/15/

571 38 8
                                    


Pagi ini langit sangat gelap tidak seperti biasanya. Ini sudah jam enam lewat. Tapi, langit masih saja terlihat seperti malam.

Dari tempatnya berdiri, dia bisa mendengar samar suara gemuruh petir di ujung sana. Hawa dingin khas hujan masuk ke dalam saat dirinya membuka jendela. Berpadu dengan dinginnya AC di kamar. Membuatnya semakin ingin kembali tidur.

Sambil menatap langit yang gelap. Menunggu hujan turun seperti kebiasaannya. Dia mengingat hal yang tak terduga kemarin. Berjalan berdua mencari kado di mall. Datang ke rumahnya lalu berkenalan dengan orang tuanya. Lalu, malam yang tidak akan pernah dia lupakan.

Masih begitu jelas di ingatannya. Rasanya ingin sekali lagi mengulang momen itu.

Dia tersenyum malu mengingatnya. Kejadian yang membuat jantungnya berdebar berkali lipat. Bahkan sampai saat ini.

"Serena," dia menoleh, memberikan senyumnya pada sang mama yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Ya, ma?" sahutnya.

"Kamu tidak usah ke butik dulu ya. Hari ini kayaknya hujan besar. Tadi malam juga kamu kehujanan kan? Mama takut kamu pilek."

See? Bahkan mamanya lupa jika usianya saat ini hampir menuju kepala tiga. Serena tertawa lalu mendekap tubuh mamanya, "Mama nih aneh ya. Pilek itu hal wajar. Mama lihat Sera. Suara Sera baik-baik saja kan? Mama tidak perlu khawatir. Sera akan istirahat jika Sera sakit." ujarnya lembut meyakinkan mamanya.

Kirana mengelus rambut putrinya, dia tersenyum. "Kamu memiliki pacar, sayang?"

Serena terkejut atas pertanyaan mamanya barusan. "Pacar?"

"Tadi malam siapa yang antar kamu pulang?"

"Oh, itu teman Sera, ma."

"Yakin? Cuma teman?"

Serena mengangguk. "Benar kok, ma."

"Kalo pacar juga tidak masalah,"

Maunya sih... Eh! Serena menyadarkan dirinya. "Mama jadi ke mall kemarin?"

"Tidak jadi, pak Anton malah ketiduran. Pokoknya kemarin itu hari yang menyedihkan untuk mama."

Serena tertawa. "Kok gitu? Kangen yaa sama papa?" Serena menaik-turunkan kedua alisnya menggoda sang mama.

"Apa sih?" Kirana tersipu malu. Membuat Serena tertawa kencang.

"Sera penasaran deh gimana pertama kali mama jatuh cinta sama papa." katanya,

"Panjang ceritanya. Kamu bakalan bosan dengarnya."

"Sera mau dengar."

"Intinya kalau kamu merasa nyaman sama satu lelaki, kamu selalu merasa sedih kalau dia jauh, kalo dekat kamu deg-degan tidak bisa bernafas, kamu tidak bisa natap matanya kalo lagi ngomong. Apa lagi ya? Pastinya kamu ingin selalu sama-sama dengan dia."

Nyaman, deg-degan...

"Kalo kamu sudah punya pacar jangan di umpetin kayak artis-artis tu. Bawa ke rumah, kenalin sama mama dan papa. Siapa tau jodoh tinggal langsung di bawa ke KUA."

"Apa sih, mama" ujarnya di selingi tawa.

Serena ingin berkata lagi, tapi di urung. Ketika ponselnya berdering di atas nakas. Suaranya benar-benar menganggu quality time nya bersama sang mama.

Dahinya mengerut melihat nomor yang tak di kenal menelponnya. Takut kalau ini dari kliennya atau pelanggannya. Serena pun mengangkatnya.

"Halo..."

"........."

Serena diam, tidak ada yang menyaut sapaannya.

"Halo?"

"Halo."

Kayak kenal suaranya. "Maaf, ini siapa ya?" tanyanya.

"Hai. It's me, Sabiru."

"Ouh. Ya, mas. Ada apa?" dia memutar badannya membelakangi Kirana yang masih berada di balkon.

"Tidak... Hanya ingin menelpon." Sabiru terkekeh kecil. Namun begitu Serena masih bisa mendengarnya.

"Mas, tidak demam lagi kan?" tanyanya mengingat tadi malam mereka habis hujan-hujanan.

"Kalo aku demam?"

Deg! Serena di buat kebingungan dengan pertanyaan Sabiru. Serena menoleh sebentar untuk melihat mamanya. Bisa gawat kalau dia menjawabnya saat masih ada mamanya di sini.

"Halo, Serena... Kamu masih di situ?"

"Ha-halo, mas. I-iya... Mas serius lagi demam?" tanyanya pelan

Serena merasa pundaknya di sentuh. Dia menoleh, kaget. Tiba-tiba mamanya berada di sampingnya. Serena menggigit bibirnya. Hatinya berbisik semoga mamanya tidak mendengar apapun yang Serena bicarakan dengan Sabiru.

"Take your time. Mama keluar dulu," kata Kirana, menggoda Serena. Lalu keluar dan tak lupa menutup pintu kamar.

"Mas... Maaf tadi ada mama,"

"Kamu sama mama di situ?"

"Eh? Ah. Iya, tadi. Sekarang sudah keluar." gugupnya.

"Jadi?"

"Mas beneran demam?"

Sabiru tertawa. Please don't laugh, mas...

"Kamu khawatir ya?"

"Tadi malam kan mas habis kehujanan. Hujannya juga deras banget tadi malam. Aku takut aja mas demam kayak waktu itu."

"Iya, aku demam. Kamu mau datang?"

Serena tersentak. Datang? "Maksudnya?" dia bertanya.

Sabiru tertawa lagi. "Tidak. Aku bercanda, aku tidak kenapa-napa."  tiba-tiba Sabiru terbatuk. Sepertinya Sabiru menjauhkan ponselnya agar tidak terdengar oleh Serena.

"Mas bohong ya?"

"Maaf, aku hanya keselek."

"Kalo mas memang mau aku datang, aku bakalan datang kesana. Please."

"Aku dengan senang hati kalo kamu datang."

"Mau kapan? Siang atau sekarang?"

"Sekarang, sekalian aku belum sarapan."

Serena berdecak. "Tunggu ya, aku siap-siap dulu." ujarnya setelah memutuskan sambungan, dia menaruh ponselnya di atas kasur dan langsung menuju kamar mandi untuk bersiap.

Tanpa Serena tahu. Di sana. Di tempat Sabiru. Laki-laki itu tak henti-hentinya tersenyum. Bukan tanpa sebab Sabiru menelpon Serena, dia juga tidak bermaksud untuk merepotkan Serena. Hanya saja, entah kenapa dia lebih memilih menelpon Serena untuk datang ke sini merawatnya.

Apalagi dalam kondisi di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Dan dirinya, tidak bisa berbuat apa-apa jika sedang sakit.

Sabiru kembali menutup matanya sambil menunggu Serena datang.

********

Apa ini definisi kalo sudah nyaman susah untuk menjauh? Aseeekkk... Author lagi berada di jam-jamnya menghalu...

Sampai ketemu di part selanjutnya...

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang