Serena tidak menyangka jika butiknya hari ini di datangi banyak pelanggan. Dia bersyukur untuk hari ini. Di tambah kericuhan oleh Alvina yang terus-menerus berguyon entah apa maksud guyonan itu sampai-sampai mereka tidak sadar jika hari sudah sangat siang. Mereka juga melupakan makan siang mereka karena asik melayani pelanggan dan juga bercanda gurau.Seperti yang sudah Nadine katakan, baru saja Gina akan memesan makanan. Sahabatnya itu datang menyapa mereka dengan membawa dua kantong plastik berukuran besar. Bisa di tebak jika Nadine membawakan mereka makanan.
"Selamat siang semua..." sapanya seraya meletakkan dua plastik di atas meja.
Serena benar. Nadine datang membawakan mereka makanan, tebakkannya tidak pernah meleset jika urusan makanan.
"Tau aja kamu. Padahal kami baru saja mau pesan makanan." ujar Serena.
"Iya, mbak Nadine. Btw, mbak Nadine makin cantik aja nih." ujar Intan memuji Nadine.
Nadine tertawa, "Bisa aja kamu, Intan." dia menoleh kepada Serena, "Kita berdua makan di dalam aja ya. Ada yang pengen aku ceritain."
Serena mengangguk, lalu berpamitan kepada mereka untuk masuk ke dalam bersama Nadine. Serena tahu. Jika, Nadine bicara seperti itu pasti ada hal serius yang sudah terjadi pada sahabatnya.
"Jadi?" ujar Serena di sela menyantap makanan yang di bawa Nadine.
Nadine berdehem, dia minum terlebih dulu. "Tadi malam Sabiru ngajak aku makan di rumahnya."
"Loh. Bagus dong, Nad. Aku kira ada hal serius yang mau kamu bicarain."
"Ada mama sama papanya."
"Astaga, Nadine! Itu bagus untuk kamu. Jadi, apa masalahnya?"
"Mereka nyuruh Sabiru buat nikahin aku secepatnya."
Serena tersedak. Cepat, dia menerima air yang di berikan Nadine, "Nikah? Bagus dong, Nad. Apa coba yang kamu tunggu? Kamu sama mas Sabiru kan sudah lama juga hubungannya. Jadi, apa yang kalian tunggu lagi?"
Nadine mencebikkan bibirnya, "Masalahnya..."
"Kamu belum siap?" tebak Serena.
Nadine mengangguk lemah, apa yang di katakan Serena itu benar. Dia belum siap. Lebih tepatnya belum benar-benar siap. Apalagi membayangkan jika dirinya harus menikah dan mengurus Sabiru.
Serena tersenyum. Dia mengerti Nadine melebihi apapun, alasan Nadine belum siap karena dirinya masih sangat ingin mengejar karirnya. Juga, dirinya masih ingin bebas tanpa ada halangan. Tapi, bukankah tujuan orang pacaran itu adalah untuk menikah? Serena masih bingung dengan cara berpikir sahabatnya ini.
"Mau sampai kapan?"
"Kamu kan tahu, Ser... Aku bangun pagi aja susah, masak aja nggak bisa, ngurus diri aja masih kocar-kacir... Apalagi mau ngurus Sabiru? Aku belum mau membayangkan itu."
Serena menghela nafas, "Tapi, kan semuanya ada prosesnya, Nad, mas Sabiru juga pasti ngerti sama kamu."
Nadine menggeleng, "Mamanya kurang begitu suka sama aku."
"Apa lagi?"
Nadine mengangkat kedua bahunya, "Dari awal ketemu hanya papanya yang welcome sama aku."
Serena turut prihatin dengan sahabatnya, memang susah kalau Nadine tidak bisa akrab dengan calon mertuanya.
"Jadi, kamu maunya gimana?" tanya Serena. Dia sendiri tidak bisa memberi banyak nasehat. Dirinya saja tidak memiliki kekasih. Bagaimana, mau menasehati.
"Nanti malam Sabiru ngajak aku dinner."
"Aaah. Kamu beruntung, Nadine."
"Tapi, aku punya firasat buruk."
Serena mengerutkan dahinya, "Jangan berpikir macam-macam dulu kamu! Bisa saja kan mas Sabiru ngelamar kamu."
"Kalau dia ngelamar. Aku harus jawab apa?"
"Ya, jawab maulah, Nad. YaAllah... Kamu ni ya."
Nadine terkekeh, "Kamu aja deh yang pergi. Ngewakilin aku."
Serena tertawa. Kali ini tawanya cukup besar. Sampai membuat Nadine kesal.
"Maaf, tapi, aku sama sekali tidak percaya dengan ucapan kamu, Nad. Please deh... Yang serius dikit bisa kan?"
"Iiih! Aku nggak lagi bercanda, Sera... Aku serius. Kamu aja yang mewakili aku buat makan malam sama Sabiru."
"Jangan bercanda!"
"Aku serius!"
Serena mencari letak kebohongan dari mata Nadine. Wanita itu benar-benar aneh kalau apa yang dikatakannya serius.
"Aku mau kamu yang makan malam sama Sabiru. Ini permintaan aku, kalau Sabiru marah. Aku yang bakalan tanggung jawab."
Serena mengangguk, lebih tepatnya dia sangat ingin menolak. Tapi, Nadine kalau sudah serius dia tidak akan menarik kata-katanya.
"Ini beneran, Nad? Aku? Nanti mas Sabiru berpikir yang tidak-tidak terhadap aku."
Nadine menggeleng, dia menggenggam kedua tangan Serena meminta tolong. "Tolong aku, kali ini aja."
"Terus... Bagaimana dengan kamu?"
"Aku di rumah. Lagi banyak kerjaan."
Serena menghela nafasnya, "Baiklah... Ini yang terakhir ya? Jangan di ulangi lagi!"
"Janji!" Serena mengangguk. Dia terpaksa mengiyakannya, walaupun sangat berat hati untuk menyetujui ide gila Nadine.
********"
Masih mau lanjut? Kalian enjoy aja bacanya...
Aku membuka kesempatan buat kalian untuk menyampaikan pendapat atau kritikan ya... Jangan lupa vote. Terima kasih...Sampai berjumpa di next part... See you.
![](https://img.wattpad.com/cover/227307316-288-k844105.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Had No Choice (Completed)
RomancePercaya tidak? Jika cinta datang karena terbiasa bertemu? ***Tokoh, tempat, nama, latar belakang. Semuanya hanya fiksi. Tidak nyata. Jika mendapati ada kesamaan. Itu hanya ketidak sengajaan yang dibuat oleh penulis***