/25/

501 32 2
                                    


Pagi hari, Sabiru terbangun dengan perasaan senang. Dia tersenyum saat terbangun dari tidurnya. Hari ini, hari Minggu. Dia tidak ada kesibukan lain selain berada di rumah seharian.

Sabiru menyingkap selimutnya. Duduk dan menyisir rambutnya ke belakang. Mengecek ponselnya sebentar untuk melihat jam. Dia memilih turun ke bawah menemui mamanya.

Dari bawah Siren melihat putranya turun seraya mengucek matanya. Dia tersenyum menyambut Sabiru. Menyuruhnya duduk di kursi makan.

"Kolak?" tanya Sabiru ketika melihat kolak ubi yang masih mengepulkan asap  buatan mamanya di atas meja.

"Kalo kamu mau makan nasi tunggu sebentar. Mbak Yuni masih menyiapkannya."

Sabiru menggeleng. "Pasti papa yang suruh?" tebaknya.

Siren mengangguk. "Jangan kebanyakan nanti kamu nggak bisa makan nasi lagi." kata Siren memperingati Sabiru.

"Enak..." dia mengangguk-angguk.

"Kamu sibuk hari ini?" tanya Siren tiba-tiba.

"Tidak. Hanya dirumah." jawabnya.

Siren tersenyum. "Bagaimana kabar Serena?" tanya Siren.

"Kabarnya baik."

"Bisa dong kamu suruh dia ke rumah. Mama masak banyak hari ini."

Sabiru langsung menatap mamanya. Mengerutkan dahi. Dia heran. Kenapa mamanya tiba-tiba membahas Serena dan menyuruhnya ke rumah? Tidak biasanya.

"Jangan berpikir macam-macam dulu. Kan sudah lama juga Serena nggak main kesini."

Ini aneh. Nadine yang biasa dia bawa kemari saja tidak pernah di tanyakan.

"Nanti aku coba tanya ke dia. Tapi, kalo dia tidak bisa, mama jangan maksa ya." dia hanya belum siap jika harus bertemu Serena lagi hari ini. Setelah kejadian tadi malam membuat otaknya tidak bisa berpikir tenang.

"Mama rasa, dia wanita yang baik." kata Siren lalu menepuk lengan Sabiru. "Apa dia bisa masak?" tanyanya.

Sabiru mengangguk. "Kayaknya bisa."

"Kok kayaknya?"

"Karena dia sudah beberapa kali memasak untukku. Dan pas aku sakit juga dia masak---" oke... Sabiru keceplosan. Ini akan jadi pertanyaan untuk mamanya.

"Memasak untuk kamu? Kapan kamu sakit? Jadi, pas kamu sakit dia kemari?" tanya Siren.

Sudah Sabiru duga. Salahkan bibirnya yang asal ceplos menjawab mamanya tadi. Dia berdehem memastikan tidak ada yang tersangkut di tenggorokannya.

"Hanya beberapa kali..."

"Kapan kamu sakit? Kenapa mama nggak tau kalo kamu sakit."

Sabiru mengambil tissu lalu mulai menyeka mulutnya. "Pas mama sama papa ke luar kota subuh-subuh." dia sudah ketahuan. Maka lebih baik tidak usah lagi membohongi mamanya.

"Kamu curang!" diluar dugaan Sabiru. Dia kira mamanya akan marah.

"Mama tidak marah?" tanyanya.

"Untuk apa mama marah?" tanyanya. "Jadi, kamu sakit. Dan Serena datang, gitu?"

Sabiru mengangguk. Dia melihat ke arah tangga. Papanya sedang mengarah ke arah mereka. Siren yang melihat suaminya datang itu langsung sigap menyiapkan kursi untuk suaminya lalu menyuruh suaminya duduk.

"Papa tau nggak?"

"Nggak tau. Kan papa baru datang." katanya membuat Sabiru menahan tawanya.

Siren menepuk bahu suaminya. "Iih. Papa nih ya! Nih mama kasih tau... Jadi, Sabiru itu kemarin sakit terus di bawain makanan sama Serena."

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang