/18/

523 31 1
                                    


Serena masih tak bisa berpikir apa yang akan terjadi setelah ini. Setelah sampai dirumah, masuk dan menuju kamar, menutup pintu lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Tidak. Bukan dirinya yang lelah. Tapi pikirannya saat ini sedang tidak bisa berpikir jernih.

Dia mengambil ponselnya. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Nadine. Ada pesan dari Alvina menanyakan dirinya dimana, kenapa tidak ke butik hari ini. Dan juga panggilan dari mamanya. Dia abaikan semua. Memilih untuk memejamkan matanya. Mungkin saja pikirannya akan kembali tenang.

Ponselnya berdering. Dia berdecak. Melihat layar yang menyala itu. Nadine. Sekarang apa? Serena meringis sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.

"Serenaaaa... Kamu kemana aja sih? Di telpon nggak di angkat-angkat. Aku ke rumah kamu nggak ada. Di butik juga nggak ada. Kamu kemana sih?"

Serena menelan ludah.

"A--aku." duh aku harus jawab apa?

"Sera? Are you okay? Kamu nggak sakit kan?"

"Kamu sudah pulang?"

"That's not important. Kamu dimana?"

"Dirumah." jawabnya lesuh.

"Aku ke rumah ya?"

Serena mendudukkan dirinya. "Sekarang?"

"Hm... Nih lagi di mobil."

Serena bingung. Saat ini waktunya tidak tepat. Serena menyisir rambutnya. Ingin menjawab tapi panggilan sudah di putus oleh Nadine.

Relax... Mencoba menenangkan dirinya. Menarik nafas. Lalu di hembuskan. Sampai akhirnya suara klakson mobil berbunyi. Pertanda Nadine telah tiba.

Serena turun dari tangga. Membuka pintu lalu menyuruh Nadine masuk. "Kamu mau minum?" tawarnya. Demi menghilangkan rasa gugupnya. Serena langsung menuju dapur untuk membuatkan minuman buat Nadine.

"Jadi... Kemana kamu tadi?" tanya Nadine.

Serena menunduk dan menelan ludah.

"Aku pergi ke tempat mbak Dewi. Hanya mampir." katanya.

Untungnya Nadine percaya dengan jawaban Serena. Tidak mungkin dia berkata jujur kan? Oh. Sungguh saat ini dia berada di posisi yang sangat membingungkan.

"Bagaimana? Apa janji pak Broto di tepati?" tanya Serena.

"Masih belum ada kabar. Katanya aku akan mendapat kabar dalam waktu dekat. Tapi..." Nadine menggantung kalimatnya.

"Tapi apa?"

"Ada syaratnya,"

"Maksud kamu?"

"Kalo aku mau naik jabatan. Syaratnya aku tidak boleh menikah."

Serena hampir menjatuhkan gelasnya. "Terus, apa jawaban kamu? Kamu masih mau terima tawaran itu?"

Nadine diam. Ini juga satu masalah yang sedang dia alami. Dia belum membicarakan ini pada Sabiru. Bagaimana reaksi Sabiru mendengar ini, apakah masih mau menunggunya atau malah memutuskan hubungan.

Nadine menarik nafas. "Kalo menurut kamu gimana, Ser?" tanyanya pada Serena yang kini menatap dirinya.

"Aku?" Serena bingung. "Mending kamu bicarakan dulu sama mas Sabiru. Mau gimanapun dia juga harus tau kan? Kalo aku, agak keberatan dengan syarat itu."

"Aku takut. Aku takut Sabiru nggak bisa nerima. Aku takut dia mutusin aku."

Kalau begini. Serena semakin bingung. Dia tidak berada di posisi Nadine. Kalaupun dia berada di posisi itu. Dia akan memilih untuk menolak. Karena tidak mungkin dia melepas hubungannya hanya untuk jabatan. Tapi, semua tergantung Nadine. Dia tidak berhak mengaturnya.

"Apa aku tolak saja?"

Exactly!

"Ikuti kata hati kamu. Datangi mas Sabiru. Bicarakan ini. Seterusnya, terserah kamu." Ya. Hanya itu yang bisa dia katakan.

Nadine mendongak. "Oh iya. Bagaimana? Apa kamu jadi bertemu orang tua Sabiru?"

Please... Do not discuss it.

Serena menelan ludah. "Hm. Semua aman. Mas Sabiru membeli gucci antik. Aku memberikannya sepatu. Hanya makan malam biasa. Tidak ada hal yang harus di bahas serius sih. Mamanya juga baik."

"Baik?" Nadine mengerutkan dahinya. "Maksud kamu apa?"

Serena menelan ludah. Dia keceplosan. "Maksud aku dia tidak marah ataupun terlihat sombong. Ya... Baik aja gitu, tidak ada yang bicara serius. Abis makan pulang. Udah." Ya... Serena tidak berbohong.

Nadine termenung. "Kenapa dia nggak bersikap begitu sama aku ya?" dia menatap Serena. "Apa mamanya ada bahas aku?"

Serena menggeleng. "Di awal dia kaget aku siapa. Setelah di jelasin dia ngerti. Dan tidak ada bahas apa-apa lagi."

"Serius kamu?"

Serena mengangguk. Ya. Memang tidak ada apa-apa. Walaupun orang tua Sabiru bersikap manis dan hangat padanya. Mereka hanya makan malam saja, bercerita hal yang tidak serius. Setelah itu pulang. Dan... Serena tidak mau mengingatnya lagi.

Mereka sama-sama diam. Hanya suara blender yang berbunyi. Dan suara dering dari ponsel Serena. Serena mengambil ponselnya yang dia letakkan di saku celananya.

Serena menelan ludah saat melihat nama yang menelponnya. Dia bingung. Menatap Nadine yang sedang memainkan ponselnya. Dia tidak bisa menjawabnya. Ada Nadine disini. Tidak mungkin.

"Kenapa nggak di angkat?" tanya Nadine.

"Ah... Tidak. Cuma Alvina kok. Aku sudah mengiriminya pesan." kilahnya.

Ponselnya berdering lagi. Kali ini bukan telpon masuk. Melainkan pesan masuk dari Sabiru.

From : Mas Sabiru.

Kamu sibuk? Nanti malam mau keluar?

Serena mematung di tempat. Dia membaca lagi pesan itu. Masih belum percaya dengan apa yang di kirim Sabiru. Akhirnya dia memutuskan untuk membalas pesan itu.

To : Mas Sabiru.

Kemana?

From : Mas Sabiru.

Hanya jalan-jalan. Do you want to go with me? Kalau iya. Akan aku jemput malam ini.

Tidak... Ini tidak mungkin. Serena menggigit kukunya. Dia gugup. Di depannya masih ada Nadine.

"Kamu kenapa?"

"Ha? Apa? Hm, Nad." Serena menipiskan bibir. "Kamu sudah menelpon mas Sabiru?" tanyanya.

"Belum. Nanti saja. Pas di rumah. Aku pulang dulu ya, makasih jusnya." dia meminum habis jus jeruk buatan Serena. "By the way. You blushing." godanya sebelum keluar meninggalkan rumah Serena.

Serena memegang pipinya. Iya. Panas. Dan kalau begini itu tandanya pipinya memerah. Dia semakin tegang. Dia bingung harus bagaimana. Menolak atau mengiyakan ajakan Sabiru.

Lama dia terdiam. Ponselnya berdering lagi. Dia langsung membaca pesan dari Sabiru.

From : Mas Sabiru.

Aku harap kamu mau. Sampai ketemu nanti malam. Serena.

*******

Vote & coment. Thankyou. And see you later.

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang