membukanya agar Sabiru segera memasukkan kepalanya ke dalam jaket.
"Seharusnya aku yang keluar tadi," serunya.
Serena tertawa tanpa menjawab, menuntun Sabiru dengan sabar membuka bagian depan mobilnya. Serena memajukan dirinya agar mesin mobil Sabiru tidak kemasukan air hujan. Itu akan menjadi masalah besar kalau sampai kena.
"Sudah!" ujar Sabiru setelah selesai membenarkan mesin mobilnya.
"Kayaknya sudah harus di bawa ke bengkel tuh." candanya.
"Kamu benar. Aku sudah jarang membawanya ke bengkel."
Serena tersenyum. Muncul ide untuk mengerjai Sabiru. Perlahan dia menjauhkan jaket di atas kepala mereka lalu menjatuhkannya ke bawah. "Uppss..." Serena sengaja bersalah.
Lalu, di luar dugaan. Serena pikir Sabiru akan memarahinya. Sabiru tertawa, jenis tawa yang dalam dan keluar dari hati. Matanya lalu menatap Serena. "Kamu berani mengerjaiku ternyata."
Serena mengangkat kedua jarinya sambil menyengir. "Piss..."
Sabiru tertawa lagi. "Kamu suka hujan?"
"Banget!" ujarnya semangat. Seakan Sabiru harus tau kalau dia sangat menyukai hujan. Kesempatan itu tidak di abaikan oleh Sabiru. Dia memanfaatkannya untuk membalas mengerjai Serena. Dia membalikkan badan Serena agar membelakanginya. Mengangkat tubuh Serena, dan memutarnya membuat Serena berteriak histeris di perlakukan seperti ini oleh Sabiru.
"Maaaaasss!" teriaknya. Tapi, Sabiru justru semakin memutar tubuhnya. Serena hanya bisa diam, menutup mata dan menahan debaran jantungnya.
"Mas! Becandanya keterlaluan!" kesalnya. Justru membuat Sabiru tertawa karena wajah cemas Serena.
"Masih mau ngerjai aku?" Sabiru menunjukkan tampang seram.
"Tidak! Aduh... Perut aku mual." Jantung aku juga mau keluar.
"Baru di gituin aja mual. Apa lagi..."
"Apa sih, mas? Tidak lucu!" Sabiru tertawa sangat keras. Serena benar-benar sangat lucu. Wanita itu bahkan tidak tahu caranya marah. Mungkin, menurutnya tadi itu dia marah. Tapi, yang di dengar Sabiru justru bukan seperti marah. Melainkan seperti anak kecil yang merengek karena habis di kerjain oleh teman-temannya.
Oh god ... I really can't help it. batin Serena seraya memegang dadanya yang berdebar hebat.
Untungnya... Hujan bisa menutupi rasa gugupnya saat ini. Dia harus berterima kasih pada hujan. Karenanya, sudah membuatnya semakin dekat dengan Sabiru.
Dan membuat jantungnya berdebar kencang...
I like hear his laugh.
Selamat membaca 🌷
Aku senyum-senyum saat menulisnya hahaha...Jangan lupa vote and coment . Big hug 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Had No Choice (Completed)
RomancePercaya tidak? Jika cinta datang karena terbiasa bertemu? ***Tokoh, tempat, nama, latar belakang. Semuanya hanya fiksi. Tidak nyata. Jika mendapati ada kesamaan. Itu hanya ketidak sengajaan yang dibuat oleh penulis***