"Kalo kamu suka sama cowok. Kamu merasa nyaman berada di dekat dia. Jantung kamu juga berdebar. Coba kamu tatap mata dia dalam-dalam. Setelah itu kamu akan tau apakah kamu menyukai dia atau tidak."
Tidak! Ini tidak mungkin Serena... Ini salah. Sangat salah!
Perasaan aneh ini.
Benar-benar nyata.
Serena tidak bisa menahan debaran hebat dari jantungnya. Berdetak lebih kencang tidak seperti biasanya. Kali ini. Dia merasa. Jantungnya akan keluar. Jika saja Sabiru tidak melepaskan pelukannya.
Seperti di adegan film yang biasa Serena tonton. Ketika sang wanita jatuh lalu si pria menangkap, maka detik itu juga, seakan waktu berhenti. Dan mengijinkan mereka saling tatapan. Dalam. Tanpa berkedip.
"Maaf," lirih Sabiru.
Serena terdiam. Seharusnya tadi. Dia tidak sok-sokan naik kursi untuk mengambil stok gula di lemari bagian atas. Seharusnya dia bisa berteriak meminta tolong pada Sabiru untuk mengambilnya. Bukan memberanikan diri dan akhirnya jatuh karena posisi badannya yang tidak seimbang.
Boleh Serena jujur? Dia ingin mengulang adegan tadi. Adegan saat Sabiru menangkap dirinya. Menjatuhkan tubuh dalam dekapan Sabiru. Bolehkah di ulang lagi?
Tapi itu tidak mungkin. Karena mereka sudah saling berlawanan tatap. Sabiru menoleh ke kiri, Serena ke kanan. Tanpa Sabiru sadari kalau Serena hampir serangan jantung di buatnya. Begitupun dengan Sabiru. Dia merasa ada yang aneh pada dirinya.
"Gulanya tidak ada. Hari juga sudah siang. Aku pulang dulu ya, mas." kata Serena.
"Pulang?"
Serena mengangguk. "Sudah hampir sore."
"Tidak mau makan dulu?"
"Tidak usah, mas. Di rumah saja." Serena reflek memegang dahi Sabiru. "Panasnya udah mendingan. Habis ini kalo mas mau mandi, pakai air hangat ya. Jangan pakai baju hangat. Pakai baju biasa aja. Makanannya jangan lupa di makan. Obat juga, dan istirahat."
Sabiru diam. Serena begitu perhatian kepadanya. "Makasih ya."
"Mas sakit karena aku. Besok-besok aku pastiin tidak akan buat mas sakit lagi." katanya.
Sabiru tersenyum. Tangannya sudah gatal dari tadi ingin mengacak rambutnya. Tapi, di urung. Dia lebih memilih menjawil hidung lancip Serena. "Kamu tuh aneh ya? Masa sakit karena kamu, sakit tuh ya karena memang badan aku lemah. Berhenti nyalahin diri kamu, Serena."
"Terserah. Yang penting hubungi aku kalau ada apa-apa. Oke? Udah aku mau pulang." katanya sambil berjalan menuju sofa tempatnya meninggalkan tasnya tadi. Lalu berbalik menoleh Sabiru yang sudah berdiri di dekatnya.
"Tidak usah di antar. Biar aku yang tutup pintunya nanti." katanya langsung berlalu.
Saat Serena akan membuka pintu, Sabiru memanggilnya. "Serena..." dia menoleh.
"Makasih ya." Sabiru tersenyum, melambaikan tangannya pada Serena.
Serena membalas senyumnya singkat. Secepat kilat dia keluar dan menutup pintu. Memegang dadanya di belakang pintu.
Sabiru memiliki senyum yang bisa membuat orang serangan jantung. Seperti Serena.
Mama benar.
Tapi tidak mungkin! Dia menggelengkan kepalanya. Berlari masuk ke dalam mobil dan cepat menjalankannya. Dia ingin secepatnya sampai di rumah. Berendam di dalam bathtub memakai sabun aroma lavender. Agar dirinya menjadi lebih tenang dan relax.
Di rumah. Sabiru duduk melamun di sofa. Dia masih berada disini. Belum melakukan apa yang di suruh Serena. Dia termenung. Memikirkan ada apa dengannya hari ini.
Kenapa dia tidak mau Serena pulang?
Kenapa jantungnya berdebar?
Mata itu... Mata Serena.
Mata yang menatapnya sampai menembus iris matanya. Hidung yang lancip, bibir tipis, Serena memiliki wajah yang tergolong imut dan manis.
Dan caranya perhatian tadi.
Sabiru menggelengkan kepalanya. Dia berusaha menyadari dirinya. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kejadian tadi. Murni ketidaksengajaan, dia hanya reflek, dan tidak ada maksud menyentuh Serena.
Dia harus sadar.
Ada hati yang masih dia jaga.
Nadine.
******
Huaaaa. Nggak jelas ceritanya. Tapi tetap mau up dan mau di baca oleh kalian.
Enjoy ya... Nggak suka skip aja gapapa. Asal tetep di vote. Oke? Terima kasih semua ❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
Had No Choice (Completed)
RomancePercaya tidak? Jika cinta datang karena terbiasa bertemu? ***Tokoh, tempat, nama, latar belakang. Semuanya hanya fiksi. Tidak nyata. Jika mendapati ada kesamaan. Itu hanya ketidak sengajaan yang dibuat oleh penulis***