/47/

497 25 3
                                    


"Nadine... Nadine, stop!" ujar Sabiru berusaha menghentikan langkah Nadine.

"Dengerin dulu penjelasan aku. Yang kamu lihat, yang kamu pikir tentang aku itu salah, Nadine!" Sabiru masih terus berusaha berlari mengejar Nadine. Sampai tangannya berhasil meraih Nadine masuk ke dalam pelukannya.

"Tolong, jangan begini." kata Sabiru.

Tubuh Nadine bergetar hebat, dadanya sakit, kepalanya pusing, dia tidak bisa berpikir apa-apa. Saat mereka masih berada di halaman parkir mobil yang terletak di bawah tanah. Hanya ada mereka disini.

"Aku nggak habis pikir sama kalian, sama semua yang kalian lakukan di belakang aku!" lirih Nadine, dia kesal, dia marah, dia berusaha menyuarakan isi hatinya di tengah isakan hebat. Dari tadi air matanya tidak berhenti mengalir, dadanya juga masih sakit. Sangat sakit.

"Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri, kamu peluk dia di depan orang tuanya, kamu cium dia seakan kamu nggak mau pisah dari dia. Jahat tau nggak!"

"Sshh... Aku minta maaf." Sabiru masih berusaha menenangkan Nadine, tangannya mengelus punggung Nadine yang masih bergetar.

Nadine melepas paksa pelukannya, dia menatap tajam Sabiru. "Tiga tahun! Tiga tahun kita sama-sama, ya... Aku sadar aku banyak kurangnya, aku sadar kalo aku sangat masih ragu sama kamu. Tapi... Tapi kenapa harus Serena? Kenapa! Kalian... Astaga, hanya tuhan yang tau apa saja yang sudah kalian lakukan!"

Sabiru diam. Oke! Dia salah. Dia pasrah jika Nadine harus memojokkan dirinya saat ini, tapi... Hari ini yang terjadi adalah tidak seperti apa yang Nadine pikirkan. Dia ke mall dalam rangka bertemu dengan klien-nya lalu memutuskan untuk makan dan kebetulan melihat Serena duduk sendirian, dan seterusnya mereka makan bersama.

Tapi, percuma jika dirinya menjelaskan ini kepada Nadine. Nadine bukan hanya memergokinya hari ini, tapi juga beberapa hari yang lalu. Sabiru mengangguk. Pantas. Pantas dia merasa ada yang aneh dari Nadine bekakangan ini yang membuatnya tidak bisa menebak.

"Jadi itu alasan kamu berubah?" Sabiru balik bertanya.

Nadine mengangkat sudut bibirnya, "Kamu menyalahkan aku? Setelah apa yang kamu lakukan hari itu dan hari ini?"

Sabiru meringis, dia menggeleng tak abis pikir dengan Nadine. Seharusnya terbalik. Seharusnya dialah yang merasa marah atas sikap Nadine selama ini. Tapi dia lebih memilih memendam.

"Kalian jalan di belakangku. Bertemu tanpa sepengetahuan aku. Apa kamu pikir itu tidak menyakitkan? Apa kamu pikir aku nggak punya perasaan?"

"Lalu bagaimana dengan kamu? Dengan semua ide aneh kamu itu. Merayu Serena untuk menukar posisi kamu, menyuruh Serena untuk menggantikan kamu menemui mamaku. Dimana letak kesalahan aku? Dimana?!"

Tubuh Nadine membeku. Air matanya jatuh. Sabiru bahkan balik menyalahkannya.

"Aku sudah pernah bilang sama kamu. It doesn't matter if you reject me again and again, asalkan jangan menyuruh siapapun menggantikan posisi kamu untuk melakukan pendekatan kepadaku." kata Sabiru. Masih berusaha tenang. Bukan maksudnya untuk mengungkit atau menyalahkan Nadine. Tapi ini dia lakukan agar Nadine sadar dengan apa yang sudah dia lakukan.

"Kamu yang sibuk, kamu yang terus menolak saat aku ajak ketemu mama, kamu terus menghindar karena kamu takut aku melamar kamu lagi. Kamu mengorbankan Serena, dan sekarang kamu menyalahkan aku dan dia. Lalu bagaimana dengan kamu? Apa kamu pikir aku tidak memiliki hati? Apa kamu pikir hati aku bisa dengan seenak kamu mainkan?" Sabiru menggeleng, "Aku rasa kamu tau kenapa dan apa alasan aku berubah akhir-akhir ini." ujar Sabiru.

Namun, Nadine tetap tidak terima dirinya di salahkan. Nafasnya memburu, wajahnya memerah akibat menahan emosi. "Tapi nggak harus selingkuh di belakang aku!"

"Aku tidak selingkuh! Demi tuhan! Tidak... Aku masih setia sama kamu. Aku tidak berencana sama sekali memulai hubungan dengan Serena."

Nadine mengangkat tangannya. "Cukup! Apapun itu... Kalian jahat!" setelah berkata demikian Nadine berbalik, melangkahkan kakinya, lalu berhenti saat mendengar perkataan Sabiru.

"Kamu harus percaya. Jika cinta datang karena terbiasa bertemu." Sabiru menarik nafas sebentar, "Dan itu semua karena kamu. Kamu yang sudah membuat aku dan Serena akhirnya selalu bertemu." Ya! Sabiru harus mengucapkan ini. Dia tidak mau egois dan memikirkan perasaannya sendiri. Mereka bukan lagi anak remaja yang sedang labil dalam percintaan.

Mustahil, tidak ada gula bisa ada semut... Mungkin itu yang ada dipikiran Nadine saat ini. Berpikir jika Sabiru dan Serena berpacaran diam-diam di belakang Nadine. Walaupun Sabiru paham betul dan sadar apa yang dia lakukan bersama Serena adalah salah. Tapi, hati tidak bisa berbohong, kan? Dan Sabiru juga tidak salah sepenuhnya dalam hal ini.

Nadine tidak juga membalikkan badannya menghadap Sabiru, dia masih berdiri diam di sana. Sabiru tahu jika Nadine masih terisak. Tubuhnya masih bergetar. Sabiru tidak bisa bohong jika dirinya tak tahan ingin memeluk tubuh Nadine. Meskipun kekasihnya itu akan menolak dan mendorongnya.

"Lihat aku." kata Sabiru, tangannya mulai terangkat menyentuk bahu Nadine.

"Please... Lihat aku, Nadine. Kita selesaikan ini baik-baik." ucapnya, perlahan memutar tubuh Nadine. "It's fine. I am here.  Kamu bisa pukul aku sampai luka-luka juga aku pasrah." ujarnya.

"Aku mau kita sampai disini." Nadine berujar dingin sambil menghentakkan kedua tangan Sabiru yang memegangi bahunya.

"No! We are not over get..."

Nadine menggeleng, dia tidak mau menatap wajah Sabiru lagi. "Tolong jangan temui aku lagi."

"Easy as that?"

"Kamu sendiri yang bilang cinta datang karena terbiasa bertemu, lalu untuk apa aku masih sama kamu? Untuk apa aku pertahankan hubungan ini?"

"Setelah beberapa kali kamu nolak aku? Kamu bahkan tidak pernah bertanya kenapa aku masih tetap nunggu kamu sampai saat ini!"

Nadine menelan ludah. Ya. Easy as that. Gampang baginya berkata putus saat laki-laki ini terus memperjuangkannya.

"Kamu tenangin diri kamu dulu. Pikirkan baik-baik semuanya... Dengarkan jika Serena datang untuk berbicara dengan kamu."

Nadine mendongak, "Untuk apa aku harus mendengarnya?"

"Kalian sahabat."

"Nggak!"

"Kalian tentunya saling memahami satu sama lain. Kalian sudah bersahabat lama, bahkan sebelum ada aku di tengah kalian."

Nadine menggeleng, dia tidak mau bertemu Serena. Dia tidak sanggup jika harus berhadapan lagi dengan Serena.

"Kamu harus! Serena tidak sepenuhnya salah dalam hal ini. Dia tidak benar-benar ingin masuk di tengah-tengah kita." kata Sabiru, kalimatnya ini benar-benar membuat Nadine terdiam. Apakah dirinya harus memberi kesempatan untuk Serena menjelaskan semuanya?

Sabiru merasa Nadine sudah cukup tenang, dia memilih memeluk Nadine, membenamkan wajah Nadine di dadanya. Dia mengangguk, apa yang dia lakukan ini benar. Mereka sudah dewasa, pertengkaran di setiap hubungan pasti ada. Dia memberi Nadine waktu untuk berpikir. Dan jika pada akhirnya Nadine tetap pada pendiriannya untuk mengakhiri hubungan ini. Sabiru tidak bisa melakukan apa-apa. Dia pasrah.

*****
Percayalah... Yang nulis ini yang lagi ada masalah :')

Tetap enjoy ya bacanya...

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang